Dan terulang lagi, panic buying. Sekitar bulan Maret tahun 2020 yang lalu, viral tentang telur rebus sebagai penangkal corona. Konon kabarnya, seorang bayi yang baru lahir berkata bahwa obat corona adalah telur rebus. Uniknya, telur rebus tersebut harus dimakan pada malam itu juga, jika tidak, akan hilang berkahnya. Maka, tumpah-ruahlah masyarakat dibeberapa tempat, malam itu juga berburu telur untuk kemudian direbus dan disantap. Bahkan ada yang rela mencari telur sampai dinihari, sungguh terlalu. Masuk akal nggak ya?. Bagi sebagian orang masuk akal, sebab rasa takut mengalahkan logika.
Kemudian, beberapa hari yang lalu, kembali masyarakat kita dihebohkan oleh kejadian disebuah tempat perbelanjaan. Konsumen menyerbu rak-rak penyimpanan susu salah satu produk perusahaan multinasional. Dalam waktu singkat, kejadian tersebut merebak dimana-mana. Stok susu habis. Dapat dipastikan apa yang terjadi kemudian, harga melambung tinggi, bahkan ada yang menawarkan di marketplace dengan bandrol Rp. 50.000. Sekali lagi, masuk akal nggak ya?.
Bagi saya, yang hanya mengonsumsi produk tersebut hanya ketika butuh, tidak begitu ambil pusing dengan perilaku panic buying tersebut.
Ada beberapa alasan maka tidak ikut ambil bagian. Pertama, saya tidak memiliki uang berlebih untuk membeli dan menyimpan produk yang menjadi rebutan konsumen. Kedua, saya mengampu mata pelajaran ekonomi, dimana salah satu kompetensi dasar adalah permintaan (demand). Efek domino yang ditimbulkan oleh naiknya permintaan adalah terjadinya kelangkaan (scarcity), seterusnya harga akan naik dan naik. Teori ini sudah saya pelajari dibangku kuliah sejak tahun 1986, dan belum berubah hingga kini. Ketiga, saya masih belum yakin bahwa produk tersebut dapat mengenyahkan corona.
Ternyata masyarakat kita benar-benar memiliki sifat mudah lupa. Tahun 1997, telah ada tanda-tanda bahwa perekonomian negara kita tidak dalam keadaan baik-baik saja. Puncaknya adalah pada bulan Mei 1998. Seluruh pelosok negeri bergejolak. Bukan hanya kondisi politik yang mengkhawatirkan, pun juga pergerakan harga bahan pokok yang melambung ke angkasa. Minyak goreng misalnya, mengalami kenaikan harga sampai 257 %, dari Rp.1500/kg menjadi Rp. 5400. Demikian halnya dengan berbagai barang kebutuhan pokok lainnya. Penyebab utamanya adalah panic buying. Masyarakat kita berlomba-lomba membeli dan menyetok barang karena kuatir harga semakin naik dan langka.
Belum lagi hilang dari ingatan viralnya konsumen ‘memborong’ susu beruang, kembali masyarakat antre diberbagai apotek hanya untuk membeli vitamin C. Khusus untuk yang terakhir ini, antrean tersebut hanya ada dibeberapa daerah di pulau Jawa. Konon juga kabarnya vitamin C ampuh mengobati corona.
Sebenarnya, apa sih panic buying itu?. Panic buying adalah melakukan (membeli) sesuatu karena melihat orang lain melakukan hal yang sama dalam jumlah banyak. Selain akan berpengaruh terhadap kenaikan harga dan kelangkaan, maka tindakan tersebut juga dapat memperburuk kondisi masyarakat. Orang cenderung bertindak diluar nalar ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi yang tidak menentu, menimbulkan ketakutan, kecemasan berlebihan. Sehingga, dengan mudah percaya pada berita yang seakan-akan memberi solusi atas permasalahan yang terjadi. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita, corona membuat nalar ngumpet.
Penjelasan para pakar kesehatan, hingga saat ini belum ada penelitian tentang salah satu jenis makanan yang bisa mencegah virus corona masuk kedalam tubuh. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh adalah mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
Sebelum panic buying jilid keempat ini, di awal merebaknya virus corona, sebenarnya masyarakat kita sudah mengalami panic buying. Ketika diwajibkan memakai masker dan hand sanitizer, maka beramai-ramailah membeli dan menyetok. Invisible hands juga memainkan peranan. Harga masker membubung tinggi, bahkan mencapai 5 kali lipat. Pengalaman anak saya, ketika membeli masker dari online shop, dikenakan ongkos kirim Rp.200.000, lebih mahal dari harga masker. Apakah yang sedang terjadi ditengah masyarakat?. Menurut saya, ini bukan lagi sekadar ingin menyetok barang untuk memberi rasa aman, tetapi masyarakat kita nampaknya semakin rapuh. Begitu mudahnya mempercayai berbagai informasi yang dalam hitungan detik bisa diakses kapan dan dimana saja, (tentu saja jika fasilitas internet tersedia).
Kalau dipikir-pikir, apalah yang dapat saya pikirkan lagi dengan kondisi kita saat ini. Jangankan kaum emak berdaster dengan pendidikan standar, bahkan kaum terpelajar yang selalu bersandar pada logika saja masih terjebak dalam perilaku panic buying. Terus, kalau sudah begini apa yang dapat saya lakukan?. Buat saya sih simpel, jangan terlalu mudah percaya dengan informasi yang tidak menyertakan 5W+1 H, dan yang paling terpenting saring dulu sebelum sharing, supaya tidak terulang lagi geger se-Indonesia raya.
Marilah kita asah kemampuan literasi, tidak ada alasan untuk berdalih bahwa ‘saya gak makan sekolahan… saya orang kampung…saya ibu RT tulen…saya saya dan saya’. Karena saya juga gak makan sekolahan, juga orang kampung, pun juga ibu RT. Literasi bukan harus pintar berbahasa Inggris atau Bahasa Perancis seperti sobat saya dari Bekasi Heddy Mochtariza. Literasi juga bukan harus pandai menulis artikel ilmiah seperti sahabat saya dari Batam, pak Nastain. Jauhi panic buying, asah nalar, supaya tidak terjadi panik jilid kelima. Salam buat emak-emak berdaster yang super-duper walau tanpa harus bawa golok (bukan untuk mengenyahkan corona). Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.