Tragedi Kanjuruhan Tidak Perlu Takut Sanksi FIFA

Olahraga49 Dilihat

Tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan tewasnya para suporter Aremania sebanyak 125 orang menjadi peristiwa menyedihkan bagi dunia sepak bola Indonesia. 

Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan yang melibatkan bentrokan aparat keamanan dengan para suporter klub Arema akibat kekecewaan karena tim kesayangan mereka kalah 2-3 dari Persebaya.

Mereka bentrok menghadapi aparat Kepolisian yang bertugas mengamanan laga tersebut dan mencegah suporter masuk lapangan.

Aparat terus berupaya menghalau para suporter dengan gas air mata. Namun upaya ini justru membuat para suporter panik bahkan ada yang pingsan karena sesak nafas sehingga banyak korban berjatuhan.

Menurut regulasi yang berlaku, FIFA tidak mengizinkan penggunaan gas air mata dalam pengamanan satu pertandingan sepak bola.

Oleh karena itu sangat wajar jika saat ini ada ketakutan sepak bola Indonesia bisa terkena sanksi FIFA. Kemudian hal tersebut bisa juga berpengaruh pada posisi sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.

Apalagi tragedi Kanjuruhan ini yang membuat korban jiwa 125 orang, terbanyak kedua dalam tragedi kerusuhan sepak bola di Dunia.

Tragedi kerusuhan sebelumnya yang paling memilukan terjadi pada 24 Mei 1964, di Estadio Nacional, Lima, Peru.

Korban kematian berjulah 328 orang yang tewas adalah korban tewas terbesar dalam kerusuhan sepakbola di Dunia.

Namun berkaca dari insiden-insiden sebelumnya, rasanya sepak bola Indonesia memiliki peluang tidak terkena sanksi dari FIFA.

Mari kita lihat beberapa kerusuhan sebelum tragedi Kanjuruhan ini terjadi dan sanski apa saja yang mereka terima dari FIFA.

  1. Tragedi Port Said Stadium 

Insiden serupa yang terjadi sebelumnya tidak selalu berbuntut sanksi FIFA. Sebagai contoh peristiwa terdekat yang terjadi pada tahun 2012 di Mesir.

Saat itu ada tragedi sepak bola yang mengakitbakan tewasnya 74 orang suporter. Dalam laga kompetisi Liga Premier Mesir antara tuan rumah Al Masry dan tamu mereka Al Ahly di Port Said Stadium.

Pertandingan berkesudahan 3-1 untuk kemenangan tuan rumah, Al Masry. Namun begitu wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir, terjadilah kerusuhan berdarah.

Seusai laga itu, seluruh pendukung al-Masry memburu para suporter al-Ahly. Bersenjatakan pisau mereka menyerang secara membabi-buta sehingga menewaskan 74 orang korban.

Tragedi berdarah tersebut justru tidak menyebabkan hukuman dari FIFA. Padahal kerusuhan tersebut akibat bentrokan antar suporter kedua klub.

2. Tragedi Heysel dan Hillsborough 

Pada tahun 1985 tragedi di Stadion Heysel, Brussels Belgia saat final Liga Champions antara Liverpool dan Juventus, terjadi kerusuhan yang juga memakan 39 orang korban jiwa.

Atas kejadian tersebut, Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) menjatuhkan hukuman larangan bermain bagi seluruh klub Inggris di ajang kompetisi Eropa.

Keputusan EUFA ini kemudian diperkuat oleh FIFA dengan keputusan larangan klub-klub Inggris berlaga di kancah International selama 5 tahun.

Tragedi yang mirip terjadi kerusuhan suporter dalam semi final Piala FA yang mempertemukan Liverpool dan Nottingham Forest.

Tragedi Hillsborough adalah peristiwa kerusuhan fans di stadion yang melibatkan suporter Liverpool setelah kerusuhan dalam tragedi Heysel pada tahun 1985.

Peristiwa tersebut mengakibatkan 96 orang meninggal dunia yang semuanya adalah pendukung Liverpool. Jumlah korban meninggal tersebut tercatat sebagai jumlah tertinggi dalam sejarah sepakbola Britania Raya.

Setelah menunggu puluhan tahun, titik terang tragedi itu terjawab. Berdasarkan hasil penyelidikan dinyatakan bahwa kelalaian ada di pihak kepolisian.

3. Tragedi Kanjuruhan 

Saat ini pemerintah tengah melakukan investigasi atas kejadian ini untuk menentukan siapa pihak yang perlu bertanggung jawab.

Pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD.

Dalam tim tersebut terdapat mantan pengurus PSSI Nugroho Setiawan dan legenda Timnas Indonesia, Kurniawan Dwi Yulianto sebagai anggota.

Tentu saja Tim Investigasi Pencari Fakta ini sudah mulai bekerja dengan berpedoman pada waktu yang sudah ditargetkan agar hasilnya sudah bisa memberikan titik terang.

Sambil menunggu tim tersebut bekerja, PSSI masih tetap secara intens berhubungan dengan oihak AFC dan FIFA.

Berkaca pada kejadian-kejadian seperti uraian di atas, dari tiga tragedi tersebut hanya tragedi di Stadion Heysel yang berujung pada hukumnan UEFA dan FIFA terhadap klub-klub Ingris.

Pertanyaannya apakah kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan akan berujung juga dengan hukuman AFC dan FIFA?

Apalagi kejadian  tersebut memperlihatkan adanya pelanggaran regulasi FIFA dengan penggunaan gas air mata dalam mengamankan kerumuanan suporter.

Presiden FIFA sendiri sudah menegaskan bahwa regulasi yang berlaku adalah melarang penggunaan gas air mata dalam mengamankan pertandingan.

Saat ini akhirnya kita hanya bsa menunggu apa yang akan menjadi keputusan AFC dan FIFA menyikapi kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Bravo Merah Putih.

Salam bola @hensa.

Keterangan Foto : Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan (Foto Antara/Vicki Febrianto). 

 

Tinggalkan Balasan