Karena Merantau saya Tahu

Humaniora, Terbaru65 Dilihat

 

Ke mana pun langkah kaki seorang perantau, ia tidak takut. Jika arah dan tujuannya tak ada sumber air

(Fredy Suni)

 

Merantau adalah kata kunci yang akan saya pakai untuk menganggit artikel ini. “Karena Merantau Saya Tahu.” Judul tulisan ini mengingatkan saya pada bapak filsafat Modern yakni “Rene Descartes.”

 

Di mana, ia mengatakan bahwasannya “Cogito Ergo Sum” yang berarti “Aku Berpikir Karena Aku Ada.”

 

Persoalan berpikir ikut membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk meragukan segala hal (Pengalaman Inderawi). Untuk itu, ia mulai berfilsafat dari dalam dirinya sendiri.”

 

Serupa, saya pun akan menuliskan kisah perjalananku sebagai sebuah seni untuk memaknai tema “Karena Menulis Aku Ada” yang menjadi pijakan bagi kita semua penulis YPTD untuk berkreasi selama empat puluh hari.

 

Karena merantau saya tahu. Merantau adalah hal biasa yang  kita dengar setiap hari. Bukan hanya itu saja, saat ini dan nanti kita akan terus merantau.

 

Merantau bukalah perkara yang mudah bagi kita. Karena merantau, kita belajar apa itu proses kehidupan dalam menemukan talenta yang kita miliki.

 

Selama kita menjalani proses itu, ada canda-tawa, sedih, pilu, terharu dan bejibun masalah emosional. Kolaborasi dari perasaan demikian mampu mengarahkan saya pada ilmu pengetahuan.

 

Ilmu pengetahuan lahir dari pengalaman inderawi saya selama ini. Tujuh tahun lalu, saya memilih untuk merantau ke negeri seberang. Tujuan saya merantau adalah mencari ilmu pengetahuan.

 

Dengan berilmu, saya akan terus mencari jati diri saya. Apa itu jati diri? Pertanyaan ini sulit bagi saya. Karena separuh hidupku dihabiskan untuk mencari arti kebahagiaan.

 

Plato dalam etika “Nicomachea” mengatakan;”tujuan tertinggi dan terakhir dari manusia adalah kebahagiaan.”

 

Apakah saya sudah bahagia? Ya saya sangat bahagia. Mengapa saya bahagia? Karena dengan merantau saya tahu akan banyak hal.

 

Contoh konkrit; saat ini saya tahu arti nilai-nilai kemanusiaan. Karena kehidupan ini hanya sementara saja. Dalam kesementaraan ini saya harus memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi diriku dan sesamaku (Liyan).

 

Liyan adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang mengarahkan saya pada penghargaan akan martabat manusia.

 

Saya menghargai budaya lain sebagai representasi atau perwakilan dari diri saya sebagai mahkluk berada (being).

 

Saya Ada karena Tujuan

Kehadiran saya di bumi ini bukan hanya sebatas keterlemparan diriku dari rahim ibundaku. Melainkan, saya ada karena ada tujuan.

Tujuan dari kehadiranku adalah ikut membangkitkan rasa memiliki sebagai sesama suku bangsa.

 

Bangsa yang besar melambangkan kerja sama antar setiap anggota. Karena ada perasaaan senasib akan tanah air tercinta. Terang Otto Bauar.

 

 

Berkaca dari pendapat tokoh nasionalis ini, saya selalu berusaha untuk mengerem ego dan superegoku.

 

Lalu, apa yang saya dapatkan? Saya merasa bangga. Saya bangga akan hubungan timbal balik bersama orang lain dalam memaknai setiap jejak langkah kakiku

 

Ke mana pun saya melangkah, saya tidak pernah takut. Karena suara hatiku sudah dilatih untuk hidup dalam etika dan moral dalam hirarki kehidupan sosial.

 

Pergumulan lintas budaya ini memberikan secuil pemahaman kepadaku untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Ada Nilai Ada Konsekuensi

Setiap nilai yang kita perjuangan tidak terlepas dari risiko di dalamnya. Akan tetapi, bagaimana pun juga kita harus berani mengambil risiko.

 

Risiko adalah sesuatu yang paling ditakutin oleh semua orang. Termasuk saya. Namun, saya tahu dan sadar bahwa selama saya masih menjalani kehidupan di tanah rantau, saya tidak akan terpisah dari masalah. Masalah ada saya akan hadapi. Bukan mengerdilkan semangatku dalam pengembaraan ini.

Perjalanan saya masih sangat panjang. Untuk itu, saya tidak akan pernah menodai relasiku dengan sesamaku (Liyan). Karena dalam kebersamaan ada cinta, kasih dan perhatian tanpa pamrih.

 

Semua Orang penting Dalam Hidupku

Setiap perjumpaan bersama orang lain, saya selalu belajar untuk memposisikan diriku sebagai seorang anak kecil.

 

Anak kecil itu memiliki sifat yang tidak tahu apa- apa. Ia begitu polos dan lugu. Metode ini saya adopsi dari filsuf Sokrates dalam mencari ilmu pengetahuan.

 

Karena setiap orang itu kaya akan ilmu pengetahuan. Tergantung cara saya untuk merangsang diriku dalam menyerap semuanya.

 

Terakhir; pengetahuan lahir dari pengalaman hidup yang saya dan Anda alami setiap hari. Hal terpenting yang kita miliki adalah mengosongkan pikiran untuk melihat kejernihan di luar diri kita.

 

Terkadang, kita hidup dalam ego dan super ego. Akibatnya, kita selalu memandang orang lain tidak tahu. Yang tahu hanyalah diri kita. Yang benar adalah diriku. Akibatnya, adanya bentrokan fisik maupun emosional di antara kita.

 

Pengalaman ini saya dapatkan selama tujuh tahun hidup bersama budaya lain di tanah rantau. Sekiranya, artikel ini bisa memberikan secuil pemahaman kepada pembaca bahwasannya hidup itu indah dan unik bila ada cinta, kasih dan perhatian dalam kehidupan bersama.

Tinggalkan Balasan