Monolog Tentang Keadilan

Tentang keadilan, Lidahku berubah menjadi pedang Bola mata ingin menelan Tangan mengepal dalam perlawanan Amarah membumbung siap menantang Tentang keadilan, Ragaku terpercik api membakar Ingin memusnahkan segala rasa terpinggirkan Membunuh

Sehari Dalam Pelukan Ibu

Kala masih sebagai bayi merah Dalam balutan kain yang masih meninggalkan bercak darah Aku hanya bisa menatap seorang perempuan muda Yang berlinang air mata Yang menciumi berkali-kali Kemudian, aku ditinggalkan

Monolog Puisi Milik Diri

Puisi-puisi milik diri adalah kawan berkisah Kawan memeluk dalam sunyi nan gelisah Pena batin menggelepar jika tak bertinta Hampa, bak taman tak berbunga Pada puisi, aku berbincang penuh suka Tak

Bunga Ilalang dan Sabda Alam

Tuan, Aku ingin seperti karang Terhempas tetap tak tumbang Sayangnya, aku hanyalah pantai dilamun ombak gelombang Ikhlas dihempas arus pasang Tuan, Aku ingin menjadi mawar indah terpajang Decak kagum berkumandang

Kita, Aksara, dan Puisi Abadiah

Suara parau merobek malam Teriak tak didengar langit kelam Raga lunglai dalam kepayahan Hilang, aku kehilangan Kehilangan kawan seperjalanan Tempat tawa pun cerita digelar dalam puisi-puisi berserakan Kita, terombang ambing

Pesan Tanpa Titik

Sayap merpati mungkin hampir patah Mengarungi nirwana dengan lelah Pada samudera pun tlah kularung Terombang ambing ombak tak berujung Membawa berbaris pesan Apakah tersampaikan kepadamu tuan? Kepada tuan kulayangkan sebagai

Monolog Hujan

Senja ini, aku bersandar pada dinding lapuk rumah tak bertuan. Menunggu hujan reda walau malam mulai berkelindan. Aku mulai berbincang dengan hujan. Sambil memandang ke langit kelam tanpa gumpalan awan.

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.