Beberapa waktu yang lalu, netizen dihebohkan oleh sebuah video tentang orang tua yang komplain terhadap salah satu gerai penjual voucher. Awalnya saya pikir biasa saja, hanya sekadar miskomunikasi antara pembeli dan penjual. Namun, demi melihat kemunculan video tersebut di beberapa grup, maka saya tonton videonya sampai habis. Tak urung juga melihat komentar para netizen, duh… beranekaragam komentar yang rata-rata memojokkan pembeli (lebih tepatnya orang tua si pembeli).
Belum hilang dari ingatan tentang video voucher(saya sebut saja demikian), kembali dunia medsos geger dengan beredarnya video tentang abang kurir cod. Sontak perhatian netizen beralih ke video kedua, yakni video abang kurir. Dan sepertinya, video abang kurir lebih ‘ngetop’ dibanding video voucher.
Seperti biasa, saya tidak dalam posisi pro atau kontra. Walaupun pihak-pihak yang berkaitan dengan kedua video tersebut berharap berada pada posisi ‘tidak salah’. Marilah kita buka mata hati, dengan kelapangan dada, terlebih di bulan Syawal yang penuh keberkahan.
Titik permasalahannya adalah kekurang pahaman pembeli dengan sistem belanja online. Tapi sebentar, apakah kita, para netizen sudah benar-benar memahami sistem belanja online, yang berbeda antara platform yang satu dengan lainnya?.
Jujur, saya sendiri belum begitu paham dengan sistem belanja online yang dibangun oleh e-commerce. Maka, ketika ada video viral seperti tadi, saya enggan berkomentar, kuatir salah dan membuat pihak-pihak tertentu semakin terpojok.
Yang saya lakukan kemudian adalah segera mencari tahu, bagaimana cara kerja toko/gerai tersebut sebagai media penjualan voucher. Kemudian, bagaimana syarat belanja online dengan sistem cod, apa saja yang boleh dilakukan konsumen ketika barang yang dipesan tidak sesuai, dan seterusnya dan seterusnya.
Haruskah saya buang-buang energi untuk mencari tahu tentang hal ini?. Jawabannya iya dan tidak. Iya, saya harus mencari tahu, karena merupakan ilmu baru buat saya. Untuk jawaban tidak, buat saya bukanlah buang energi, secara saya adalah guru pengampu mata pelajaran Ekonomi.
Andai ada siswa cerdas yang bertanya tentang hal ini, minimal, saya sudah punya jawaban standar. Dan biasanya nih, hal-hal baru dan unik seperti ini, saya sertakan pada butir soal ujian buat siswa.
Sebagai pegiat literasi, saya berharap, semoga kejadian seperti ini membuat kita semakin memahami arti pentingnya literasi dalam segala bidang. Literasi tidak mengenal usia, status sosial, pendidikan, bahkan jenis kelamin.
Jika ada sesuatu yang membuat kita merasa terusik, jangan langsung menciar (bahasa Kampung). Tahan diri dulu, pahami baik-baik, apakah tindakan kita melabrak seseorang itu sudah pas?. Andai kita mau bersabar dan belajar, tentu hal-hal seperti itu tidak akan terjadi.
Beberapa komentar pedas dari netizen, (kata si Bakrie masih lebih pedas mie ayam buat mantan), cukuplah mewakili netizen sejagat raya. Kita sudahilah memberi komentar yang membuat orang-orang tertentu semakin tertekan, tariklah ke diri kita, andai berada diposisi mereka, atau secara kebetulan menjadi sanak saudara mereka.
Atau, andai adek kita yang masih usia belasan tahun, memecahkan tabungan yang kita simpan jauh dari jangkauan, hanya untuk membeli voucher game ‘Ipen- Epin’, ayo mau diapain adeknya? Atau, andai emak kita yang sudah berusia 60 tahun, meradang karena tidak memahami belanja dengan sistem cod, viral dan dibully, pasti masih mau mengakui sebagai anak emaknya kan?.
Tapi saya yakin kok, beberapa diantara kita ada yang kecewa berbelanja online. Tidak semuanya happy ending, apalagi ketika muncul status mewakili kekecewaan dengan caption “Tak seindah gambar aslinya# not real pic”.
So, bersabarlah wahai jari dan jempol, jangan terlalu lincah untuk ikut terjun di kokom ketika ada hal-hal yang agak menghebohkan jagat maya. Gunakanlah medsos untuk hal yang bermanfaat, jangan sampai menimbulkan rasa kepo yang berlebihan, hingga netizen lainnya terpancing untuk scroll kemana-mana, demi mencari info yang lebih gres. Taqabbaallhu Minna wa minkum, salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.