Meniti Derita Meraih Bahagia

Fiksiana, Novel84 Dilihat

 

Foto Oleh Joko D
Sebuah jalan di Malang (oleh Joko Dwi)

 

Sejak membuka mata tidak ada manusia luput dari penderitaan. Darah yang mengalir dari rahim ibu, akan selalu menempel dalam setiap tubuh manusia. Dan darah itu akan terus memberikan tanda bahwa, tidak ada manusia melalui perjalanan kehidupan tanpa penderitaan.

Setiap orang mempunyai jalan berliku meskipun kekayaan dan segala kemewahan dalam hidup, sejak menjejak bumi. Bimo merasakan sejak ia bisa mengingat lintasan pengalaman masa lalu, bahagia itu selalu beriringan dengan penderitaan. Banyak yang terjebak dalam rasa sedih karena terlalu larut dalam perasaan. Yang muncul dalam pikiran karena ada yang tidak adil yang ia rasakan dan itu ia lihat ketika melihat ada. Adiknya diberi perhatian lebih sedangkan ia dianggap lalu.

Adiknya mendapat susu terbaik dan perhatian penuh dari orang-orang sekitar. Bimo tidak sadar bahwa sebelum ia bisa mengingat semua perhatian tertuju padanya, semua berbahagia melihat tingkah polahnya saat bayi dan saat tumbuh kembang.

Bimo terbawa pesan karena perhatian sudah terbagi pada adiknya, dan diam-diam sebenarnya ia protes, tetapi tidak digubris.

“Ayah, tidak adil, mengapa adik diberi susu aku tidak?”

“Adikmu sedang butuh perhatian nak, jadi tidak usah iri, nanti kamu akan tahu sendiri, ya.”

“Aku jatuh, dibiarkan tapi adik jatuh  langsung semua menolong saat itu juga.”

“Kamu khan sudah bisa bangkit sendiri nak!?”

Begitulah sejak bisa mengingat, Bimo mulai merasakan derita. Ia mulai dengan perasaannya, ia mengamati cara orang tua membagi perhatian.

Manusia itu pengamat jeli, berbeda dengan hewan yang hanya menjalankan kehidupan berdasarkan hukum alam. Hewan bertarung untuk bertahan hidup, manusia selain bertahan hidup, adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir, menciptakan ilmu, memiliki kemampuan lebih terutama akal dan budinya yang digunakan untuk membangun semesta yang sesuai dengan imaji dan khayalannya.

Bimo berkhayal apakah semua manusia perlu menghindari penderitaan untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Tetapi semakin panjang usianya manusia harus melewati banyak tantangan, banyak pengalaman yang membuat manusia semakin menghindari masalah semakin mendapat masalah baru.

Bimo merenung, apa sih sebenarnya bahagia itu. Bisa melancong dengan bebas, bisa makan sepuasnya, bisa meraih semua impian, bisa mewujudkan setiap khayalannnya. Bisa menulis bebas, bisa meraup semua mimpi hingga menjadi kenyataan.

Apakah bahagia hanya diperoleh saat berkhayal. Saat mendapat perhatian penuh dari orang tua, saat segala keinginan mendapat tanggapan.

Lebih nyaman menapaki kebahagiaan setelah menyusuri penderitaan sebagai buah kedewasaan manusia. Mengapa harus merasakan penderitaan? Sebab manusia harus siap menerima segala resiko atas pengalaman hidup yang penuh misteri.

Saat membayangkan rasanya bahagia atas pencapaian usaha dan terbayang kenikmatan dan kesenangan, sebuah peristiwa tiba-tiba muncul, membuyarkan khayalan dan impian yang terbangun begitu lama.

Manusia kembali hanya sebagai remah, debu yang tidak berdaya menghadapi kekuasaan kehidupan yang penuh misteri.

Apalagi saat merasakan bagaimana pahit manisnya manusia memaknai cinta. Bahagia saat memadu kasih. Seperti meminum madu yang terasa manis… namun sebenarnya lidah merasakan pahit setelahnya. Berbeda saat merasakan pahitnya brotowali, yang akhirnya pelan-pelan terasa manis karena tubuh menyerap manfaat dari pahitnya daun tersebut.

Kalian bisa merasakan kebahagiaan saat melakukan perjalanan jauh. Begitu awal berjalan serasa kaki ringan melangkah, namun hati serasa penuh beban karena belum tahu kapan perjalanan sampai ke titik yang dituju. Terseok melangkah ketika puncak penderitaan mendera merasakan, peluh membanjir, tapak kaki mulai melepuh, dan berat menahan beban tubuh yang tidak lagi mau bergerak. Masih beruntung karena kekuatan hati, kekuatan jiwa lebih kuat hingga bisa menopang semangat yang mulai mengendur.

Puncak bahagia ketika sudah melewati berbagai rintangan dan akhirnya sampai pada titik akhir perjalanan yang dituju. Segala beban hilang, yang ada kebahagiaan yang menyelimuti jiwa. Meskipun sebenarnya tubuh sangat lelah tapi hati terselimuti suka cita tiada tara.

Begitulah.Tapi Bimo yang demen bermimpi dan berkhayal semakin merasakan tekanan, maka ia memilih diam dan menyendiri. Membiarkan diri larut dalam segala rupa khayalan. Juga kepada cinta yang mulai menyapa dirinya, siapa lagi kalau bukan sosok Arimbi yang membuatnya benci sekaligus berharap ada cinta yang tumbuh.

“Sayangnya kamu itu tumbuh dan berkembang dari dunia yang berbeda Arimbi. Kau dari dunia raksasa. Menakutkan bagi kami manusia, namun aku melihat kecantikan alami yang terpancar alami di balik perawakanmu yang tidak tergambarkan dalam benak laki-laki normal.”

Jpeg

Bimo, duduk di tepian sungai, menerawang hutan di seberang sungai, suara gemuruh para raksasa, yang tengah main perang-perangan, sedang bersiap untuk melakukan perkelahian massal yang akan begitu banyak meruntuhnya nyawa-nyawa tidak berdosa.

“Berhitung pada siapa saja yang menderita di atas kebahagiaan orang tertentu. Dan apakah sebenarnya mereka para teroris dan para manusia egois itu hanya memperhitungkan kebahagiaan semu dari perampasan kebahagiaan yang seharusnya diterimanya sejak semula.”

“Itulah misterinya kehidupan Bimo, Menghindari masalah hanya melahirkan masalah, menghindari penderitaan hanya menghasilkan penderitaan lebih berat. Semua harus dihadapi, semakin dihindari hanya akan semakin menumpuk penderitaan.”

“Tetapi hanya aku yang harus menderita, hanya aku yang tidak mendapat perlakukan tidak adil.”

“Itu hanya pernyataan sepihak. Tidak semua orang mendapat kebahagiaan sama, sudah ada porsinya, sudah ada batas beban yang ditanggung.”

“Kalau begitu apakah manusia hanya sebagai obyek penderitaan?”

“Justru dengan merasakan penderitaan sejak awal manusia akan merasakan kebahagiaan pada akhirnya, sebaliknya jika terbiasa merasakan kebahagiaan dan kesenangan ia akan kaget setelah tiba-tiba merasakan penderitaan mencekam kehidupannya.”

“Aku tidak mengerti yang kau katakan, Eyang yang membisiki jawaban dari dari suara nuraniku. Atau bisikan iblis yang menggoda, membanding-bandingkan kebahagiaan yang berbeda bumi langit antara aku dan adikku.”

Semilir angin menerpa dan Bimo tertidur pulas, rebahan dibawah rebahan pohon beringin tua, Dalam mimpinya ia tengah berbagi bahagia, merasa bercumbu dalam bara asmara membara dengan Arimbi yang selalu ada dalam mimpi-mimpinya.

“Adakah cinta yang lebih besar dari cintamu yang benar-benar tercipta dari kejujuranmu Bimo, Aku merasakan aliran hangat mengalir dalam darahku saat kau sentuh jari jemarimu.”

“Aku hanya pucuk-pucuk bahagia itu muncul dari teduhnya tatapan matamu, Bimo.”

Sentuhan itu sebetulnya hanyalah gelora resah yang terlampiaskan dari ketidaksukaanku melihat adikku yang begitu mendapat perhatian dari semua orang. Aku butuh perhatian maka kaulah yang akhirnya menjadi obyek dari segala gejolak derita yang tersembunyi di hati ini.

“Jangan cintamu itu hanya sebagai pelarian Bimo, itu hanya menjadi awal dari penderitaanmu selanjutnya.”

 

Bersambung.

Tinggalkan Balasan