Aku merasa tak mampu melakukan apa – apa. Lidahku kelu, tenggorokanku mengering. Kedua bola mataku seakan terhenti begitu saja untuk beberapa saat.
Setelah itu, pipiku terasa hangat. Buliran air bening mengalir deras tanpa mampu aku tahan. Mungkin mereka berusaha menjelaskan situasi di dalam hatiku saat itu. Hati ??? Sepertinya aku telah menjelma menjadi seonggok daging yang tak bernyawa.
Hatiku telah remuk menjadi keping – keping yang entah berserakan di mana.
Sepasang mata teduh menatap diriku yang kosong. Rengkuhan tangannya yang lembut membawaku ke dalam dekapannya. Sangat dekat, sampai aku hanya bisa mendengar debar jantungnya yang bergemuruh.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _
“Siapa …. ? Siapa wanita yang menikah dengannya ?” Tanyaku memecah keheningan.
Sekilas aku melihat Ibu melirik kepada ayahku. Mungkin dia berharap agar aku mendengarnya dari mulut Ayah karena Ibu merasa tidak sanggup menyakitiku.
Padahal, bukankah aku sekarang sudah tidak punya hati lagi ? Mana bisa aku aku merasakan sakit hati ?
“Hans … menikah dengan Elisa.” Jawab Ayah perlahan.
“Apa ???” Teriakku.
“Bukankah Elisa adalah adikku sendiri ?” Aku menghempaskan tangan ibu yang sedari tadi memelukku. Mataku menatap tajam pada Ayah dan Ibu.
“Tenanglah Eli. Ibu minta maaf, ini semua salah Ibu.”
“Tenang ? Ketenangan seperti apa yang Ibu inginkan ? Apakah Ibu bisa mengerti keadaanku?” Aku menjerit.
“Eliana, Ayah minta maaf. Sungguh – sungguh minta maaf.” Ayah memegang tanganku dan menuntunku agar kembali duduk.
“Tidak Ayah. Katakan dulu padaku, bahwa Ayah dan Ibu tidak memberikan izin pada Hans untuk menikah lagi! Ayo, katakan Ayah, Ibu ! Ku mohon !”
“Eli, sebenarnya Elisa bukan saudara kandungmu.” Jelas Ayah.
Aku semakin bingung. Pertanyaan demi pertanyaan menari – nari di kepalaku.
“Tepatnya, kamu bukan anak kandung kami, Eli.” Ayah pun bicara lagi.
Demi mendengar kalimat tersebut, aku pun bangun dari kursi dan beranjak menuju pintu keluar.
“Eli, kamu mau ke mana ? Tanya Ibu. Ibu berusaha menarik tanganku. Namun, aku terus berjalan melangkah keluar dari rumah.
Aku harus pergi. Entah ke mana yang penting aku harus segera keluar dari rumah ini, pikirku.
Di tengah jalan, aku teringat pada sebuah tempat yang bisa menjadi tempat istirahatku. Aku pernah berlibur bersama Hans di sana. Tempatnya pun tidak terlalu jauh dari sini. Hanya sekitar 2 -3 jam perjalanan.
Tempat yang aku tuju adalah sebuah home stay bergaya konvensional. Hans selalu menyukai hal – hal yang seperti itu, sederhana! Ahhhh …. kenapa aku terus mengingatnya!
Akhirnya aku pun sampai di home stay itu. Aku pun segera menuju meja resepsionis dan memesan kamar yang cocok untukku. Kali ini aku memilih kamar yang berhadapan dengan kolam renang, bukan kebun seperti kesukaan Hans.
Aku pun mengucapkan terima kasih ketika resepsionis memberikan kunci kamarku dan menunjukkan posisi kamar yang akan aku tempati.
Aku berjalan menyusuri lorong home stay yang tertata dengan sangat apik. Biasanya aku akan bersantai – santai sambil menikmati keindahan pemandangan ataupun gaya arsitekturnya, namun kali ini aku memilih untuk segera sampai di kamarku dan melepas semua kepenatan ini.
Setelah sampai di kamar, aku masuk dan menyalakan lampu lalu menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur.
“Hans menikah ? Elisa bukan saudara kandungku ? Aku bukan anak kandung Ayah dan Ibu?” Ahhhhh …..
“Apakah ini benar ?” Aku sangat marah sekarang. Marah, kecewa, sedih, semuanya bercampur.
Aku beringsut turun dari tempat tidurku dan duduk di lantai kayu kamar ini. Membiarkan kepala dan pundakku bersandar di tepian tempat tidur jati. Sementara kaki ku menjulur ke arah jendela lebar yang kini aku buka.
Suasana luar yang temaram menjadi pelampiasan amarahku. Jika saja bisa, sebenarnya aku ingin berteriak untuk meluapkan semuanya. Mungkin aku akan sedikit lega, pikirku.
Suara gemericik air yang turun dari mulut kendi yang terhubung langsung ke kolam terdengar seperti dentuman air terjun yang menghantam bebatuan di dasarnya. Aku pun tak tahu, apakah kesunyian ini akan menjadi milikku mulai saat ini ? Sampai – sampai suara alam yang biasanya damai pun terdengar gaduh.
Kini, aku berdiri di tepian kolam. Di antara riak kecil air kolam yang aku mainkan, aku melihat wajah seorang perempuan yang sedang tertawa bahagia. Dia begitu cantik dan terlihat elegan dengan penampilannya. Aku pun tersenyum melihat dia yang juga tersenyum.
Namun, tiba – tiba, bayangan itu berubah. Seorang perempuan hitam manis dengan sepasang matanya yang bulat sedang menangis. Kemudian datanglah seorang laki – laki berbadan tegap dan pembawaannya tegas namun tetap tenang, memeluknya dengan erat.
“Hans …” Ucapku dengan lirih.
Hans menatapku, tatapan matanya begitu dingin. Seakan menghujam ke dalam jantungku. Aku merasa sekujur tubuhku tenggelam dalam tatapannya yang dingin. Senyumku pun membeku.
“Elianaaaaaa……” (bersambung)
1 komentar