A. Masa Kecil Penuh Fantasi
Sejak usia SD, aku selalu berhayal, suatu saat akan menjadi orang yang bisa melanglangbuana kemana-mana, berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika menjunjung ember berisi piring kotor ke pancuran, kupandangi burung-burung yang terbang bebas di udara, betapa enaknya menjadi burung, tidak harus cuci piring, cari kayu bakar ke hutan, dan seterusnya. Entah kenapa, aku menyukai bacaan dengan beragam jenis, mulai dari komik, dongeng, legenda, bahkan cerita silat karya satrawan terkenal kala itu, Asmaraman S.Koo Ping Hoo. Barangkali, bahan bacaan tersebutlah yang sangat mempengaruhi alam bawah sadar, hingga memiliki cita-cita seperti tadi.
Tentang buku, bahan bacaan yang kulahap sedari mampu membaca di jenjang SD, ada sebuah kisah. Ketika itu SD Negeri Pondok Bulu, tempat aku menimba ilmu, sudah memiliki koleksi buku-buku bacaan untuk usia anak SD. Begitu lonceng berbunyi (barangkali lebih dari 4 birama), menandakan sekolah sudah usai, aku bergegas ke ruang Kepala Sekolah. Tujuanku hanya satu, ingin meminjam (lebih tepatnya mencuri) buku-buku bacaan yang tersusun di rak sebelah meja pak Kasek. Hingga akhirnya, beberapa buku berhasil kubawa pulang tanpa ijin. Sedemikian terobsesinya untuk membaca buku tersebut hingga melakukan hal yang tidak pantas. Untuk bagian ini, tolong jangan ditiru.
Hobi membaca, ternyata diwariskan ayah kepadaku, juga kepada saudara-saudaraku yang 14 lagi (kami 15 bersaudara, dan aku bangga dengan jumlah ini). Setiap pagi, koran diantar ke depan rumah, dengan suara klakson khas dari kejauhan. Aku selalu menunggu momen ini, sebab ingin jadi orang pertama yang mengetahui berita di koran (headline). Namun aku hanya melihat bagian depan saja, sebab ayahku sudah menunggu dengan segelas teh manis diatas meja. Ayah, Peltu (Purn) Albert Nainggolan, lelaki gagah yang suka membaca itu memiliki rambut khas, botak dibagian depan, yang aku yakin karena memorinya melebihi kapasitas 6 ram. Betapa tidak, ayah mampu berbahasa Inggris, Belanda, Jepang, dan China. Bahkan beliau pernah mengajarkan tulisan Kanji berbekal papan tulis dan cahaya temaram lampu petromak, karena pada masa itu PLN belum menyentuh kampung kami, sebuah desa kecil diantara Jalan Lintas Pematang Siantar- Parapat.
Selain membaca, ayah sering menuturkan dongeng kepada kami anak-anaknya usai makan malam. Sebentar, hampir lupa. Ayah mengharuskan kami makan malam bersama. Sebab, kata ayah, pepatah Belanda mengatakan: ”Maak van de eettafel een onderhandelingstafel”, yang artinya: “Jadikanlah meja makan sebagai meja perundingan”. Kalimat itu sering diulang-ulang ayah, bahkan dalam Bahasa Belanda, sayangnya aku tidak mampu mengingat pepatah aslinya, sehingga harus browsing.
Berbagai dongeng dikisahkan ayah, misalnya tentang persahabatan antara hewan peliharaan dengan tuannya, anak bengal pengembala yang ditanduk kambingnya, dan sebagainya. Dongeng-dongeng tersebut kusimak dengan baik. Koleksi dongeng yang kuketahui semakin banyak, ditambah lagi dengan bacaan-bacaan dari buku dari sekolah. Maka, jelang tidur, aku selalu ditagih adek-adekku untuk mendongeng hingga mereka tertidur. Setelah mereka pulas, aku masih berpikir, besok malam dongeng/cerita apalagi yang harus kusampaikan?. Hingga akhirnya aku mulai mengarang cerita sendiri tanpa konsep, mengalir begitu saja.
Salah satu diantara cerita yang pernah kusampaikan kepada adek-adekku, adalah tentang proses operasi bedah. Ketika itu sedang marak berita tentang operasi, sebagai salah satu hasil kemajuan ilmu kedokteran. Maka dengan nada bicara yang meyakinkan, aku mengatakan kepada mereka, sebelum proses bedah, napas pasien ditarik dan dimasukkan kedalam bambu. Usai tindakan operasi, napasnya dikembalikan. Anehnya adek-adekku lebih cepat tidur, dikemudian hari mereka buka kartu, ternyata bukan tidur tapi memejamkan mata karena rasa takut. Beberapa tahun kemudian, adekku Nora mengejar-ngejar aku, ingin mencubitku, karena dia tahu bahwa aku telah berbohong.
Untuk memotivasi kami agar tertarik dengan dunia tulis menulis (ketika itu ayah telah menulis beberapa cerpen), maka ayah memberi tantangan. Kami disuruh ayah mendengarkan dongeng tentang anak lelaki bengal dengan kambingnya. Ayah memberi iming-iming hadiah bagi yang berhasil terbitkan cerpen di koran lokal. Tanpa buang waktu, segera aku mulai menulis, kalimat demi kalimat, dongeng yang dituturkan ayah tentang anak bengal tersebut. Setelah kurasa layak jadi cerpen, aku minta tolong kepada kepala tata usaha SMP Negeri 2 Tigadolok, ketika itu aku duduk di kelas 2. Pak Manurung, aku memanggilnya “Amangboru”, sesuai permintaan beliau, karena kata beliau aku mau dibuat jadi “parumaen=menantu perempuan”. Naskah cerpen kukirim lewat kantor pos, setelahnya akupun abai.
Beberapa hari setelah naskah kukirim, abangku yang kuliah di Medan membawa setumpuk koran dan menyerahkan padaku, sembari berkata; “Itu baca, cerpenmu masuk di bagian cerita anak”. Setengah percaya aku segera membuka halaman dimaksud, benarlah bahwa cerpenku dimuat di koran lokal Sumatera Utara dengan judul “Si Bengal Pengembala”. Tak terbayangkan betapa bahagianya hatiku, bukanlah tentang hadiah yang akan didapat dari ayah, namun ada kepuasan batin bahwa karyaku layak dinilai tim redaksi.
Masih ada tanya dihatiku tentang judul cerpen, karena aku tahu betul bukan itu judulnya. Maka ayah menjawab, bahwa naskah dan judul di edit oleh tim, supaya orang tertarik membacanya. Sejak saat itu, keinginanku fokus ingin menjadi wartawan/jurnalis. Apa daya, ayah memberi gambaran bahwa sekolah jurnalis hanya ada di Jakarta, yang artinya aku ini ibarat pungguk merindukan bulan. Sebab, kehidupan kami sehari-hari juga sangat memprihatinkan, lebih sering sarapan pagi dengan menu “ubi rebus ditabur garam”. Akhirnya, cita-citaku kukubur dalam-dalam, sedalam Samudra Hindia.
B. Aku Diberi Gelar Kutilang
Usai menamatkan pendidikan di SD, aku lebih memilih di SMP Negeri 2 Tigadolok, sementara kakakku Anne di SMP Negeri 1. Pada masa itu, aura SMPN 1 lebih bersinar dibanding sekolahku, terlebih karena bangunan fisik sekolah yang kurang layak. Setiap pagi ayah selalu mengingatkan aku untuk memakai sweater penghangat tubuh, sebab tubuh mungilku rentan demam. Jelang turun dari bus, aku segera memasukkan sweater kedalam tas, kuatir dibully.
Hampir semua mata pelajaran kusukai, kecuali 1, Pendidikan Moral Pancasila. Bukan aku tidak suka dengan gurunya, tapi aku tidak suka sesuatu yang bertele-tele, sebab menurutku selalu terjadi pengulangan kalimat ketika harus menghafal pelajaran tersebut. Dan menurutku, metode guruku di jaman dulu tidak jauh berbeda dengan sekarang, menghafal. Matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran favoritku, maka hingga kini inisial kedua guruku tersebut masih kuingat, TS untuk guru Matematika, MRR untuk guru Bahasa Inggris.
Kebetulan kedua guru tersebut masih lajang, maka aku sering dibully di kelas, dikatain kesayangan. Penyebabnya adalah karena aku selalu menjawab dengan benar soal-soal yang diberikan, bahkan PR-ku selalu kelar. Ketika itu murid sangat patuh pada wejangan guru, salah satunya adalah tidak boleh mencontek, maka aku tidak pernah memberikan contekan pada kawan sekelas, dan mereka juga tidak pernah meminta. Apakah ini disebut ego? Aku tidak tahu.
Guru bahasa Inggrisku seorang lelaki muda berkulit putih, wajah oriental, ramah, rapi. Aku sangat suka Ketika melihat beliau mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Inggris, mungkin kalau mau dibandingkan dengan native speaker tidak jauh beda. Beliau marga Siregar, sebuah marga yang secara turun temurun diyakini adalah saudara kandung kami, para boru Nainggolan. Sebab itulah aku sangat marah ketika kawan sekelas menyebutku kesayangan pak MRR. Dulu, istilah kesayangan itu identik dengan kekasih, wajar dong aku marah.
Tentang guru matematikaku, pak T. Sianipar, lelaki berwajah datar dengan tinggi lebih dari 170 cm. Setiap kali masuk kelas, beliau memandang muridnya satu persatu, kemudian menagih PR. Barangkali karena sedemikian takutnya terhadap sosok guru tersebut, maka kawan-kawanku malah tidak mampu mencerna dengan baik ilmu yang diajarkan beliau. Aku sendiri, sedari SD sudah ditempa oleh guru-guru yang tegas, pintar, dan disiplin, tidak membuatku menghindari pelajaran Matematika. Beliau selalu menyebutku kutilang, ketika menyuruhku maju ke depan untuk menuliskan jawaban dari soal-soal yang diberikan. Yang membuatku agak nelangsa, kutilang itu akronim dari kurus tinggi langsing. Sebab, aku paling iri melihat tubuh kawan-kawanku yang agak gempal, dibanding tubuhku yang kurang dari 30 kg. Andai waktu bisa diputar, sebab tubuhku dulu tak begini.