Segala sesuatu akan menjadi indah dan sempurna, ketika kita sudah berada di atas puncak kenikmatan dalam terang nilai-nilai kemanusiaan.
Menikmati pemandangan alam adalah bagian dari kegiatan membangkitkan hasrat turisme dalam diri kita.
Sejak kecil, kita sudah menerima hasrat turisme dari orangtua kita. Entah kita sadar ataupun tidak, yang pasti, kita sudah membangun sistem dalam diri kita untuk terus merasa haus dan lapar akan panorama alam semesta.
Semesta mampu mendesain dirinya sendiri tanpa bantuan dari kita. Artinya; semesta tidak pernah membutuhkan kehadiran kita. Dan kitalah yang membutuhkan semesta.
Sebagai pribadi yang butuh, tentunya kita merasa tidak pernah puas dengan apa yang tersaji di depan mata kita. Akibatnya kita terus mengeksploitasi lingkungan semesta dengan tidak bertanggung jawab.
Ketika kita berada dalam kondisi tersebut, penglihatan kita menjadi gelap. Bukan hanya itu saja, akal budi kita tidak mampu memproduksi pikiran jernih. Dan kita pun masuk dalam kekacauan berpikir (Chaos).
Pikiran kacau berpotensi pada “kematian hati nurani atau “common sense).
Sobatku, jika anda ingin melihat dan merasakan kematian hati nurani, cobalah amati lingkungan sekitar anda tempati.
Di sana kita akan menemukan kejanggalan yang terjadi dalam kehidupan bersama orang lain. Dan lebih sadis menjelang kontestasi politik.
Politik telah memainkan seni tipu muslihat. Dan gaya kepemimpian tersebut sudah ada sejak zaman filsuf Yunani yang menamakan diri mereka sebagai kaum “Sofis.
Kaum sofis adalah kelompok intelektual, sastrawan dan filsuf yang selalu berusaha untuk menentang ajaran dari Sokrates.
Kelompok Sofis merekayasa data yang ada di lapangan demi menambah pundi-pundi tabungan mereka.
Sadis! Tetapi itulah gaya hidup yang sampai kini bertumbuh dan berkembang pesat di republik tercinta ini.
Rasa Empati Tumbuh Dalam Keadaan Darurat
Saya rasa kita semua pernah masuk dalam kematian hati nurani. Ketika tetangga kita masih sehat, kita tidak pernah mengunjungi ataupun menyapanya. Karena setiap orang ingin hidup sendiri. Padahal kodrat kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa berpisah dari sesama.
Namun, rasa empati (sense of empaty) tercipta ketika tetangga kita sudah berada di ruangan ICU ataupun sudah menghembuskan nafas terakhirnya.
Dan semua yang kita lakukan itu sudah terlambat. Keadaan ini akan menjadi penyesalan tiada bertepian, jika kita kehilangan salah satu orangtua kita. Gegara kita keasyikan menikmati madu di negeri rantau. Dan melupakan wajah dan penderitaan orangtua kita di kampung halaman.
Sobatku, kita berhenti sejenak untuk merefleksikan hal apa saja yang sudah kita berikan untuk alam, orangtua dan sesama dalam kehidupan setiap hari. Apakah kehadiran kita diterima oleh orang lain? Ataukah kehadiran kita justru menjadi ajang perpecahan?
Berpikir Jernih Demi Sejarah
Pikiran adalah kekuatan super dahsyat yang kita miliki. Pikiran bisa saja mendatangkan karma baik maupun karma buruk. Semua itu tergantung pada stimulus atau rangsangan setiap orang dalam memaknai setiap peristiwa yang kita alami setiap hari.
Cara terbaik bagi kita untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan adalah membangkitkan kelima panca indera kita yakni; indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa.
Elaborasi atau komposisi dari racikan kelima panca indera kita akan menghasilkan sesuatu yang mampu menembusi batas keniscayaan.
Kita semua memiliki kharisma dalam menciptakan sejarah. Yang terpenting, kita harus menjiwai nilai-nilai kemanusiaan (human interest) dalam dunia jurnalistik.
Karena nilai-nilai persahabatan itu lebih tinggi dari kepentingan apa pun. Kita boleh berbeda pilihan dan tujuan hidup serta spiritualitas atau kepercayaan apa pun. Akan tetapi, kita berada dalam satu payung hukum yakni; Pancasila dan UUD 1945.
Sobatku, saya akhiri coretan ini dengan pesan singkat. “Setinggi apa pun status yang kita miliki, jika tidak diimbangi dengan kecintaan akan kehidupan bersama, mustahil nama kita akan diingat oleh sejarah dan dunia.
Jakarta Barat, 24 Agustus 2021
Fredy Suni