Mengapa Generasi Intelektual Timor Haumeni Gengsi Berbicara Bahasa Dawan?

Humaniora, Terbaru149 Dilihat
Muda Berkelana Tua Bercerita

 

Budaya adalah jati diri kita, di mana kita lahir, tumbuh dan besar bahkan pada waktunya kita pun kembali ke pangkuan semesta dalam irama kebudayaan.

 

Bangsa yang besar tak pernah melupakan kebudayaan setempatnya. Perkembangan teknologi tak mengeleminasi kecintaan seseorang pada budayanya sendiri. Karena dari sanalah, seseorang dibentuk, dipoles dengan beragam nilai-nilai kehidupan.

 

Akan tetapi, apa yang terjadi dengan diaspora atau perantau yang sudah mulai memasuki fase krisis kebudayaan?

 

Menarik, menggelitik dan miris itulah hal yang saya rasakan sebagai diaspora dari Timur Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur.

 

Dalam konteks yang lebih kecil, saya batasi pembahasan saya terkait kebudayaan masyarakat setempatku di kampung Haumeni. Di manakah letak kampung Haumeni?

 

Haumeni adalah salah satu desa perbatasan yang terletak di kecamatan Bikomi Utara, kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

 

Bahasa Dawan Menuju Titik Kehancuran

Apa itu bahasa Dawan? Bahasa Dawan adalah bahasa keseharian masyarakat atau etnis Dawan yang mendiami pulau Timor, khususnya di Timor Barat (Kefamenanu), sebagian Atambua (Belu), Timor Tengah Selatan (Soe) hingga kota Kupang sebagai kota provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

Sebagai etnis terbesar di daratan Timor, penggunaan bahasa Dawan adalah hal biasa dalam keseharian masyarakat. Bahasa Dawan sebagai jembatan komunikasi antar sesama suku Dawan.

 

Bukan hanya itu saja, di negara tetangga, Republik Demokrasi Timor Leste pun sebagian besar yang mendiami wilayah pegunungan Oekusi hingga kota Dili sendiri mengunakan bahasa Dawan, selain bahasa Tetun dan Portugal sebagai bahasa resminya.

 

Ikatan batin antar penghuni kedua negara perbatasan ini tak akan dipisahkan oleh keadaan apa pun. Ya, meskipun dalam realitas, relasi itu dipisahkan oleh kawat berduri di setiap sudut-sudut negeri.

 

Akan tetapi, secara geografis, etnis Dawan di perbatasan memiliki curah hujan yang sama, adat-istiada, sosio-ekonomi yang  kurang lebih sama pula. Kesamaan-kesamasaan inilah yang melahirkan sikap memiliki.

 

Karena hasrat memiliki akan membangkitkan kecintaan terhadap pelestarian bahasa Dawan yang sudah mulai memasuki fase kehancuran atau kepunahan di bumi Timor, terutama di kampung Haumeni.

 

Siapa saja aktor di balik kepunahan bahasa Dawan di kampung Haumeni?

Berdasarkan pengalaman riil saya yang lahir, tumbuh dan besar di kampung Haumeni, aktor utama di balik titik kepunahan bahasa Dawan adalah mereka yang menamakan dirinya sebagai generasi intelektual.

 

Ya, dalam hal ini adalah mahasiswa yang sok-sokan melupakan atau malu untuk berbicara bahasa Dawan di tengah keramaian. Bahkan ada yang lebih sadis yakni; ketika kembali dari studi di kota metropolitan mana pun, pribadi tersebut mulai gagap untuk berbicara bahasa Dawan dengan orangtua yang ada di kampung Haumeni.

 

Padahal sampai langit terbelah menjadi dua pun, kita tidak akan pernah melupakan bahasa ibu. Karena sedari kandungan ibu kita, bahasa Dawan itu sudah ada. Kita sudah mendengar, mengamati, mencium, merasakan komunikasi orangtua kita dengan menggunakan bahasa Dawan. Dan itulah simbol kebudayaan kita sebagai pribadi yang berbudaya sekaligus berakal budi.

 

Filsuf Ernest Cassirer juga mengatakan bahwa penggunaan simbol-simbol dalam keseharian masyarakat adalah bagian dari filsafat kebudayaan. Dalam hal ini pun bahasa Dawan sebagai simbol kebudayaan yang perlu dilestarikan oleh siapa pun.

 

Sadar atau pun tidak, dalam 10-20 tahun ke depan, bahas Dawan akan menuju kepunahan dari bumi Indonesia, jika dari sekarang generasi intelektual Haumeni tidak memiliki kerelaan untuk melestarikan mutiara berharga dari kebudayaan kita yakni bahasa Dawan.

 

Faktor utama apa saja yang mempengaruhi generasi Timor untuk tidak berbicara bahasa Dawan

 

Faktor yang paling berpengaruh adalah gengsi. Mengapa generasi Timor gengsi untuk berbicara bahasa Dawan? Karena kebudayaannya lemah.

 

Pernyataan ini mengacu pada ucapan awal saya bahwasannya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri. Artinya; dalam kondisi apa pun orang yang sudah berakar kuat dalam budayanya sendiri itu tidak akan pernah malu atau minder untuk berbicara bahasa ibunya.

 

Lalu, bagaimana solusi yang tepat bagi generasi Timor yang gengsi berbahasa Dawan?

Untuk mengatasi rasa insecure atau gengsi dalam diri generasi Timor adalah belajar dari budaya lain, terutama budaya Batak.

 

Selama bertahun-tahun saya hidup berdampingan dengan orang Batak. Dan saya selalu belajar dari kebudayaan mereka dalam hal penggunaan bahasa Batak.

 

Setinggi apa pun status atau kedudukan mereka dalam bidang apa pun, itu tidak mengurangi penghargaan mereka terhadap bahasa keseharian mereka.

 

Jujur, sebagai orang Timor, saya pun malu dengan generasiku yang ketika saya ajak untuk berkomunikasi bahasa Dawan, mereka seolah-olah tidak suka. Karena gengsi.

 

Sobatku, tentunya kita selalu mengutamakan bahasa Indonesia dalam komunikasi keseharian. Tapi, kita juga harus melestarikan bahasa Dawan, di samping menguasai bahasa asing.

Jakarta, 29/9/2021

 

Tinggalkan Balasan