Sebuah chat masuk dari seseorang, berkabar bahwa ayahandanya terkena musibah, tabrakan ketika mengantar adek bungsunya ke sekolah. Sekilas kuamati sebuah video pendek yang dikirim Anisa, demikian nama alumnus yang memberi kabar tersebut. Berbagai alat medis ditempelkan dibagian dada, perut, selang infus dan oksigen melintang hampir tidak kebagian tempat. Benar-benar memprihatinkan.
Tanpa menunggu lama, segera kuhubungi salah seorang teman Anisa semasa SMA. Aku terbiasa melempar pancingan, menunggu apa ide dan saran mereka. Walau sudah kami lepas dari gerbang SMA 6 tahun yang lalu, komunikasi masih tetap terjaga. Sebenarnya hanya setahun mereka kuasuh di kelas X-5, yang kemudian kami beri nama Sepuma ( Sepuluh Lima ). Dalam waktu setahun itu, berbagai suka duka mereka alami dengan tipikal wali kelas “ Keras Kepala “ seperti aku. Betapa tidak, kadang mereka harus merasakan ‘ didiamkan ‘ selama beberapa hari karena sesuatu hal.
Namun ternyata, keras, tegas, dan kadang main paksa, membuat mereka malah merindukan masa-masa SMA. Kebiasaan yang kutanamkan pada siswaku, semua memperoleh perlakuan yang sama, tidak ada bedanya antara yang pintar-tidak pintar; kaya-tidak kaya; apalagi kalau harus diukur dengan cantik/gantengnya. Sehingga, mereka terbiasa bebas menyampaikan pendapat, tanpa kuatir dibully, atau disisihkan. Satu hal yang paling tidak kusukai adalah ketika ada siswa yang selalu sendirian, tanpa teman, bahkan dibiarkan duduk termangu-mangu. Jika bertemu yang seperti ini, maka siswa lainnya kuberi ultimatum, dalam waktu sekian hari si fulan harus bisa membaur dengan mereka.
Masih di kelas yang sama, Sepuma, ada siswa yang lebih suka berada diluar kelas ketika jam belajar. Dari informasi yang kuperoleh, siswa tersebut hanya takut kepada ayahnya. Maka jalan satu-satunya adalah meminta kesediaan si ayah untuk bertemu membicarakan perihal putranya tersebut. Sejak saat itu, si ayah selalu hadir di sekolah setiap hari, ikut mengawal anaknya supaya tetap berada di kelas. Barangkali karena merasa malu, akhirnya si anak tidak pernah lagi cabut les, dan berakhirlah penderitaan si ayah sebagai pengawal pribadi. Qadarullah, anak tersebut kini meniti karir sebagai TNI-AD.
Mendengar musibah yang dialami oleh salah seorang alumnus, teman-teman sesama guru segera membuka donasi. Donasi dibuka hanya satu minggu, supaya dana yang terkumpul benar-benar bermanfaat bagi si korban. Sepuma dan temna-teman Anisa semasa SMP juga menggalang donasi lewat media sosial. Walaupun biaya perobatan ditanggulangi oleh Jasa Raharja, tidaklah menghalangi niat untuk berbagi. Salah satu alasan untuk menggalang dana adalah karena mendengar tindakan medis yang harus dilakukan terhadap korban. Ayah Anisa harus menjalani operasi pembetulan tulang rahang akibat benturan keras menyebabkan rahang beliau bergeser. Aku yakin, tak seorangpun diantara kita yang bersedia menggantikan posisi beliau, diberi sejumlah uang namun mengalami musibah seperti itu.
Seberapa urgenkah urusan receh ( Bagi sebagian orang dianggap receh ) seperti ini harus kuutarakan lewat tulisan?. Ya, sangat urgen, sebab ada beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran maka kami para guru untuk memulai gerakan donasi ini sekitar 3 tahun yang lalu. Meski terbatas hanya pada komunitas kecil, namun tidak mengecilkan semangat untuk berbagi. Sesuatu yang dilakukan secara rutin walaupun sedikit, jauh lebih baik jika melakukan hal besar versi the first and the last.
Yang pertama, kami menangkap sinyal bahwa ada kecenderungan bahagia lahir bathin ketika bisa berbagi, maka kami menyikapinya dengan segera membuka donasi ketika ada hal-hal yang dianggap layak untuk dibantu. Kedua, dengan berbagi, maka kita dapat berempati kepada ahli musibah, tidak hanya sebatas bersimpati. Ketiga, berbagi sekaligus menyambung silaturrahmi merupakan ibadah yang mampu melembutkan hati, menyingkirkan ego. Sebab, semakin sering berbagi maka nurani kita akan semakin terasah, bahwa masih banyak yang kurang beruntung dibandingkan kita. Akankah kita menikmati kebahagiaan kita sendirian?, tentu tidak seru. Lebih seru ketika bahagia beramai-ramai, ibarat foto selfie dengan groofie. Keempat, berbagi tidak akan membuat kita miskin, sebab Allah SWT yang akan melapangkan rezeki.
Tentang berbagi, ada etika yang harus dijaga supaya jangan sampai sia-sia segala perbuatan baik yang telah dilakukan. Perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya hal seperti ini diekspos, semua kembali kepada niat. Jika niatnya ikhlas, maka tidak perlu ragu untuk lakukan syi’ar tentang kegiatan berbagi tersebut. Sebab barangkali dengan melihat, mendengar, atau membaca informasi tentang itu, bisa jadi memotivasi orang lain untuk turut berbagi juga. Namun jika menjurus kepada riya, sebaiknya kita menjauhkan diri dari fenomena seperti itu. Berbagi itu boleh diam-diam, boleh juga terang-terangan. Yang tidak boleh adalah diam-diam tak juga mau berbagi.
Jika masih tetap mau debat kusir, ngalor ngidul, boleh tidaknya diekspos kegiatan berbagi, silahkan buka forum debat virtual secara terbuka, transparan, dan objektif. Dan jika butuh fasilitas Zoom tidak berbayar ( Gratisan ), ada sahabat saya founder Omah Dondong yang siap membantu. Intinya hanya satu, jika ada orang yang berusaha memperbaiki diri, melakukan kebaikan-kebaikan, menjadi insan pemburu surga, berhentilah bernyinyir-ria. Pun juga ketika kita ikhlas memberi, jangan juga nyinyir apakah bantuan yang diberikan tepat sasaran, apalagi ketika kita curiga bahwa si penerima donasi malah membeli skin care yang harganya fantastik. Terlebih lagi ketika kita sendiri malah tidak pakai skin care. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.