Mengibas Rindu di Ujung Jembatan

Terbaru76 Dilihat

Andaikan kau tak meninggalkan diriku, pasti di ujung jembatan ini, kita akan saling menatap, sembari melepas canda tawa yang masih dipenjara oleh birahi semesta.

 

Aliran birahi semesta orngtuamu membawa sukma kegelisahan di ujung jembatan ini. Di antara diriku, masih ada diriku yang lain, tatkala aku memandang dari sudut Filsafat Liyan. Tapi, kenapa waktu itu, kau mendustai birahi suciku, hanya karena orangtua tak merestui hubungan kita.

 

Okeylah, aku sadar bahwasan aku berasal dari ras yang berbeda. Tapi, bukankah perbedaan itu unik dan indah? Apalagi aku adalah bagian dari dirimu (Liyan). Karena apa yang aku rasakan, semestinya kamu juga merasakan. Sebaliknya.

 

Itulah arti persahabat sejati. Kita semua dipanggil untuk menjadi sahabat. Mengutip salah satu quote dari karya novel pertamakuyang berjudul ‘Terjebak’

“Pelangi itu indah karena banyak warna. Manusia itu sempurna karena banyak karakter. Indonesia itu ada karena banyak budaya, bahasa, dan ras. Yang terpenting bagi pelangi, manusia dan Indonesia adalah kerjasama.” (Fredy Suni).

 

Warna-warni kehidupan adalah kekauatan cinta anatar aku dan dirimu. Tapi, haya karena superego dalam teori Sigmund Freud, orangtumu mengusir birahi suciku.

 

Eitssss kawan jangan meliarkan kata “birahi’ ya. Karena birahi dalam konteks ini adalah cinta murni. Cinta itu universal. Artinya semua orang mengalami cinta. Selain universal, cinta itu membawa sukma diantara orang yang sedang memadu kasih. Apalagi memadu kasih antar rasa dan buday. Makin runyam cinta dipertahankan.

 

Memasuki senjakala di ujung jembatan, kau dan aku menangis histeris.Sembari aku melayangkan mataku ke salah satu perbukitan yang enghimpit superego orangtumu. Sejauh mata memandang, ada keindahan, derita dan penghianatan. Namun, aku hanya membungkus penghianatan itu dalam kemasan aksara.

 

Karena melalui dunia aksara, aku selalu berusaha untuk menjadi sabar dalam menantikan dirimu, kapan keluar dari jeruji besi kungkungan orangtuamu.

 

Andaikan aku punya sayap, aku akan menerbangkan angan kita menembusi cakrawala. Bahkan aku tak mau kembali lagi di ujung jembatan itu. Karena ketika aku mengingat kembali kejadian itu, sungguh menyakitkan. Tapi, ya itulah seni meramu mantra cinta dalam balutan perbedaan.

 

Lagi-lagi aku harus mengutip quote dari karya novel perdanaku ‘Terjebak.’

“Manusia hidup dalam dua dimensi, yaitu dimensi terang dan dimensi gelap. Dimensi kelahiran dan dimensi kematian. Manusia tak pernah memilih keluarga, kepercayaan, tempat dan negara di mana ia dilahirkan. Yang terpenting bagi manusia adalah menghargai arti dan makna kehidupan. (Fredy Suni).

 

Andaikan aku seperti mantan presiden John F Kennedy yang selalu menyukai sastra puisi, atau pun Presiden Amerika Serikat sekarang Joe Biden yang mencintai karya puisi, maka aku akan selalu membacakan pusi untuk dirimu yang kini berada di pelukan semesta.

 

Di ujung jembatan ini, aku hanya melantunkan doa dan harapan, semoga kau tetap menjadi pendoa bagi aku dan semua orang.

 

Tinggalkan Balasan