Hari ini saya melihat status dari salah satu pegiat literasi, Prof. Ngainun Naim. Beliau menyematkan sebuah link bacaan berjudul “Di Luar Negeri Akademisi Tidak Perlu Scopus” (klik di sini).
Tulisan ini memang sudah cukup lama. Dipublikasikan pada 1 Februari 2021 di ibtimes.id. Namun, saya pikir masih relevan.
Saya bahkan teringat pelatihan menulis jurnal yang saya ikuti beberapa waktu lalu. Pada pelatihan itulah saya mengenal Sinta dan Scopus.
Scopus adalah pangkalan data pustaka yang mengandung abstrak dan sitiran artikel jurnal akademik (Wikipedia). Di antara berbagai database jurnal akademik, Scopus termasuk database jurnal internasional yang memiliki reputasi baik.
Andar Wibowo-sang penulis artikel- memiliki pengalaman belajar di luar negeri. Ia menulis bahwa kampus-kampus di luar negeri tidak meributkan dan mewajibkan akademisinya untuk nulis di jurnal berindeks Scopus. Scopus juga tidak menjadi syarat kenaikan pangkat atau rangking keren-kerenan lainnya.
Wah!
Jujur, saya sendiri jika tidak karena kuliah, mungkin tak akan pernah merasakan menulis jurnal. Namun, saya sadar betapa penting bagi seorang akademisi untuk menyebarluaskan ilmunya, tentu dengan penuh tanggung jawab.
Penelitian memang bukan tugas utama guru. Meneliti merupakan salah satu tugas seorang dosen. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU No 37 tahun 2009. Meski begitu, bukan berarti seorang guru tak boleh melakukan penelitian. Banyak hal baru dan berubah karena penelitian.
Dari pelatihan menulis jurnal saat liburan lalu, saya akhirnya tahu jika dalam skala internasional ada Scopus, maka dalam lingkup nasional ada database jurnal terakreditasi Sinta. Sinta 1, 2, 3, 4, 5, 6. Semakin kecil angkanya, semakin bagus jurnalnya karena semakin ketat pula proses masuknya. Saya juga masih ingat trainer kami saat itu mengatakan bahwa bagi guru yang bisa masuk Sinta 6 atau 5 saja sudah cukup bagus.
Namun, permasalahan yang dimunculkan Andar adalah adanya dosen yang merogoh kocek sampai belasan juta agar jurnalnya terindeks Scopus. Hal tersebut dinilai absurd oleh Andar.
Yah, saya juga sebelumnya memang pernah mendapat informasi bahwa untuk menerbitkan jurnal dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Hampir mencapai jumlah gaji honorer saya dalam sebulan ketika awal mengajar di sekolah negeri. Itu adalah jumlah minimal.
Semakin bagus database jurnalnya, akan semakin mahal pula biayanya. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa saya belum berani lagi mencoba untuk menerbitkan jurnal. Bisa-bisa dapur saya tak mengepul bila memaksakan diri menerbitkan jurnal. Maka biarlah tulisan saya tersebar dalam berbagai blog maupun website.
Ketika sudah mulai menerbitkan buku, saya menjadi tahu dibutuhkan biaya untuk cover, edit, layout, dsb. Jurnal pun tentu seperti itu. Ada biaya-biaya untuk proses penerbitannya. Bila ditambah nebeng tulisan, ya jelas biayanya akan lebih bengkak lagi.
Meski demikian, ada fakta penting yang saya dapat dari tulisan Pak Andar. Pengalamannya belajar di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa peneliti, akademisi, dan mahasiswa doktor didorong untuk meneliti, menulis, dan menerbitkan karyanya dengan bertanggung jawab. Hal ini tentu saja agar impactfull, berdampak luas bagi dunia akademik maupun ilmu pengetahuan.
Semoga saya bisa menjalankan pesan yang beliau tulis di akhir artikel bahwa untuk memajukan mutu pendidikan di tanah air, kata para ahli pendidikan, kerja keras, jujur, bertanggung jawab itulah kuncinya. Bukan budaya instans dan polesan.
Terima kasih Prof. Ngainun, Terima kasih Pak Andar.