KMAC H-27 Redundant 24: “Eeyore”

Redundant 24:  “Eeyore”

  Oleh Erry Yulia Siahaan
“Eeyore” (Sumber: The Kim Foundation)

Sebuah boneka beruang kuning berbaju merah seukuran anak kecil yang gembrot, masih ada di rumah saya. Juga sepasang bantal-guling kecil dengan warna senada.

Yaaaa, benar. Winnie the Pooh.

Tidak terasa, sudah sekitar 20 tahun saya memilikinya. Entah bagaimana, karakter itu begitu melekat. Sampai-sampai saya dulu memutuskan untuk membeli tiruan ikon kartun itu di pasar. Di antara boneka yang menjadi karakter film Winnie the Pooh, seingat saya, saya juga membeli Eeyore. Namun, entah di mana dia sekarang (jadi teringat episode “Winnie the Pooh and a Day for Eeyore” di mana Eeyore pergi bersembunyi).

(Sumber: Disney Clip Art)

Menurut saya, keseruan dan nilai moral dari film Winnie the Pooh adalah justru terletak pada tokoh antagonis Eeyore yang begitu klasik. Dengan karakternya itu – yang berpusat pada diri sendiri disertai rasa malu dan depresi yang ekstrem – segala cerita tampaknya menjadi lebih mudah dirangkai. Sedemikian rupa, hingga melahirkan sebuah sajian yang, ketika dihadirkan di ruang keluarga, mampu mengantarkan nilai-nilai mendidik bagi anak-anak. Baik tentang Eeyore, tentang teman-temannya, khususnya tokoh protagonis Winnie the Pooh, maupun mengenai pertemananan di antara mereka.

Literasi Mempertemukan Kembali

Bukan suatu kebetulan bahwa literasi telah mempertemukan kembali saya dengan Eeyore dan kawan-kawan. Dimulai dari bagaimana saya menangkap pesan dari seorang teman melalui status WhatsApp/WA-nya awal Februari lalu. (Baca: Playing the Victim) Kemudian bergaul lebih dekat dengan istilah playing the victim dan berpetualang dalam rimba naskah akademik dan populer tentang tipe kepribadian tersebut. Lalu, berkesempatan menuliskan pendapat saya pribadi mengenai playing the victim, hingga mengalami perjumpaan kembali dengan cerita Winnie the Pooh dan tokoh-tokohnya, serta kenangan tentang boneka besar berusia sekitar 20 tahun yang masih ada di rumah sampai sekarang.

Pooh dan kawan-kawan (Sumber: Pinterest)

Sungguh takjub. Di antara pendapat pakar mengenai kepribadian playing the victim, ada satu yang nyantol dalam geliat menulis saya: “Jangan membayangkan pribadi tersebut sebagai sesuatu yang jahat, atau jelmaan iblis. Bayangkanlah karakter Eeyore. Teman-teman Eeyore sangat ulet dan tak kenal lelah dalam membantunya.”

Kalimat tersebut dikatakan oleh Barrie Davenport sebagai poin pertama dari 13 inisiasi yang direkomendasikannya dalam menghadapi kepribadian playing the victim.

Pemilik situs terkenal Live Bold and Bloom itu menambakan, “Tanggapi seolah-olah Anda berurusan dengan keledai yang membenci diri sendiri itu.” (Baca: 3 Indikasi, 13 Inisiasi)

Eeyore

Nama Eeyore sering muncul dalam cerita Winnie the Pooh. Eeyore adalah representasi onomatopoeik dari suara meringkik yang dibuat oleh keledai normal. Biasanya, suara keledai direpresentasikan sebagai “hee haw” dalam bahasa Inggris Amerika. Bahwa ada huruf “r ” itu tidak dibunyikan, berdasarkan fakta bahwa Milne dan sebagian besar pendengarnya berbicara dalam bahasa Inggris non-rhotic, di mana “r” dalam “Eeyore” tidak diucapkan sebagai /r/.

Menurut kamus Wiktionary dan Merriam-Webster, Eeyore diucapkan sebagai /ˈiː.jɔː(ɹ)/ (menurut simbolisasi fonetik berdasarkan International Phonetic Alphabet atau IPA). Eeyore (kelas nomina) adalah bahasa figuratif untuk menggambarkan orang yang terlalu negatif atau pesimis.

“Eeyore” (Sumber: The Kim Foundation)

Eeyore adalah keledai abu-abu tua dalam buku fabel Winnie the Pooh yang ditulis oleh AA Milne. Dalam ilustrasi yang dibuat oleh Ernest H. Shepard, keledai itu setinggi dagu untuk Pooh dan pinggul untuk Christopher Robin. Dia berekor panjang. Ekor dengan bagian ujung merah muda itu bisa dilepas dan sangat disukainya (namun juga berisiko hilang, misalnya ketika Owl pernah mengira itu penarik lonceng, hingga akhirnya Christopher Robin memasang ekor itu kembali).

Eeyore berkarakter khas (yang secara psikologis bisa dinilai negatif) dan cenderung menarik dari keekstreman karakternya itu. Sebagaimana wajib dalam sebuah cerita, setiap tokoh memiliki karakter-karakter tersendiri. Pertemuan karakterlah yang membuat sebuah kisah menjadi menarik. Dengan karakter yang jelas dan konsisten, penulis akan lebih mudah menggarap setiap episode dengan membangun plot-plot, mulai dari intro (eksposisi) dan konflik, hingga klimaks-antiklimaks dan resolusi.

Eeyore (Sumber: Pinterest)

Eeyore berkarakter pesimis, muram, suram, tertekan. Dia adalah keledai yang selalu rendah diri, tidak pernah melihat hal-hal ceria dalam segala hal, berpostur tubuh murung, dan memiliki masalah dengan citra tubuhnya (ekornya). Singkat cerita, Eeyore menderita depresi berat. Episode terendah depresinya telah berlangsung puluhan tahun. Wajar, bila penonton merasa kasihan pada tokoh yang seakan tanpa harapan ini.

Keledai itu terus-menerus merengek, mengeluh tentang ekornya, saat dia mondar-mandir. Dia selalu sedih, murung, tidak pernah benar-benar puas dengan apa pun. Ini menjadikan Eeyore sangat tertutup dan pemalu, tidak pernah benar-benar meninggalkan area di sekitar rumah kecilnya di Hundred Acre Woods (setting utama di mana cerita Winnie the Pooh dikisahkan). Suaranya sangat rendah dan monoton, seperti tidak punya semangat.

Pernah Eeyore bersikap narsistik dan egois, dengan menganggap dirinya mengetahui lebih baik dari siapapun yang tinggal di Hundred Acre Woods. Bahkan, dia mengatakan, yang lain itu sebagian tidak punya otak sama sekali. Yang mereka miliki, kata Eeyore, adalah sesuatu yang abu-abu yang kebetulan saja terbang dan menempel ke kepala mereka.

(Sumber: Disney Clip Art)

Pooh dan Teman-teman

Sebaliknya, teman-teman Eeyore, terutama Winnie the Pooh, sangat peduli, penuh kasih sayang kepada Eeyore. Mereka tidak melihat kekurangan Eeyore sebagai hambatan untuk menjalin pertemanan. Sebaliknya, kesetiaan Eeyore juga memenangkan hati teman-temannya itu setiap kali dia kehilangan ekornya.

Lebih lengkap tentang Eeyore, dia tidak pernah minum obat atau menemui konselor. Tetapi, dia memiliki teman yang menerimanya dan mencintainya apa adanya (bukan “ada apanya”).

Eeyore bisa begitu pemarah. Namun, itu bukan alasan bagi teman-temannya untuk tidak menyertakannya dalam permainan dan petualangan mereka.

(Sumber: Wall Paper Set)

Meskipun Eeyore kadang mengatakan tidak, hal itu tidak pernah menghentikan teman-temannya untuk tetap mengajaknya. Tidak sekali pun ada anggota geng itu yang mengatakan bahwa Eeyore tidak boleh datang, atau menginginkannya untuk tidak datang. Mereka menerima Eeyore apa adanya dan menghargainya. Mereka memperhatikan teman mereka yang bergumul dengan kesedihan itu.

Dari Kacamata Psikologi

Dari kacamata Psikologi, Eeyore (sebagaimana sepintas telah disinggung di atas berdasarkan tinjauan kamus) adalah istilah kiasan untuk menggambarkan orang yang terlalu negatif atau pesimis.

Eeyore bisa disebut berkarakter anhedonia. Anhedonia bisa diartikan sebagai ketidakmampuan atau berkurangnya kemampuan untuk mengalami kesenangan. Bisa karena kurangnya motivasi untuk mencari kesenangan, atau karena kurang bisa menikmati aktivitas yang menyenangkan, atau keduanya. Anhedonia merupakan salah satu gejala utama depresi dan beberapa kondisi kesehatan mental lainnya.

Menurut kamus Thesaurus, anhedonia bersinonim dengan grief, misery, sadness, sorrow, woe, distress, dolor, dysphoria, heartache, infelicity, melancholy, misfortune, worry, dan wretchedness. Yang berturut-turut berarti duka, penderitaan, kesedihan, lara, duka, kesulitan, sedih, disforia, pilu, ketidakpatutan, melankolis, kurang beruntung, khawatir, kemalangan.

(Sumber: Reddit.com)

Sebenarnya, bukan hanya Eeyore yang secara psikologis berkarakter “agak kurang”. Tokoh lainnya, kalau diperhatikan kecenderungannya, juga memiliki kekurangan. Winnie the Pooh bisa dinilai mengalami gangguan yang disebut eating disorder (karena lapar dan makan terus). Piglet mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan, suka bersembunyi di balik pohon atau di belakang teman-temannya).

Owl mengalami dyslexia dan short-term memory loss (kesulitan belajar bahasa dan pelupa). Tigger mengalami attention deficit hyperactivity disorder (mempunyai dorongan kuat untuk bertindak di luar kendali, baik dalam berperilaku maupun berbicara). Rabbit mengalami obsessive compulsive disorder (suka cemas dan melakukan hal yang sama berulang-ulang). Kanga mengalami social anxiety disorder (terlalu protektif dalam menjaga anaknya). Roo menyandang autisme (sering tidak merespon peringatan dari orang-orang sekitarnya).

Rabbit dengan obsessive compulsive disorder (Sumber: Reddit.com)

Dalam episode berjudul “Winnie the Pooh and a Day for Eeyore”, cerita fiktif ini benar-benar berpusat pada Eeyore. Menyaksikannya bisa membuat kita ikut terbawa kesedihan dan keputusasaan yang menyelimuti Eeyore setiap hari.

Eeyore bersembunyi, mengasingkan diri. Winnie the Pooh mencarinya dan mencoba memahami mengapa dia begitu murung hari itu. Mengetahui bahwa ini adalah hari ulang tahun Eeyore, Winnie the Pooh mengumpulkan teman-temannya untuk membawakannya hadiah dan merayakannya. Namun, Winnie the Pooh memakan madu yang dibawanya sendiri, Piglet tersandung hadiah balonnya hingga meletus. Meskipun, pada akhirnya, semua duduk di meja dan merayakan ulang tahun Eeyore. Memberikan Eeyore ruang, cinta, penerimaan, perhatian, dan tidak berusaha mengubahnya dengan cara apa pun — tindakan ini membuat Eeyore merasa aman dan menikmati dirinya sendiri. Sebab, yang paling ditakuti oleh Eeyore adalah menjadi dirinya sendiri hingga terlalu berat untuk dicintai atau diterima oleh orang lain.

Kanga dan Roo (Sumber: PNGEgg)

Semua karakter di atas sebenarnya sebuah refleksi tentang siapa kita dan orang-orang di sekitar kita. Mungkin kita adalah Tigger, yang berjuang untuk fokus atau melakukan hal yang salah atau di luar kendali, tetapi tetap menyenangkan. Mungkin juga kita adalah Piglet, yang suka mencemaskan banyak hal dan ingin semuanya baik-baik saja tetapi tidak selalu tahu jawabannya. Mungkin juga kita adalah Winnie the Pooh, yang pemikir, pencetus ide-ide hebat, penjaga perdamaian, tapi senang makan. Atau, Owl, yang bijak, meskipun pelupa dan mengalami disleksia. Atau, kita sendiri yang adalah Eeyore, yang muram, sedih, putus asa, yang merasa “hidup” kembali ketika suaranya didengar.

Kita semua memiliki kekurangan. Cerita tentang Eeyore dan kawan-kawan adalah bentuk ekstrem dari bertemunya semua kekurangan itu menjadi sebuah harmoni. Saling menerima dan duduk sama-sama dalam relasi yang tidak menghakimi satu sama lain sungguh sesuatu yang ideal. Seperti kata Pooh di akhir cerita: “Everybody’s alright, really”. 

Sungguh melegakan. Semoga bisa. Amin. ***

Tinggalkan Balasan