Penerapan Kompetensi Sosial Emosional dalam Interaksi Sosial

Ngobrol 4 mata secara virtual dengan pelatih ahli (couchy), 09/03/2022, dalam kegiatan couching berlangsung santai tetapi tidak meninggalkan sisi serius. Sambil nyeruput kopi kami melalui couching dengan mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan sekolah tentunya.

Couching dimulai sekitar pukul 09.30 sampai menyentuh sekitar 45 menit berikutnya. Banyak hal yang didiskusikan. Mulai dari program yang sudah dilakukan sampai penerapan kompetensi sosial emosional yang menjadi materi PMO sebelumnya.

Saya, dengan kapasitas sebagai pemimpin pembelajaran di SD Negeri 1 Embung Kandong, Lombok Timur,  menyampaikan perkembangan program sekolah. Sejauh ini sekolah telah melakukan sejumlah hal yang berhubungan dengan program sekolah penggerak. Salah satunya upaya digitalisasi sekolah yang terkendala dengan jaringan internet dan dorongan untuk peningkatan SDM pada keterampilan digital.

Dari sisi media, guru sudah mulai menerapkan pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat chromebook yang ada. Mereka mencoba memanfaatkan sumber belajar digital berupa video pembelajaran yang bertebaran di internet. Pada saat yang sama pada sebagian kelas guru sudah menerapkan penilaian berbasis online. Mengapa tidak semuanya? Kendala besarnya terletak jaringan internet yang tidak bersahabat. Sekolah memiliki langganan wifi hanya dengan dua akun. Jika ingin menggunakan jaringan sekolah harus membeli voucher yang disediakan pihak penyedia langganan. Penggunaan voucher itupun tidak maksimal karena sekali lagi karena jangkauan signal.

Prinsip merdeka belajar juga sudah mulai ditunjukkan oleh guru yang tergabung dalam komite pembelajaran. Dengan bekal hasil penguatan dan PMO, guru sudah maju selangkah dengan berani meninggalkan gaya pembelajaran konvensional. Hal ini tentu belum ditunjukkan pada semua proses pembelajaran yang dipimpin oleh setiap guru di masing-masing kelas.

Sejak awal mengikuti sekolah penggerak SD Negeri 1 Embung Kandong sudah menetapkan list program ekstrakurikuler berupa penanganan lingkungan melalui kegiatan pengolahan sampah. Hal ini menjadi salah satu program prioritas dalam rangka pembentukan kesadaran siswa dan warga sekolah tentang pentingnya sikap ramah terhadap lingkungan. Melalui kegiatan berbasis lingkungan ini diharapkan sekolah dapat mewujudkan visi sebagai sekolah sehat. Di masa mendatang kegiatan ini diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar tentang kepedulian terhadap lingkungan.

Pada saat yang sama, ada pula program ekstrakurikuler yang berorientasi kepada penguatan profil pelajar Pancasila. Kegiatan tersebut berupa pramuka,  tari tradisional, teater, dan pantomim. Kegiatan tersebut sudah berjalan.

Dalam kesempatan couching kali ini kami juga melakukan refleksi kembali tentang kompetensi sosial emosional dan bagaimana wujud pengelolaan itu dalam melakukan perubahan di sekolah. Kemampuan mengelola emosi memang sangat diperlukan dalam mengemban tugas kepemimpinan.

Sebagai manusia biasa dengan tanggung jawab kepemimpinan di pundak saya tentu ada idealisme. Saya membayangkan masa depan sekolah saya adalah sebuah sekolah yang sehat, disiplin, berprestasi dan religius. Saya melihat bahwa di masa mendatang akan banyak pihak berdecak kagum dengan perkembangan sekolah dengan grafik yang meloncat keluar dari halaman kertas.

Akan tetapi, bayangan tentang masa depan itu acapkali mengalami semacam “konflik batin” dengan banyak situasi yang tidak relevan dengan harapan dan visi misi sekolah. Situasi paling mendasar adalah ketika saya harus berhadapan dengan sikap rekan guru yang tampak nyaman hadir di sekolah tidak tepat waktu. Belum lagi sebagian besar mereka datang ke sekolah tidak maksimal dalam menjalankan tugas dalam proses pembelajaran.

Pada saat yang sama, saya juga berhadapan dengan fakta bahwa sebagian besar rekan-rekan saya hanya guru dengan status honorer. Dengan imbalan yang jauh di bawah level kelayakan, saya sering harus mengelus dada dengan keadaan. Pada titik ini emosi saya berkecamuk. Saya berada di kancah pertarungan antara kebimbangan sebagai sifat dasar manusiawi dan integritas kepemimpinan yang harus ditegakkan. Saya seperti kehilangan kewibawaan.

Saya berusaha melakukan refleksi terhadap peran managerial seorang kepala sekolah. Bersama rekan-rekan guru saya mencoba melakukan dialog, membangun komunikasi, membuat kesepakatann dan kesepahaman tentang masa depan sekolah. Pada akhirnya, kami berkesimpulan bahwa persoalan mendasar yang harus dibenahi adalah dispilin. Kesepakatan itu kemudian melahirkan sebuah komitmen bahwa perubahan itu harus dimulai dari titik paling mendasar. Kemitmen itu membuat perubahan yang cukup siginifikan. Telat datang ke sekolah dapat diminimalisir. Ini langkah bagus menuju perubahan yang diharapkan.

Pengalaman ini memberikan pembelajaran bahwa dalam penerapan sebuah regulasi, pendekatan paling mendasar adalah pendeketan komunikasi, dialog, dan membangun kesadaran atas sikap tertentu. Sekolah sebagai sebuah kehidupan kolektif, yang berarti ada interaksi sosial, memerlukan pengelolaan emosi yang baik. Meredam emosi negatif melalui bangunan komunikasi yang kokoh adalah alterntaif utama dalam memecahkan masalah bersama.<

Di atas kursdi hidrolik, 11 Maret 2022.

Tinggalkan Balasan