Masih berefleksi dari proses pembelajaran yang saya dapatkan di PGP (Pendidikan Guru Penggerak) dan PMM (Platform Merdeka Mengajar), kali ini saya akan berbagi tentang konsekuensi.
Konsekuensi sangat erat kaitannya dengan akibat dari suatu perbuatan. Adanya konsekuensi membuat seseorang belajar bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Diane Gossen berpendapat bahwa korelasi antara kesalahan dan bentuk sanksi pada konsekuensi lebih logis bila dibandingkan dengan hukuman. Pada artikel sebelumnya, kisah murid yang tidak mengenakan topi lantas diminta guru menghormat bendera di lapangan selama 15 menit adalah contoh hukuman. Tidak ada korelasi logis antara tidak pakai topi (kesalahan) dengan hormat bendera (sanksi), bukan?
Lalu, seperti apa konsekuensi itu?
Pernahkah Anda bersama-sama dengan orang lain membuat sebuah peraturan yang disepakati bersama? Lalu menentukan bersama sanksi apa yang didapat bila peraturan dilanggar? Jika ya, berarti Anda telah mempraktikkan penyusunan konsekuensi.
Katakanlah Bapak/Ibu guru dengan para murid sudah sepakat bahwa saat masuk kelas, harus menggunakan masker. Jika tidak, maka harus belajar mandiri di perpustakaan. Kesalahan dan solusi pada kasus tersebut lebih logis, bukan? Tidak mengenakan masker saat pandemi adalah hal penting untuk meminimalkan jumlah penyebaran virus. Oleh karena itu, demi keselamatan bersama, orang yang tidak mengenakan masker sebaiknya tidak berada dalam kerumunan (belajar sendiri di perpustakaan).
Terdapat tiga kata kunci untuk membedakan konsekuensi dengan hukuman:
- Dalam konsekuensi, guru bertindak sebagai pemantau sikap murid (apakah ada murid yang melanggar kesepakatan?).
- Terdapat kesepakatan bersama antara murid dan guru dalam menetapkan peraturan.
- Ada korelasi logis antara kesalahan dengan sanksi yang dibuat.
Poin ketiga inilah yang menyebabkan saya menuliskan pengalaman di bending sebagai bentuk hukuman pada artikel ketiga (Hukuman dan Konsep Diri yang Negatif). Saya tidak memasukkannya ke dalam contoh konsekuensi karena meski murid sudah mengetahui sebelumnya, namun belum ada korelasi logis antara kesalahan (tidak membawa buku PR) dan sanksi (bending).
Konsekuensi juga tidak berlaku bila solusi muncul dari guru. Misal ketika melihat ada anak yang mencela temannya, lalu sang guru berkata “Apa yang harus kamu lakukan bila berbuat salah? Ayo minta maaf!”.
Pada kasus tersebut, solusi meminta maaf bukan datang dari diri murid melainkan dari gurunya. Hal ini bisa berdampak anak tidak akan mengerti dengan kesalahan yang telah dilakukannya. Bisa jadi maaf hanya akan terucap di bibir saja (karena takut diomeli lebih lanjut misalnya) sehingga ia tidak belajar (secara alami) untuk bertanggung jawab memperbaiki kesalahannya.
Tapi apakah konsekuensi juga baik dalam menerapkan disiplin? Dalam kasus anak lupa memakai masker, jika anak tahu peraturannya belajar mandiri di perpustakaan, motivasi apa yang muncul agar anak tak mengulangi kesalahan yang sama? Apakah motivasi eksternal (karena takut belajar sendiri lagi) atau sadar bahwa memakai masker adalah hal yang baik untuknya dan teman-temannya (motivasi internal).
Semoga terjawab pada artikel-artikel berikutnya, ya. Sampai jumpa.