Di zaman media sosial ini setiap kata-kata terasa sangat tajam mengiris. Apalagi menyangkut, suku, agama, dan ideologi. Banyak perang kata dan perang klaim kebenaran.
Ini semua adalah hasil kemerdekaan. Jarang muncul pembungkaman dan jarang terjadi saat ini pemberangusan kata-kata kecuali jika sudah menyangkut nama baik politisi, pejabat, dan orang-orang terpandang.
Merdeka dan Makna Kemerdekaan yang Kebablasan
Media sosial telah menumbuhkan kemerdekaan berkata-kata, saking merdekanya malah banyak etika dan sopan santun terabaikan. Debat-debat yang mengarah kepada perbedaan keyakinan, ideologi, dan politik telah membuat manusia Indonesia lupa bahwa Indonesia dulu dihargai karena budaya ketimurannya yang penuh tata krama dan terkenal ramah dan sopan.
Kini kata-kata di media sosial lebih sebagai representasi umpatan dan makian. Bahkan orang-orang yang katanya berintelektual, berpendidikan tinggi, dan menguasai pengetahuan tentang agama kelakuannya sama saja. Media sosial hanya sebagai tempat menumpahkan makian dan pemaksaan kehendak.
Mereka tidak merasa merdeka, dan malah merasa ditekan penguasa sementara banyak pengguna media sosial dengan bebasnya memaki dan memaki, bebas mengakses ilmu pengetahuan dan bebas melakukan perundungan. Mungkin saya salah satunya.
Sudah hampir sebulan lebih saya tidak bicara dan membahas dunia politik, juga dengan agama yang kadang bukan membuat hati damai tetapi merasa meningkat kebenciannya, meningkat rasa sirik menyaksikan keadilan berkeyakinan sendiri telah dilanggar para penganutnya sendiri.
Ada kesombongan para penganut agama (termasuk saya), merasa paling benar, merasa paling suci dengan menunjukkan bagaimana ia (saya, mereka) sudah memakai asesoris agamis hingga terkesan suci, padahal yang disebut orang suci itu (sebenarnya) tidak pernah menunjukkan diri, bila menolong dan membantu orang-orang suci membiarkan dirinya tidak dilihat jejaknya.
Ia menolong dalam diam tanpa koar-koar dan show off. Parahnya di media sosial banyak orang ingin menunjukkan bahwa ia suci karena selalu berdoa dengan ditampilkannya di status media sosialnya. Ia lalu menunjuk orang lain berdosa karena tidak pernah menunjukkan bahwa ia dekat dengan Tuhan.
Di era kini media sosial seakan-akan berperan sebagai jati diri padahal sesungguhnya media sosial kadang hanya menjadi medium untuk menumpahkan kegelisahannya, menumpahkan kekesalannya.
Banyak manusia memaksa diri agar ia menjadi terkenal dengan cara instan, di media sosial ingin dikenal dengan cara konyol untuk menaikkan brandingnya di media sosial dengan cara pansos (panjat sosial). Bahkan kadang harus membuat jantung berdebar, membahayakan keselamatan orang lain.
Mentang-mentang merdeka berkarya lantas melupakan bahwa dengan melakukan kekonyolan yang membahayakan keselamatan orang lain dan umum ia tidak peduli terhadap apapun etika dan unggah ungguh.
Banyak hal disayangkan dengan fenomena media sosial saat ini, namun perubahan budaya ke era digital saat ini tidak bisa dihindari.
Bahkan menjadi pejabat, menjadi penguasa pun di era saat ini tidaklah gampang. Media sosial seakan-akan menjadi jaksa dan hakim atas tingkah laku pejabat dan politisi. Yang baik bisa menjadi jahat di mata orang yang sudah telanjur tidak suka, yang jahat malah kadang-kadang menjadi pahlawan.
Era Post Truth ini telah menjungkirbalikkan kenyataan. Jadi jika ingin berbuat baik tidak mudah meyakinkan kepada khalayak bahwa kebaikan tidak berbuntut atau ada udang dibalik batu yang melandasi kebaikan itu.
Manusia-manusia di zaman digital saat ini lebih dikendalikan oleh gawai, lebih dikendalikan dengan internet. Semuanya menggantungkan diri pada kecanggihan benda yang bisa disebut smartphone.
Penulis sendiri mengakui di era ini ketergantungan pada HP tidak bisa dielakkan. Kadang dengan HP ketenangan, ketenteraman, penyerahan diri secara total terhadap kebajikan alam dan kekuatan kuasa Tuhan lebih terkalahkan dengan benda kecil itu.
Apakah Cacian, Cemoohan adalah Representasi Kemerdekaan?
Doa, cacian, cemoohan, perang, pamer diri menjadi budaya baru. Silaturahmi, diskusi, pertemuan saat ini tidak perlu berdekatan. Kendali benda digital telah membuat manusia hidup dan nyaman di dunia maya. Tanpa sentuhan dan tanpa interaksi langsung manusia bisa bertahan.
Pesan makanan, belanja apapun dan transaksi keuangan dapat dilakukan di mana saja dengan catatan cukup kuota internet dan uang yang tersimpan di bank maya.
Kadang manusia yang merdeka bahwa mereka telah kebablasan dalam memaknai kemerdekaannya. Kemerdekaan kadang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, sementara kemerdekaan sesungguhnya tetap harus dalam koridor norma-norma sopan santun dan etika.
Sekarang banyak manusia lebih dikendalikan oleh hasrat ingin menguasai dan menjangkau ketenaran dan kekayaan dengan cara ekstrem. Kadang melewati batas logika.
Itulah yang menjadi bahasan saya setelah lama tidak menulis di Kompasiana. Dalam sebulan ini saya asyik menulis novel sehingga harus absen mengisi ceruk kerinduan untuk menanggapi masalah-masalah yang ada di sekitar, semoga saja kembali konsisten dan ikut nimbrung memikirkan permasalahan negeri ini, namun dengan cara penulis sendiri berkontribusi memberi keseimbangan lewat tulisan.
Semoga setiap kompasianer maupun para penulis lainnya yang aktif dalam dunia literasi tidak lelah untuk mengingatkan diri sendiri dan orang lain untuk tetap merdeka berkarya namun bukan berarti kemerdekaan itu melebihi batas.
Tetap ada aturan, tetap ada norma sehingga pendapat dan opininya di blog, media sosial dan media massa menjadi cermin bahwa hasil tulisan para netizen sudah melalui saringan, melalui norma dan keadaban sehingga tidak membuat orang lain merasa terusik dan tersakiti dengan tulisan yang dihasilkan para penulis. (Headline Kompasiana, 26 Juli 2020 )