Hai sobatku, “Muda Berkelana Tua Bercerita” kembali menghadirkan destinasi perjalanan yang menguras emosional (sense of crisis), hasrat memiliki (sense of belonging), rasa kebudayaan (sense of culture), rasa humor (sense of humor), dan rasa kemanusiaan (sense of humanity).
Diskursus atau konsep dari deretan perasaan ini merupakan bagian dari perjalanan yang sudah saya rencanakan.
Merencanakan perjalanan berarti saya pun ikut terlibat dalam kampanye JPIC (Justice, Peace, Integrity of Creation). Alasan perjalanan saya tidak terlepas dari “human interest” atau nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sebagai mahkluk sosial yang memiliki akal budi, saya tidak ingin menghianati kemurnian akal budiku dengan budaya “kamuflase” atau kepura-puraan dalam kehidupan bersama.
Sobatku, seni “kamuflase” bukan hanya ada dalam dunia politik. Melainkan kita pun sering terjerumus ke dalamnya.
Lingkaran negatif ini, seyogyanya tak pantas dan etis sebagai insan yang menamakan dirinya sebagai ‘makhluk berintelek!”
Orang yang berintelek berarti orang yang pandai mengemas ego maupun superego dalam kehidupan bersama.
Sobatku, entah perjalanan kita baru berada di titik start, di tengah maupun sudah mendekati garis finis, itu tidak menjadi tolok ukur bagi kematangan psiko emosional kita dalam berkelana.
Karena dari kecil, kita sudah masuk dalam budaya “cuci otak” dengan berbagai ideologi maupun ajaran yang kita terima secara “estafet “dari orangtua kita.
Kehidupan Bukan tentang Perlombaan, Melainkan Tentang Perjalanan Kebajikan
Sadar ataupun tidak, kita kerap melihat sesama sebagai musuh. Akibatnya, “mindset” atau pola pikir kita masuk dalam ranah “kefanatikan.”
Fanatik untuk nilai-nilai kemanusiaan secara universal atau umum itu sangat manusiawi. Tapi, fanatik demi sesuatu yang “absurd” atau belum jelas adalah kebodohan “hakiki.” Dan filsuf “eksistensialisme” Albert Camus akan menamakan “orang yang fanatik” dengan nada “bunuh diri filosofikal.”
Mengapa saya beranikan katakan demikian? Sebab banyak di antara kita yang masih hidup di dalam “dunia gua.”
Orang yang sedari kecil hidupnya di dalam satu gua, pola pikirnya akan mentok di situ saja. Lalu, ia memandang kehidupan di luar dirinya tidak berarti.
Selain itu, ia “mendewakan” dirinya sebagai pusat semesta. padahal, “semesta tidak membutuhkan kita.” Kita sendiri yang “super sibuk” untuk menaklukan semesta.
Metodologi atau jalan pikiran ini secara logika saya katakan salah! Mengapa? Karena ketika kita lahir, kita tidak pernah memilih untuk menjadi orang Timor, Jawa, Sumatera, Dayak, Batak, Bali, Sulawesi, Papua maupun Baduy. Apalagi terkait dengan “kepercayaan.”
Sobatku, cobalah buka “kelima indera” kita untuk melihat orang lain setara dengan keberadaan (being) kita.
Saya Ada Karena Orang Lain
Kita semua butuh keberadaan orang lain. Sebagai kepribadian yang butuh, berarti kita dipandu oleh suara hati kita untuk menerima semua orang dalam terang “nilai-nilai kemanusiaan.”
“Human interest” atau semangat nilai kemanusiaan dalam dunia “jurnalistik” akan tetap hidup dan menyerajah dalam situasi dan kondisi (sikon) apa pun.
Ketika kita berusaha untuk mengingkari keberadaan orang lain, justru kita akan masuk dalam ranah “common sense” atau “kematian hati nurani.”
Hewan peliharaan kita seperti; kucing, anjing, ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda saja masih memiliki “insting” akan keberadaan “spesies-nya.” Apalagi kita yang lahir dengan kemampuan akal budi.
Justru kita harus merasa malu dengan hewan peliharaan kita yang tahu memperlakukan spesiesnya dengan baik, ketimbang kita yang selalu mencari-cari kelemahan budaya atau pun kepercayaan lain. Dan mengklaim kepercayaan kita lebih baik dan suci dari orang lain.
Sobatku, semua orang itu penting dalam kondisi apa pun. Tiada satu pun manusia yang sejak kecil dan belum tahu akan “kasta-kasta sosial” memilih untuk masuk dalam jurang itu. Akan tetapi, kini kita semakin tahu dan sadar akan pentingnya keberadaan sesama dalam kehidupan kita.
Untuk itu, “bangkitkanlah lensa kemanusiaanmu! Dan hindari paham atau ideologi yang mengarahkanmu menjadi manusia yang “brutal” dalam etika dan moral.
Sesama lebih penting dari kepentingan apa pun. Filsuf Aristoteles mengatakan bahwasannya “manusia itu lebih penting dari ideologi atau paham kepercayaan apa pun.”
Sobatku, “Muda Berkelana Tua Bercerita” bukan hanya berisikan rangkain perjalanan yang begitu-begitu saja. Melainkan, perjalanan kemanusiaan untuk melihat dan merangkul semua orang dalam semangat “lensa kemanusiaan.”
Jakarta, 29 Agustus 2021