“Lansia Sosialita”

Literasi, Terbaru72 Dilihat
Sebagian “tim sibuk” di dapur gereja. (Sumber: Erry YS/Dokumentasi pribadi)

“Lansia Sosialita”

Oleh Erry Yulia Siahaan

“Lansia sosialita”. Demikian Lia mendapatkan nama baru di rumah.

Awalnya, anak bungsu Lia bertanya, apa saja agenda Lia besok. Lia menjelaskan rencananya yang lumayan penuh, di gereja, dari pagi sampai malam.

Wah, Mama sekarang sibuk sekali. Wanita sosialita,” respon Ade, anak bungsunya, dengan senyum dan bersemangat.

Ade bahagia melihat ibunya tidak sedih berlarut-larut seperti sejumlah ibu yang dikenalnya sepeninggal suami. Ade senang mendapatkan Lia kini kembali mengisi waktunya dengan produktif.

Lia adalah pemerhati masalah ilmu pengetahuan, teknologi, kesehatan, musik, dan sastra. Lia juga seorang penulis dan guru bahasa Inggris. Pernah belasan tahun menjadi jurnalis.

Beberapa tahun terakhir, Lia praktis kurang aktif dalam kehidupan sosial dibandingkan sebelumnya. Apalagi, suami sakit serius, serta membutuhkan perawatan dan pendampingan dari keluarga. Dua tahun belakangan ini bisa dibilang kegiatan Lia menurun.

Lia sudah berencana untuk ikut pelayanan rohani, khususnya di rumah sakit dan penjara-penjara. Cita-cita yang sama yang dikatakan oleh suaminya saat terbaring lemah di tempat tidur.

“Kalau Tuhan ijinkan saya sembuh, saya mau ikut pelayanan di rumah sakit dan penjara,” kata suami Lia.

“Iya, saya juga ikut sama Bapak,” kata Lia.

Lia sudah bertanya pada beberapa orang, termasuk di lingkungan gerejanya, mengenai jadwal pelayanan di rumah sakit dan penjara. Sembari menanti itu, Lia berkecimpung dalam kegiatan yang dirinya merasa terpanggil.

Tidak terasa, ketika tahun ini sudah ada niatan untuk kembali aktif berkegiatan, usia Lia sudah hampir 60 tahun. Sudah di ambang kategori lanjut usia (lansia). Ketika dirinya aktif lagi di gereja, Lia ingin mengikuti lagi paduan suara. Namun, dirinya bingung, mau ikut paduan suara yang mana. Sebab, ada banyak paduan suara.

Ada saran, jemaat sebaiknya mengikuti satu saja paduan suara. Ini yang membuat Lia bingung. Sekali memilih, sebaiknya pilihan itu mantap. Bukan karena ada larangan pindah ke paduan suara  lain kalau kurang cocok, tetapi Lia tidak ingin melakukan itu. Buat Lia, ikut pelayanan apa saja adalah baik. Yang penting, motivasinya adalah untuk memuji Tuhan.

Bahwa suatu ketika, sepulang gereja, Lia dihampiri seorang kakek yang kemudian mengajaknya masuk koor lansia, Lia langsung mengiyakan. Lia bersyukur, dirinya betah dan merasakan damai sejahtera di dalam lingkungan itu sampai sekarang.

Mama Anggi. (Sumber: Erry YS/Dokumen pribadi)

Pulang Malam

Hari ini, pagi-pagi, Lia sudah janjian dengan seorang jemaat di dekat gerbang kompleks. Lia biasa pergi bersama-sama dengan teman itu, yang hampir setiap minggu membuatkan masakan untuk makan siang di gereja. Kadang teman itu menyetir sendiri. Pada lain kesempatan, seperti hari ini, dia menyewa mobil dan supir.

Barang yang dibawanya lumayan banyak hari ini. Teman itu senang sekali ada Lia bersamanya. Sesampainya di gereja, teman lain sudah menanti. Mereka saling membantu membawa turun makanan dari mobil.

Usai berdoa syafaat, Lia dan teman-teman makan siang bersama. Biasanya jam satu siang Lia langsung bergabung dengan latihan koor lansia. Hari ini, koor diundur menjadi jam empat sore, supaya lansia bisa langsung bergabung dengan ibadah malam bersama jemaat yang lain. Malam ini ada acara khusus, yang dinilai penting sehingga lansia diharapkan hadir untuk memberikan saran dan pendapat. Suara lansia sangat didengar.

Lia berpikir, daripada bolak-balik, pulang dan datang lagi ke gereja, mending di gereja saja sampai malam. Apalagi siang hari ada kegiatan masak-memasak di gereja untuk persiapan makan malam sebelum ibadah. Jemaat perempuan sudah berdatangan untuk membantu. Ada yang datang membawa pisau dari rumah seperti diinformasikan dalam WhatsApp.

Jadi, Lia terjun ke dapur, bersama para ibu yang lain. Ada yang masih muda, ada yang lansia seperti dirinya dan temannya yang sekompleks tadi. Lia mengerjakan apa yang dia bisa. Memotong tempe untuk digoreng, membantu menyiapkan jeruk nipis untuk melumuri potongan daging ayam, mencuci daun singkong lalu menghaluskannya untuk dibuat sayur khas Batak. (Sayur ini dimasak dengan santan, irisan bawang merah, lengkuas yang digeprek, dan potongan kecombrang.)

Tim doa syafaat yang juga tim sibuk di dapur. (Sumber: Erry YS/Dokumen pribadi)

Lia merapikan kursi-kursi yang dipakai oleh tim pendoa syafaat dan menyapu lantai supaya ruangan tampak rapi dan bersih ketika lansia datang untuk latihan koor.

Semua berjalan lancar. Menjelang jam empat sore, tinggal menunggu nasi kelar ditanak.

Menjelang jam tujuh, jemaat makan bersama. Acara ibadah dan rapat dimulai sekitar pukul setengah delapan,  selesai jam setengah sebelas.

Seperti kemarin, hari ini Lia pergi pagi, pulang malam. Pergi dengan “bimbang” (baca: bertanya-tanya), pulang dengan hati senang. “Bimbang” karena pertemuan malam ini membahas hal yang sensitif. Lia berdoa semoga hati seluruh peserta tertuju kepada Tuhan. Semoga semua memuliakan Tuhan.

Lia pulang dengan hati senang. Lia kembali mengisi hidupnya dengan berkemenangan. Hatinya bahagia bukan semata-mata karena seharian berada di gereja. Lebih dari itu. Harapannya untuk terbentengi dari kecemaran boleh menjadi kenyataan. Tidak ada kesal, ngerumpi, atau semacamnya.

Doanya terkabulkan. Ibadah dan rapat yang dihadiri lebih dari seratus orang itu berjalan tertib, terkendali, dan lancar. Lia berulang-ulang memuji Tuhan.

“Mudah-mudahan ini juga sejatinya makna ‘sosialita’ dalam pandangan anak-anak,” pikir Lia. ***

Tinggalkan Balasan