Memendam rindu selama hampir tiga tahun membuat acara hari ini sangat berarti. Sembilan jam pertemuan tidak memudarkan kehangatan silaturahmi dari sekitar 700 orang yang hadir. Acara demi acara berlangsung meriah, penuh tawa-canda, tanpa kehilangan makna. Lagu-lagu Batak Simalungun, pop, dan satu-dua nyanyian dangdut, mengalir mengiringi tortor estafet antarkelompok dan penyerahan ayam na pinadar na pinatur (makanan adat khas Simalungun).
Setelah tertunda untuk bertemu karena munculnya pandemi Covid-19, keluarga besar marga Purba Sidadolog dan Purba Sidagambir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) tahun ini kembali mengadakan pertemuan akbar. Nama pertemuan bukan lagi “Bona Taon” (“Buka Tahun”), tetapi “Marsombuh Sihol Dolog Masagal”. “Marsombuh Sihol” berarti “lepas kangen”. Dolog Masagal adalah nama kampung halaman dari mana keluarga besar Purba berasal.
Ikatan kekerabatan tidak serta-merta pudar oleh datangnya Covid-19. Itu terlihat dari terselenggaranya acara yang terbilang sukses tersebut, meskipun persiapannya hanya dua bulan. Realisasi pemasukan dana untuk acara juga melebihi dari yang direncanakan.
Ada hal-hal baru dalam temu rindu itu. Salah satu yang penting adalah adanya bendera perkumpulan, yang menjadi usulan dari pengurus wilayah Jakarta Barat selaku tuan rumah. Bendera itu diserahterimakan oleh panitia kepada pengurus pusat, yang kemudian akan mengambil langkah-langkah penyempurnaan jika dipandang perlu.
Gotong dan Bulang
Praeses Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Distrik VII Pdt. Sariaman Purba, S.Th mengajak keluarga besar Dolog Masagal selalu melihat dan mengingat gotong dan bulang yang menjadi ciri khas masyarakat Simalungun sekaligus simbol pemersatu. Pada bagian tengah backdrop banner berupa spanduk besar yang menjadi latar belakang panggung, terdapat gambar gotong di kanan dan bulang di kiri. Ini untuk mengingatkan bahwa itulah salah satu identitas Dolog Masagal.
Gotong adalah penutup kepala untuk keturunan laki-laki dari marga Purba, sedangkan bulang (sebagian masyarakat menyebutnya “gulang”) adalah penutup kepala untuk isteri-isteri mereka. Dalam sebuah acara adat, kedua asesoris itu memudahkan kita untuk mengenali mana laki-laki yang bermarga Purba dan sudah menikah, dan mana perempuan yang menjadi nyonya Purba. Laki-laki marga Purba yang lajang atau belum resmi menikah secara adat tidak boleh memakai gotong. Gotong dan bulang merupakan hadiah pernikahan dari orangtua kepada pengantin, sebagai bentuk restu, berkat, dan doa agar mereka tetap bersatu.
Perempuan yang memakai bulang biasanya berkebaya dan memakai ulos yang disebut suri-suri (ulos selendang) yang ditambatkan di pundak kanan. Mereka boleh mengenakan suri-suri yang senada atau satu setel dengan atirongga (sarung atau bawahan), boleh juga tidak. Memang, kesepadanan membuat penampilan lebih serasi, tapi bukan keharusan.
Ketika mengucapkan kata “horas”, misalnya usai marnortor atau menari, para perempuan mengangkat ujung suri-suri masing-masing ke depan tubuh dengan kedua tangan, lalu mengibaskannya ke atas setiap kali mengucapkan “horas”. Rumbai di ujung suri-suri ikut terlempar ke atas ke bawah, mempercantik gerakan serentak itu.
Gotong terbuat dari kain batik yang dilipat dan diatur sedemikian rupa hingga bagian depannya menjulang tinggi dan lancip ke atas. Memakainya relatif lebih mudah daripada bulang. Ia tinggal ditaruh saja di atas kepala, seperti memakai peci.
Sedangkan bulang dibuat dari ulos dan memakainya lebih repot, karena harus dijepit di sana-sini supaya tidak mudah terlepas dari kepala, terutama ketika marnortor. Gaya marnortor adat Simalungun dicirikan antara lain dengan menekuk kedua lutut dan merendahkan posisi badan dalam posisi agak membungkuk dan kepala kadang dimiringkan, sementara kedua tangan bergerak membuka dan menutup secara elok. Bulang juga harus dipasang agak miring, dalam artian sisi kanan harus lebih tinggi dari yang kiri.
“Sudah sejak dulu begitu,” kata salah seorang penasehat, Sintua A Purba terkait posisi bulang yang harus miring. (Sintua adalah istilah Batak untuk penatua gereja).
Anugerah
Pendeta mengingatkan jemaat bahwa hari ini adalah Minggu Palem atau Minggu Palma. Ini mengingatkan umat Kristiani pada momen di mana Tuhan Yesus memasuki kota Yerusalem dan disambut dengan daun-daun palma. Menurut Pendeta, ini analog dengan anugerah dari Allah yang masuk ke tengah-tengah kehidupan keluarga besar Dolog Masagal.
“Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun,” tutur Pendeta mengutip Mazmur 133 ayat 1 tentang nyanyian ziarah Daud.
Kesatuan adalah anugerah. Oleh sebab itu, jangan disia-siakan.
“Kita harus terus duduk bersama dalam kasih karunia Allah, yang disimbolkan dengan budaya luhur margotong dan marbulang. Ini simbol tradisi yang harus terpatri,” tegas Pendeta. (Pemakaian kata “mar” dalam kata margotong dan marbulang berarti “mengenakan” atau “memakai”.)
“Karena Tuhan Yesus masuk dalam kehidupan kita, kita mau bersatu, bersehati, na marsalina atau bersandar, jangan menjauh,” tambah Pendeta.
Dalam kehidupan pasti ada peristiwa pahit-manis. Sebagai keluarga besar, kata Pendeta, jangan ada anggota yang membenci atau menjauh dari perkumpulan. Juga, jangan pernah menolak. Allah mengetahui semua kebutuhan kita. Tuhan menyediakan semuanya, menurut apa yang terbaik di mata Tuhan. Kita patut mengandalkan Tuhan dalam bertindak, berkata-kata, dan berbuah.
Pendeta kemudian mengajak keluarga besar Dolog Masagal menyanyikan lagu “Hidup Ini Adalah Kesempatan”. Melalui lagu ini, semua keluarga besar Purba Dolog Masagal diingatkan untuk melakukan yang terbaik agar hidup masing-masing bisa menjadi berkat bagi orang lain. Renungan ditutup dengan doa berkat dan pengutusan oleh Pendeta.
Marsombuh Sihol
Marsumboh Sihol Dolog Masagal dimulai pukul 09.27 dan diisi dengan ibadah pembuka, menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan “Mars Dolog Masagal”, serta kata sambutan dari Ketua Panitia, Ketua Pengurus Wilayah, Ketua Umum dan Penasehat Dolog Masagal Se-Jabodetabek, Pimpinan Purba Tambak dan Purba Sidasuha, boru & panogolan, serta kaum muda. Selanjutnya diadakan pemberian berkat kepada mereka yang kehilangan pasangan hidup dalam tiga tahun terakhir, tortor dan pembagian doorprize.
Purba Tambak dan Purba Sidasuha adalah undangan. Jika mengadakan acara-acara besar, Purba Tambak, Purba Sidasuha, dan Purba Sidadolog-Sidagambir memang biasa saling mengundang. Istilah “boru & panogolan” biasa dikenal sebagai “boru dohot bere” dalam bahasa Batak Toba, yang berarti anak-anak perempuan (boru) dari ayah yang bermarga Purba beserta para suami dan keturunan mereka.
Usai makan siang diadakan tortor antarkelompok berpasangan secara estafet, di mana dua kelompok yang mendapatkan giliran berdiri berseberangan dan berhadap-hadapan. Tortor dimulai dengan kelompok panitia dan pengurus pusat, dilanjutkan dengan pengurus pusat dan keluarga Bekasi, lalu Bekasi dan Jakarta Timur, dan seterusnya hingga kaum muda, termasuk anak-anak.
Ada juga pemberian ayam na pinadar na pinatur dan bir dari panitia kepada pengurus pusat, pendeta, dan lainnya. Ayam na pinadar artinya ayam yang dipanggang, sedangkan na pinatur berarti yang diatur. Jadi, ini adalah makanan adat Batak Simalungun sebagai ucapan syukur dan doa kehidupan yang teratur, yang ditandai dengan sepiring ayam na pinadar yang diatur sedemikian rupa sehingga letak kepala, sayap, kaki dan lainnya berada pada posisi senormalnya. Sedangkan bir adalah pelengkap. Di kampung halaman, biasanya berupa tuak.
Pada pertemuan itu juga diadakan pengumpulan dana sukarela untuk membantu keluarga besar GKPS di Purwakarta. ***