YPTD, Rumah Ramah Literasi

Terbaru57 Dilihat

Nampak serasi gagah rupawan
Berbalut seragam indah menawan
Bapak literasi Thamrin Dahlan
Ijinkan kami berbagi kebahagiaan
A. Berkenalan Dengan YPTD
Bahagia, satu kata yang pantas saya ucapkan ketika mengikuti pelatihan menulis gelombang 18. Ketika itu narasumbernya seorang lelaki gagah berkacamata, wajah kebapakan, plus senyum menghiasi flyer pertemuan ke-8. Sebahagia apa kira-kira perasaan saya?. Kalau boleh saya gambarkan, bahagia seumpama menatap pepohonan pinus merkusi di kampung halaman saya, Pondok Bulu. Ada sensani yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata, ketika berada ditengah pepohonan itu. Aroma getah pinus dan derai daunnya yang melambai-lambai membawa kembali ke masa-masa SMA, masa muda penuh dengan berbagai angan dan cita-cita.
Cita-cita ingin menjadi jurnalis, kandas, seiring dengan ucapan ayah bahwa sekolah khusus jurnalis hanya ada di Jakarta. Terlalu tinggikah cita-cita, seorang anak kampung, yang hanya berbekal harapan dan mimpi?. Apakah salah hingga saya sampai punya cita-cita, yang pada masa itu sangat tidak masuk akal?. Singkat cerita, akhirnya takdir membawa saya menjadi guru (tentang ini sudah dimuat dalam buku pertama saya berjudul “Tersesat di Belantara Pendidikan”). Kegiatan menulis yang telah saya geluti di usia 14 tahun, kembali menemukan jodohnya di masa pandemi. Buku tersebut hadir setelah saya bergabung di salah satu komunitas menulis dibawah bimbingan mentor-mentor keren menewen Media Guru Indonesia (istilah mas Mohammad Ihsan, kumendannya MGI).
Pandemi yang masih berkepanjangan, ternyata membuat mahluk bernama manusia juga harus memanjangkan akal dan kreativitas. Berbagai kegiatan digelar secara online, dengan menggunakan berbagai aplikasi yang membuat segala sesuatnya menjadi lebih praktis. Barangkali, lebih dari 50 sertifikat pelatihan sudah tersimpan di drive saya, namun masih saja rasa haus mendera untuk mencari sumber ilmu lainnya. Akhirnya saya mencebur juga di komunitas menulis gebetan Om Jay Bersama PGRI. Maka, kembali ke awal tulisan, saya sangat antusias mengikuti kelas pelatihan, terutama pada pertemuan ke-8 tersebut.
Ada sesuatu yang sangat menarik pada pertemuan ke-8 tersebut. Sang narasumber yang seorang purnawirawan, ternyata masih memiliki seabreg kegiatan. Beliau mewarnai kegiatan sehari-hari dengan menjadi dosen, penulis, bahkan mendirikan Yayasan Penerbitan Thamrin Dahlan (YPTD) bersama keluarga besar Peto Kayo. Usai pertemuan ke-8 tersebut, saya bergabung di wag YPTD. Awalnya bingung dengan teknis lomba menulis di blog selama 28 hari tanpa jeda. Dengan memberanikan diri, saya chat ayahanda Thamrin Dahlan. Akhirnya saya dimasukkan ke wag khusus lomba blog.
Untuk mengikuti lomba menulis di blog 28 hari, sudah barang tentulah membutuhkan keseriusan. Bisa dibayangkan betapa menantangnya menulis setiap hari dengan tema yang berbeda, dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Adakalanya saya harus siapkan 2 naskah untuk persiapan esok hari karena sudah ada jadwal kegiatan lain yang tak kalah pentingnya. Namun ternyata jika semua dijalani dengan dengan niat, maka akan berjalan dengan lancar.
Akhir bulan Februari 2021, usai jugalah lomba menulis di blog. Walau tidak berhasil meraih juara, namun saya memiliki keyakinan telah menjadi juara. Sebab, seluruh tulisan yang saya posting di akun YPTD akan dikumpulkan dan dirajut menjadi sebuah buku. Tidak butuh waktu yang lama untuk menghimpun dan merajut seluruh tulisan selama 28 hari, dalam waktu 1 minggu akhirnya buku ketiga saya kelar dengan judul “Berkaryalah Meski Tak Lagi Muda”.
Judul buku tersebut terobsesi dari beragam kegiatan ayahanda Thamrin Dahlan, pendiri YPTD. Saya memanggil beliau dengan sebutan ayah/ayahanda, karena sosok ayah saya Peltu (Purn) Albert Nainggolan ada pada beliau. Barangkali juga karena kedua lelaki hebat ini sama-sama purnawirawan, sehingga darah “anak kolong” berbicara di urat nadi saya. Hanya dalam kurun waktu 1 tahun, ayahanda Thamrin Dahlan berhasil memberi sumbangsih nyata bagi dunia literasi. Sebagai seorang penulis produktif di Kompasiana, beliau telah menulis dengan jumlah yang fantastis, mendekati angka 3000 artikel. Beliau juga sukses menulis biografi berjudul “Prabowo Presidenku”. Hingga saat ini 40 buku telah sukses terbit ditangan beliau, sang ayah literasi.
Sedemikian produktifnya ayahanda Thamrin Dahlan di dunia tulis menulis, hingga akhirnya beliau memutuskan mendirikan YPTD dengan dukungan penuh dari keluarga besar Peto Kayo. Sedemikian cintanya beliau pada dunia literasi, hingga mewakaqkan YPTD untuk menerbitkan buku gratis. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penulis pemula cenderung kesulitan untuk bisa menerbitkan buku ber-ISBN dengan biaya yang murah. Untuk itulah YPTD hadir dengan moto “Terbitkan Buku Gratis”. Demikian halnya dengan buku ketiga saya, tanpa biaya sepeserpun ISBN-nya keluar dalam waktu kurang dari 2 pekan. Disain cover ditangani oleh mas Ajinata, yang selama ini berjibaku dengan mas Dian Kelana (semoga Allah Swt memberi tempat yang sebaik-baiknya buat almarhum).
B. Metamorfosa YPTD
Seiring dengan semakin banyaknya buku yang diterbitkan YPTD, maka mulailah muncul kritik dan saran dari penghuni wag YPTD. Para penulis menyadari bahwa beban seluruh tim YPTD semakin berat. Hal ini ditandai dengan munculnya kesalahpahaman antara penulis pemula dengan penulis senior sekaligus editor. Ada beberapa penulis yang mencantumkan nama editor tersebut tanpa melalui komunikasi, sehingga sempat terjadi adu komen yang berujung pada islah. Sekali lagi, ayahanda turun tangan untuk memediasi antara kedua belah pihak.
Akhirnya, setelah mendengar berbagai saran dan pendapat dari berbagai pihak, maka ayah literasi memutuskan mengubah moto “YPTD terbitkan Buku Ber-ISBN Gratis” menjadi “YPTD Terbitkan Buku Ber-ISBN Bayar Seikhlasnya”. Kami, para penulis dan calon penulis lebih nyaman setelah moto tersebut berubah. Alasannya adalah supaya kami dapat berkomunikasi lebih intens dengan tim YPTD. Selain itu, ada rasa sungkan apabila buku yang diterbitkan secara gratis lebih dari 1 judul, karena kita memahami betul bagaimana lelahnya para pejuang dibalik layar YPTD. Sehingga, semua pihak akan merasakan kenyamanan berada di “YPTD, Rumah Ramah Literasi”.
Sebagai penulis yang masih sangat minim dalam berkarya, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan receh ini. Semua ini didasarkan atas kecintaan saya kepada YPTD, dengan harapan semakin maju dan sukses di tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya. Berikut ini adalah kritik dan saran demi kemaslahatan bersama:
1. YPTD membuat rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang tentang kegiatan literasi yang melibatkan semua pihak, sehingga kita dapat mengetahui apa saja yang menjadi target.
2. YPTD membuka ruang untuk mengadakan pelatihan menulis di wilayah Jawa dan luar Jawa, terutama di lingkungan sekolah/kampus.
3. YPTD mengadakan pelatihan menjadi editor, disainer, kurator, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses terbitnya buku.
4. YPTD menyediakan tim editor, dengan syarat dan ketentuan tersendiri
5. YPTD mengadakan lomba menulis, untuk para pemenang, buku diterbitkan secara konvensional dan dalm model e-book. Untuk lomba ini, dapat dikaitkan dengan momen-momen tertentu, misalnya dalam waktu dekat adalah hari sumpah pemuda, hari pahlawan, hari guru dan seterusnya.
6. Bagi para penulis, seyogyanyalah saling barter buku karya kita, dengan tujuan agar lebih mewarnai perbendaharaan literasi. Andai, boleh dong berandai-andai, buku yang terbit dalam kurun waktu 12 bulan ada sekitar 200-300 judul, maka sebaran buku produksi YPTD akan merata diseluruh pelosok negeri. Caranya, bisa saja kita hadiahkan kepada sahabat-sahabat kita dimana saja.
Dalam upaya menebar manfaat literasi di tanah air, maka YPTD juga membuka diri untuk berkolaborasi dengan siapa saja, dengan komunitas mana saja. Tersebutlah sebuah komunitas dengan nama “Sagusapop”, satu guru satu pola pembiasaan, dengan founder Kang Asep. Sagusapop. Melalui komunikasi antara Heddy Mochtariza sebagai ketua 3 bidang literasi Sasgusapop, maka ayahanda Thamrin Dahlan bersedia meluangkan waktu untuk mengisi kegiatan rutin webinar bertajuk literasi di “rumah Sagusapop”. Ini adalah satu fakta, bahwa YPTD terbuka bagi semua kalangan, dengan tujuan untuk membumikan literasi di persada tanah air. Kelak, beberapa minggu ke depan, saya dan Heddy akan menggandeng YPTD untuk menerbitkan biografi bang Ramlan Tambunan, seorang cendekiawan putra asli Labura.
Metamorfosa yang dialami oleh YPTD berdampak pada semakin semaraknya buku-buku yang ditangani oleh tim hebat dibalik layar. Belakangan ini, tidak lagi buku dengan genre pendidikan di masa pandemi yang sukses di “rumah YPTD”, tetapi juga dengan genre beragam lainnya. Ternyata, ayah literasi kita selalu terbuka dan berlapang dada dengan segala kritikan maupun masukan dari para penulis, bahkan dari latar belakang pendidikan yang sangat berbeda. Hal ini patutlah kita tiru, sediakan ruang khusus untuk mendengar kritik dan saran orang lain. Sebab, sudut pandang kita hanya mampu melihat satu sisi, namun orang lain mampu memandang dari sisi berbeda, bukankah perbedaan itu adalah rahmat?.
C. Ijinkan Ananda Mengutarakan Isi Hati
Seorang anak akan menunjukkan bakti kepada orang tua, bahkan walau orang tua tidak mampu memenuhi segala kebutuhan si anak. Sebaliknya, orang tua tetap akan berusaha memenuhi permintaan anak, melindunginya, membimbingnya, bahkan rela bertaruh nyawa demi keselamatan anak. Demikianlah sejatinya hubungan harmonis antara orang tua dan anak.
Pada kesempatan ini, ijinkanlah ananda, sebagai anak yang terlalu banyak menuntut perhatian ayahanda untuk menyampaikan isi hati. YPTD adalah semacam rumah menetap bagi para penulis dan calon penulis yang ingin turut berpartisipasi menggelorakan semangat literasi. YPTD bukan lagi rumah singgah, tapi lebih dari itu. Kelak, kemanapun melangkah, kita, para penulis yang pernah bernaung dibawah YPTD akan menjadi anak panah yang melesat ke seluruh penjuru tanah air. KIta akan menebar manfaat, hingga, bila suatu waktu ada yang terlupa akan YPTD, kita harus saling mengingatkan, bahwa rumah besar kita adalah YPTD. Sehingga peribahasa “Lupa kacang akan kulitnya” tidak akan tergiang ditelinga kita.
Terakhir, sebagai putri seorang purnawiraan Polisi, ananda yang ditempa dengan kerja keras dan disiplin sedari kecil, sangat merasakan manfaat dari didikan orang tua. Selama beberapa bulan dibimbing di rumah YPTD, ananda sudah merasakan betapa berharganya ilmu yang ditabur ayahanda kepada kita. Salah satu buktinya, dalam waktu 28 hari mampu menulis sebuah buku. Maka pada kesempatan yang sangat berharga ini, ijinkanlah saya menyampaikan, agar ayahanda kita, bapak Thamrin Dahlan kita usulkan menjadi bapak literasi Indonesia. Semoga suara saya, dari kejauhan, dari sebuah Kabupaten bernama Labura di sudut Provinsi Sumatera Utara, bergaung ke seluruh penjuru tanah air. Dan semoga suara hati saya juga menyamai suara hati sahabat para penulis YPTD. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Penulis: Chrisma Juita Nainggolan, minggu sore jelang asar.

Tinggalkan Balasan