Jadi Guru, Pengabdian yang Berawal dari Cita-Cita Masa Kecil.

Humaniora69 Dilihat

Sebuah OST film Laskar Pelangi membuatku melihat kembali tulisanku di Majalah yang dipublikasikan saat masih berjuang meraih S-1 dulu. Saat itu, kutinggalkan putri semata wayangku ke sebuah desa yang jauh dari pusat keramaian. Kampung yang sedikit tertinggal dan akses menuju ke kampung itu hanya dengan ojeg yang mahal. Di tempatku ongkos naik ojeg hanya Rp.3.000,- tapi di kampung Cilameta, Cianjur Selatan, untuk sampai ke SMP/MTs tempatku mengawas Ujian Nasional itu mencapai Rp.40.000,- pulang pergi. Ya, tempatnya sangat jauh.

S-1 yang kutempuh saat itu memang sangat terlambat. Aku masuk perkuliahan S-1 di tahun 2008 diusiaku 29 tahun. Tapi aku sudah menjadi penyiar, Guru RA/TK. Lebih tepatnya Guru Honorer di sebuah Yayasan. Jadi dengan jabatan itu aku ditunjuk mewakili dosen di kampus STAI Al Azhary Cianjur untuk mengawas UN. Sejujurnya dari situ aku merasa lebih beruntung dari yang lain. Dari Guru-guru di tempatku mengawas. Dulu aku juga sempat kuliah jurusan manajemen perkantoran, magang dan bekerja di Pemerintah Kota Bandung.  

 

Menjadi guru 

Menjadi Guru lebih tepatnya guru RA/TK dikukuhkan di Cirebon. Saat pelantikan Guru Bersertifikasi, aku masih menempuh pendidikan pasca sarjana di Universitas Islam Nusantara ( UNINUS ) Bandung. Aku merasa menjadi guru TK awalnya sebuah batu loncatan karena saat itu melanjutkan kuliah di PUSPIKOMM Manajemen Perkantoran, sempat bekerja di BII dan AIG Lippo Bandung. Menulis sudah kulakukan sejak tahun 2004. Semakin samar sebetulnya ingin menjadi apa aku ini selain menjadi ibu dari seorang putri bernama Nadhiva Adrikny Siraj. Nama yang aku abadikan untuk blog personalku www.nadzifcweety.wordpress.com

Menjadi Guru Agama, itulah cita-citaku sejak kecil, saat berumur 8 tahun. Ketika ayahku yang juga seorang ustadz meninggal dunia, saat pemakaman, ada seorang guru agama di SD bernama Bapak Wawan Gunawan, beliau memberi kata-kata hypnoteaching dengan penegasan, jadilah Guru Agama seperti Ajengan H. Bandanniji Assaeroji, beliau menyebut nama ayahku. Kini baru aku sadari, dimanapun aku mengajar, PKL di SMA Negeri 2 Cianjur, penelitian Tesis di MTs Tanwiriyyah, menjadi asisten dosen di STAI Al Azhary, menjadi Dosen di STIE Suluh Bangsa cabang Cianjur, tetap aku merasa berkah berada di RA Tanwiriyyah kesayanganku. Sebuah yayasan yang sudah 75 tahun berdiri kokoh, sebuah pondok pesantren yang membuat para gurunya merasa harus bersikap lebih baik dari siswa-siswanya, santri-santrinya dari mulai unit terkecil RA, MI, MTs, MA, Pontren, Majlis Ta’lim, tetap namanya guru Agama. Di bawah naungan Kementrian Agama Cianjur. Hingga saat aku menuliskan kisahku ini, aku bangga dan bersyukur serta berdoa, semoga batu loncatanku membawa keberkahan dunia akhirat. Aamiin

Berteman dengan Komunitas Sejuta Guru Ngeblog ( KSGN )

Menjadi penulis bukanlah hal mudah, seperti juga seorang Guru, tidak bisa menuturkan apapun dengan seenak hati. Harus memuat banyak ilmu dan informasi yang bermanfaat. Pada pelatihan Belajar Menulis bersama Omjay aku merasa beruntung dibekali ilmu yang harus masih kupelajari agar tulisanku dilirik pembaca, karena aku bukan orang terkenal. Aku bisa bernafas lega akhirnya aku bisa sampai di titik ini. Kebahagiaan itu memang harus diciptakan. Terimakasih keluargaku, teman-temanku, terutama guru-guruku yang mengajariku banyak hal. Guru di sekolah, di kampus, di komunitas, di pesantren. Teruntuk Ibundaku akan kupersembahkan tulisanku, buku pertamaku, bahwa aku bisa menjadi guru Agama yang memiliki rasa syukur dan mengajarkan kebaikan.***

Tinggalkan Balasan

1 komentar