Cerpen 6 Bagian 2

Terbaru19 Dilihat

Menulis PGRI

 

February 13, 2021

 

Menunggumu Bersama Burung Bangau 

(Bagian 2)

Oleh: Lili Suriade, S.Pd

Tapi betapa kagetnya aku, ketika seorang perempuan cantik tiba-tiba duduk manis di kursi sebelahku, diikuti oleh pak Tardi dan anaknya. Astaga..aku yakin bukan hanya aku, bahkan seluruh teman pasti kaget melihat kehadiran pak tardi yang membawa keluarganya.

“Eh ibu Rinza..ikut juga bu..?” Tanyaku berbasa-basi sama ketua DW ku itu.

“Iya bu Islah, ini si Sajad tidak mau ditinggal ayahnya. Akhirnya terpaksa saya ikut bu.” Ucap istri pak Tardi dengan ramah.

Di dalam hatiku begitu kecewa. Namun aku mencoba merawat hatiku sendiri, aku mencoba menetralisir keadaaan. Akhirnya aku pun terpaksa pindah duduk ke kursi paling belakang. Beberapa kali aku melihat kemesraan pak Tardi dan bu Rinza, aku merasakan hatiku panas dan terluka.

“Ya Allah..kenapa aku seperti ini? Kenapa aku malah mengagumi suami orang?” Bathinku terus bertanya.

Sesampainya di pulau Mande aku kembali satu boat dengan pak Tardi dan istrinya. Padahal dari tadi aku sudah berusaha untuk pisah boat, tapi bathinku terus saja memaksa agar aku menaiki boat ini.

Tiba-tiba boat yang kami naiki oleng, gelombang besar menghadang ketika kami hendak menuju pulau Kapo-kapo. Aku berteriak ketakutan. Dengan spontan pak Tardi berlari ke arahku. Ia pindah duduk di sebelahku. Ia terlihat seperti orang yang penuh tanggung jawab menenangkanku.

“Sabar bu..tenanglah, Insya Allah kita aman.” Ucapnya sambil memegang tanganku. Aku pun demikian, memejamkan mata sekuat-kuatnya, sambil memegang erat tangan pak tardi.

Aku memang trauma dengan air laut. Beberapa tahun yang lalu, ketika pergi rekreasi bersama keluarga aku kehilangan tanteku yang tenggelam di tengah laut, saat kami dalam perjalanan pulang. Aku melihat sendiri bagaimana Tante Difra berteriak minta tolong, sementara orang lain tak sanggup menolongnya. Dalam besarnya gelombang akhirnya Tante Difra terapung begitu saja, setelah ia kehabisan nafas. Aku sendiri, nyaris kehilangan nyawa juga. Untungnya aku bisa berpegangan pada sebuah kayu yang dilemparkan Randy ponakanku waktu itu. Mengingat semua itu, aku semakin ketakutan mendekati laut. Makanya kalau bukan karena diwajibkan oleh pimpinan, aku gak akan berangkat hari ini.

Sampai di pulau Kapo-kapo, semua orang pun turun. Aku merasa sedikit lega ketika Boat akhirnya bisa mendarat. Perlahan-lahan aku pun melangkahkan kaki keluar dari boat. Kami makan bersama di Pulau kapo-kapo. Aku melihat jelas ketika bu Rinza dengan sangat bahagia makan di sebuah pondok dengan pak Tardi dan anak mereka Sajad. Sementara kami para guru dan pegawai makan di atas tikar yang disewa di tepi pantai Pulau Kapo-kapo.

Selera makanku tiba-tiba raib, ketika nasi dengan ayam goreng ku santap, aku merasa mual. Aku pun berlari menuju pantai. Akhirnya aku muntah-muntah di sana.

“Kanapa Bu?” Sebuah suara bertanya. Ketika aku menoleh, aku melihat pak Tardi dengan wajah panic sudah berdiri di sampingku.

“Gak tahu pak..mungkin aku masuk angin.”

“Apa ibu dari tadi malam sudah makan nasi?”
“Belum pak. Gak sempat.”

“Apa ibu punya riwayat sakit maagh?” Tanya pak Tardi lagi.

“Iya pak..bisa jadi maagh saya kambuh.”

Pak Tardi berlari menuju pondok tempat dia makan, tak lama kemudian dia kembali sudah berada di hadapanku.

“Ibu minum dulu obat ini, setelah itu silahkan istirahat, mungkin ibu juga kelelahan.” Pak Tardi menyodorkan 3 jenis tablet yang sudah dibukanya.

“Ini minumannya.” Dia kembali memberikan sebuah aqua gelas kepadaku. Aku menerima semua itu dengan perasaan tak menentu.

“terima kasih pak..!” Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

Beberapa teman yang sudah selesai makan mulai menghampiriku. Mereka sepertinya juga ikut berempati kepadaku.

Langit sudah semakin terang, cuaca siang itu sangat cerah bersahabat. Aku memandang langit cerah itu sambil berbaring di atas ayunan rajut di tepi pantai Kapo-kapo. Dari kejauhan aku melihat seekor burung bangau yang berdiri tegar di tengah lautan, bersabar menanti ikan yang akan datang untuk dimangsanya.

“Bangau..akankah kita bernasib sama? Haruskah aku selalu bersabar menanti pak Tardi sampai dia dipisahkan oleh maut dengan istrinya?” Ucapku lirih sambil menguatkan hati siang itu.

 

SELESAI

 

Comments

 

 Powered by Blogger

Theme images by Michael Elkan

LILI SURIADE LOMBA PGRIVISIT PROFILE

Archive

Report Abuse

Tinggalkan Balasan