Sambatan: Budaya Gotong Royong ala Gunungkidul

   

Sumber: kompas.com

 

Kodrat manusia adalah sebagai makhluk sosial. Senantiasa merindukan  hidup berdampingan dengan orang lain. Bahkan dengan lingkungannya.

Kemajuan jaman. Pelan-pelan mengikis naluriah dasar manusia tersebut. Mengasingkan dari kelompok sosial. Hidup individualis.

Gerakan menghidupkan kembali gotong royong sebagai pengejawantahan kebersamaan dalam hidup merupakan suatu gagasan yang tidak saja brilian. Ini juga sebagai sebuah keharusan.

Bagaimanapun sebagai fitrahnya, manusia akan hidup lebih bahagia jika saling membaur dengan sanak kadang. Hidup menyendiri hanya akan menimbulkan perih batin.

 

Budaya Sambatan

Gotong royong termanifestasikan dalam berbagai bentuk dan sebutan. Mengutip dari laman kompas.com. istilah lain yang searti dengan gotong royong misalnya mapalus (Minahasa), marsiadapari (Batak), ngayah (Bali), song osong lombhung (Madura), sabilulungan (Jawa Barat) dan sambatan (Gunungkidul, Yogyakarta).

Maknanya sama. Mengerjakan sesuatu secara bersama-sama untuk tujuan sosial. Memperbaiki jalan kampung, menggarap sawah, membangun pos ronda atau mendirikan, bahkan memindahkan rumah.

Penulis jadi teringat ketika masih tinggal di kampung. Setiap musim tanam tiba, sambatan mluku (membajak sawah)  dilakukan oleh warga secara berganti-gantian.

Pagi-pagi anak-anak kecil memberi makan sapi. Setelah kenyang menyantap pakannya, sapi digiring ke tegalan (baca: sawah tadah hujan).

Setelah orang tua menyusul. Kemudian membajak sawah. Anak-anak pulang ke rumah orang yang sawahnya digarap. Mereka disuguhi makan dan minum seadanya.

Siangnya ketika orang tua selesai membajak sawah, anak-anak menggiring sapi ke kali (sungai). Ngguyang (membersihkan lumpur) dan ngangon sapi.

Pada musim kemarau. Acapkali melakukan sambatan mendirikan atau memindahkan rumah. Ya, memindahkan rumah. Budaya ini bukan hanya ada di Gunungkidul. Akan tetapi dapat juga kita temui di Sulawesi Selatan (mappalete bola) dan gemohing di NTT.

Jaman dahulu membangun rumah seluruh bahan bangunannya memanfaatkan sumber daya alam setempat: kayu, bambu, dan genteng dari tanah liat.

Jadi jika diperlukan (misalnya anak laki-lakinya sudah menikah) rumah bisa dipindahkan ke tempat yang baru. Caranya bisa dibongkar pasang. Tapi ada yang unik dengan cara digotong secara ramai-ramai oleh warga.

Apabila terjadi sambatan nggotong omah, hampir semua penduduk, terutama yang laki-laki, terlibat. Sementara kaum ibu menyediakan suguhan seadanya: wedang teh dan pacitan.

Pada saat menggotong rumah, untuk mengurangi rasa lelah, mereka akan menyanyikan lagu “holopis kuntul baris, holopis kuntul baris …”

Sebuah pemandangan yang menyejukkan batin. Di rimbunnya pepohonan dan segarnya hijau dedaunan serta sejuknya sepoi angin perbukitan Gunungkidul.

Sudah saatnya menghadirkan kembali semangat sambatan. Gotong royong dalam kehidupan masyarakat sekarang. Bukan sekedar mengenang dalam ingatan.

Semoga!

Samsudi untuk Inspirasiana, Jkt, 090921

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

2 komentar