Jejak Aksara Milenial di Tengah Pandemi

Literasi, Terbaru74 Dilihat
Jejak Aksara. Sumber; dokumen pribadi

 

Diksi-diksi kerinduan akan menyatu dalam irama aksara.

 

Mengulik aksara bagi generasi Milenial adalah sesuatu yang sangat membosankan. Lebih baik berselancar di media sosial untuk mencari hiburan, daripada menghabiskan usia muda dengan menggeluti dunia aksara.

 

Tak ada yang salah dengan prinsip hidup setiap orang. Namun kita juga harus mengingat, bahwasan kehidupan kita terus berjalan menuju usia tua, dan berakhir pada kematian.

 

Lastas, apa yang akan kita tinggalkan untuk bangsa dan negara? Ya, hanya satu jalan yakni meninggalkan jejak.

 

“Jangan tanya apa yang bisa dilakukan negara untukmu, tetapi tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negara.” (John F Kennedy).

 

Kita selalu bertanya, kenapa harus terjadi seperti ini? Kok saya tidak diperhatikan sama pemerintah? Pemerintah enggak adil? Masa yang lain sering dapat bantuan, lalu saya enggak?

 

Apa yang akan kita berikan untuk negara? Semestinya pertanyaan ini yang pas untuk kita generasi Milenial! Generasi Milenial adalah usia produktif. Kita adalah tumpuan masa depan bangsa dan negara tercinta. Bila sekarang kita tak ada kompas yang jelas, bagaimana kita akan membawa bangsa dan negara ke arah persaingan global?

 

Ya elaaah, ngapain kita urusurin negara? Kan sudah ada pemerintah yang mengurusnya! Paradigma/pola pikir yang tidak logis di tengah Pandemi. Kita berpikir bahwa hanya pemerintah yang bertanggung jawab untuk menakhodai perahu Indonesia di tengah Pandemi. Sobat, kita semua adalah pemilik bangsa Indonesia. Jadi, kita pun harus bertanggung jawab untuk merawat bangsa tercinta. Ya, tanggung jawab kita adalah bukan hanya menjadi warga yang taat hukum, lebih jauhnya kita harus berani berkarya dalam bidang apapun. Karena karya adalah bukti sumbangsih kita bagi bangsa Indonesia.

 

Saya sangat bersyukur, bahwasan di tengah Pandemi, saya pun semakin produktif dengan diksi-diksi kerinduan yang menyatu dalam irama aksara.

 

Melalui aksara, saya memberikan sumbangsih bagi literasi Indonesia. Selain itu, saya mencoba untuk menjadi bahan peramu mantra dalam mengeluarkan keresahan yang masih tersembunyi di dalam pikiran sesama. Meminjam metode ajaran filsuf Sokrates, yakni metode “Maeutic” atau metode bidan. Ya, metode bidan adalah sarana yang digunakan oleh Sokrates dalam mengeluarkan ide, gagasan dari setiap orang.

 

Tugas seorang bidan adalah mengobati pasiennya. Lalu, tugas saya adalah mengeluarkan ide, pendapat, gagasan rekan Milenial yang masih dipenjara oleh gengsi dan rasa minder untuk berkarya.

 

Bila melihat peta karya generasi Milenial, tentunya sudah ada ribuan generasi Milenial yang berani berkarya dalam bidang apa saja. Lain cerita dengan generasi Milenial yang masih bersembunyi dibalik tirai gelar. Inilah yang menjadi sasaran dari metode bidan Sokrates.

 

Penyakit euforia dibalik tirai gelar sangat memanjakan mereka untuk terus berada di puncak sensasi. Lalu, mereka lupa untuk turun dan berkarya dalam memajukan literasi Indonesia. Alasan mereka tidak berani berkarya adalah Pandemi. Ya, Pandemi kan membatasi ruang gerak kita! Bagaimana kita mau berkarya? Toh, lapangan pekerjaan pun semakin susah! Sobat, tujuan dari mencari ilmu pengetahuan di dunia Kampus adalah kita bisa mengaplikasikannya dalam dunia nyata.

 

Ilmu pengetahuan yang sudah kita geluti selama 4 tahun di dunia Kampus menjadi mantra bagi kita untuk berani menciptakan lapangan pekerjaaan sendiri. Masa kita yang berpendidikan tinggi, kalah dari orang yang tidak berpendidikan! Ke mana saja ilmu pengetahuan yang kita bersusah payah pelajari di dunia pendidikan, bila tak ada manfaatnya di dalam kehidupan nyata?

 

Sobat, saya bukan penganut paham “satiris” ya. Saya hanya merasa prihatin dengan pendidikan saat ini. Di mana, “logical thingking” atau pikiran kritis sangat jauh dari kehidupan generasi Milenial yang berpendidikan tinggi. Masa kalah dengan generasi old/tua yang semakin produktif dalam berkarya.

 

Ah, daripada saya semakin bernafsu untuk melontarkan pikiran kritis, mendingan saya mengakhiri episode aksara ini dengan ucapan terima kasih kepada Pak Thamrin Dahlan yang telah membantu saya dalam menerbitkan buku. Terima kasih YPTD.

 

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Platform Kompasiana yang telah memberikan ruang berkreasi bagi saya tanpa batas. Terima kasih juga kepada rekan penulis, Kompasianer, berkat anda semua, karya ini pun hadir menemani literasi Indonesia.

 

Mohon maaf bila dalam artikel receh ini, saya menggurui anda sekalian.

Salam literasi

Tinggalkan Balasan

2 komentar