Dari Literasi Tutur ke Literasi Tulis (Waspada: Jangan Mau Ditikuskan)

BARU-baru ini saya mendapat kiriman video dari seorang teman. Viedeo dishare di WA Grup Keluarga Kito Silaturrahmi. Tersindir juga rasanya oleh isi video singkat berdurasi 3’.33’’ itu sebagaimana tuturan penutur di videonya. Sepertinya video ini masih baru. Saya simpulkan dibuat bersempena HUT RI ke-76 tahun 2021 ini. Alasannya karena tuturan di videonya mengingatkan juga begitu pentingnya jasa para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan. Pesannya, jangan sampai terlupakan para pahlawan itu.

Tertulis di situ nama Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, MA yang bisa disimpulkan itu adalah pembuatnya. Artinya video itu adalah karyanya. Tertulis juga judulnya ‘Jangan Mau Ditikuskan Orang- Hikmah di Balik Kisah’. Geli-geli seram juga membaca judulnya dan mendengar tutur videonya. Tapi menurut saya ini bagus dan perlu disimak. Karena itu pula video yang pesannya disampaikan dengan tuturan saya alihkan menjadi tulisan ini. Jadilah literasi tutur ke literasi tulis.

Saya ulas di sini dalam bentuk tulisan saja agar dengan membacanya dapat juga tersampaikan pesannya. Jika Anda sudah menyimak langsung video itu dan merasakan ada yang kurang atau berlebih di sini, maksud saya bukan untuk membuatnya berlebih dan atau berkurang. Inti pesannya saya maksudkan sama saja.

Diawali dengan sebuah dialog antara seorang yang membawa karung (goni) dengan seorang lainnya. Begini –kurang lebih– inti dialognya:

“Apa itu?” Seseorang bertanya kepada seorang petani yang membawa goni.

“Tikus,” jawab Pak Tua yang membawa goni itu.

“Berapa?” Maksudnya ada berapa banyak tikus di dalam karung itu.

“Banyak.”

“Untuk apa?”

“Ada yang memesan untuk bahan penelitian di laboratorium.”

“Mengapa Anda terus menerus menendang-nendang dan menggoyang-goyang goni itu?”

“Agar tikusnya berbenturan dan berantuk. Biar mereka berkelahi.”

“Maksudnya?”

“Tikus-tikus ini sehat. Giginya juga kuat. Agar kemampuannya itu tidak dipakainya untuk menggigit karung dan melepaskan diri dari karung maka dia harus berbenturan sesama dia. Buat dia sibuk. Dibuat mereka berkelahi sesama mereka. Dibuat mereka tidak sadar kalau mereka berada dalam karung. Dibuat mereka lupa dengan potensi yang mereka miliki sampai nanti mereka diserahkan kepada pemesannya.” Masih ada kelanjutan dialog i

Dialog itu juga diteruskan dengan narasi yang menceritakan kisah itu seolah menyindir bangsa kita. Begitu kata penutur dalam video itu. Katanya, saat ini kita ini seperti diadu antara satu orang atau satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kita tidak sadar kalau kita seolah sudah berada dalam karung yang tidak bisa lagi bebas berbuat.

Dikatakan oleh penuturnya, jika kita ibarat sedang menumpang kapal yang amat besar dengan penumpang yang begini banyak, kita sesama kita berantuk di dalamnya. Begitu banyak alasan yang kita pakai untuk membuat kita saling bermusuhan. Nakhoda jalan sendiri-sendiri. Tidak lagi saling mengisi antara kekurangan yang satu dengan lainnya. Kekurangan justeru dipakai untuk saling caci.

Katanya lagi, jika ini terus begini, tinggal menunggu kapalnya oleng lalu pecah dan penumpangnya berserak di laut maha luas. Dapat dibayangkan, jika kapal sudah karam di tengah lautan. Tinggal menunggu disantap hiu dan ikan paus. Begitulah ibaratnya kita saat ini, kata penuturnya.

Kisah dan cerita itu layak untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita, kata sang penutur. Untuk itu jangan mau ditikuskan sebagaimana kisah tikus dalam karung Pak Tua itu tadi. Begitu kira-kira pesannya kepada pendengar. Tulisan inipun ingin meneruskan pesan itu dalam bentuk catatan ini. Kita setuju pesan itu. Itu pesan yang sangat bagus. Tidak ingin kita diantukkan antara satu dengan lainnya.

Tapi bagaimana? Caranya, tentu saja dengan memperkuat persatuan kita. Menjauhkan silang-sengketa karena perbedaan yang ada diantara kita. Kita memang berbeda-beda dalam naungan bhinneka tunggal ika yang sudah kita sepakati bersama. Jadi, tidak perlu dipersoalkan perbedaan itu. Kita harus tetap bersatu dalam kebhinnekaan itu. Para pemimpin yang menakhodai negara ini juga tidak boleh berjalan masing-masing sebagaimana disindir video itu. Begitulah inti pesan video singkat itu.

Sekali lagi kita sangat setuju pesan itu. Satu Indonesia dengan satu falsafah meskipun kita ada perbedaan tapi kita tidak perlu mempermasalahkan perbedaan itu untuk membuat kita berpecah-belah. Kita semua sudah tahu, ujung sebuah perpecahan hanyalah kehancuran. Maka hendaklah kita waspada. Jika ada niat orang atau kelompok tertentu untuk membuat kita berantuk seperti tikus dalam karung, nauzubillah, janganlah kita terlena. Waspada kita agar kita tidak ditikuskan orang.***

Tinggalkan Balasan