Khoirunnas Anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain. Hadits ini entah sudah berapa kali aku mendengarkannya, sejak di pesantren Darussalam, Blokagung, pada saat ngaji Ihya’ Ulumiddin bersama Romo KH. Hisyam Syafaat, hingga saat putra dari Kyaiku berkunjung ke Mesir. Putra Kyaiku bernama Gus Riza, nama lengkapnya Riza Azizy Hisyam, waktu itu ke Mesir dalam rangka menghadiri acara I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) yang bertempat di Cairo.
Di sela-sela acara I4 yang mengumpulkan seluruh ilmuwan dari Indonesia yang sedang berkarya di luar negeri, mulai dari Amerika, Eropa, Timur Tengah, Australia, hingga Afrika, termasuk seluruh presiden mahasiswa Indonesia di luar negeri, aku bersama Gus Riza bersantai sejenak di sungai nil, sambil naik perahu dan berbincang banyak hal, mulai dari cerita pada saat di pesantren Blokagung dulu, hingga apa yang kami lakukan ketika Gus Riza di Jordan dan aku di Mesir.
“Intinya hidup itu yang penting Khoirunnas Anfa’uhum Linnas bis, yang penting bisa selalu memberikan manfaat kepada manusia yang lain”, beliau memanggilku dengan bis, awalan dari namaku Bisri, sejak di pesantren dulu, karena aku memang sejak di pesantren sudah akrab dan ngobrol bersama. Di Mesir aku sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar, di Jordan, beliau sebagai mahasiswa di Yormouk University. Aku mengambil spesialisasi Tafsir Qur’an, beliau mengambil Ekonomi Syariah.
Disamping sebagai mahasiswa, aku bekerja di pengiriman barang dari Mesir ke Indonesia. Apa saja kami kirimkan, mulai dari kitab-kitab milik mahasiswa, barang rumah tangga milik orang-orang Indonesia, termasuk milik bapak dan ibu KBRI Cairo yang ada di Mesir, hingga bisnis Mesir dan Indonesia. Aku bekerja di perusahaan cargo milik Pak Nanang Sofinal Johan, dulu alumni Gontor dan sudah lama di Mesir. Beliau memiliki banyak usaha di Mesir, termasuk pengiriman cargo ini.
Gus Riza sendiri datang ke Mesir dan mendapat undangan dari I4 karena beliau sebagai presiden PPMI Jordan, Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia yang ada di Jordan. Dulu, saat di Madrasih Aliyah di Pondok Blokagung, beliau juga menjadi ketua OSIS dan Ketua PMII dan IPNU, dan selalu aktif di organisasi, melayani orang lain, hingga berlanjut karir organisasinya sampai ketika S2 di Jordan ini.
Yang hadir dalam cara I4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) ini berlatar belakang macam-macam. Mulai dari para presiden mahasiswa dari seluruh dunia, mulai dari universitas Harvard di Amerika, hingga presiden mahasiswa Indonesia di Inggris, Australia, semuanya hadir. Walaupun aku di Mesir tidak bersinggungan langsung menjadi bagian dari PPMI Mesir, pergaulanku lumayan akrab dengan mereka, karena bisnis pengiriman Al-Kiram Cargo Service menjadi bisnis pengiriman yang paling besar di Mesir yang dimiliki oleh orang Indonesia dan semua kalangan mahasiswa di Mesir mengenal perusahaan ini.
Di PPMI Mesir, aku akrab dengan Mas Heri Nuryahdin yang waktu itu menjadi wakil presiden PPMI Mesir, aku juga akrab dengan Mas Fadlan yang menjadi panitia dari I4 ini. Aku juga sering nongkrong di GAMALAMA, yang menjadi secretariat utama acara I4, karena di secretariat ini ada beberapa penghuninya yang dari Banyuwangi, diantaranya Qomar, Yosi dan Hafidz.
Bersama Mahmudi, yang saat ini sudah almarhum, Allah yarham. Dia yang menjadi sopir menemaniku dan Gus Riza keliling Cairo, termasuk naik perahu di sungai nil. Setelah berbincang nostalgia terhadap apa yang sudah kami lakukan di Mesir dan Jordan, aku mengajak Gus Riza untuk mengunjungi masjid tertua di Afrika bernama masjid Sayyidina Amr bin Ash.
Masjid Sayyidina Amr bin Ash berada di Old Cairo, Cairo tua. Ada hal menarik yang aku ketahui ketika berada di Mesir. Pemerintah Mesir ketika hendak mempercantik kotanya, tidak dengan cara menggusur. Mereka lebih suka membuat kota baru yang awalnya berupa padang pasir, dari pada menggusur kota lama dan dibuat kota baru, seperti yang biasa kita ketahui di Jakarta.
Sebagaimana yang pernah aku dengar dari sahabatku orang Mesir yang bernama Omar, di Mesir kotanya hanya 5 persen dari seluruh tanah Mesir. Artinya 95 persen sisanya masih berupa padang pasar. Dari 5 persen itu, semuanya berada di bantaran sungai nil, wilayah sekitar sungai nil mulai dari Aswan yang menjadi hulunya, hingga memanjang ke Alexandria yang menjadi hilirnya.
“Bangunan Masjid Sayyidina Amr bin Ash ini menarik bis, bisa menjadi pembelajaran buat hormanisasi beragama”, Gus Riza memberikan penilaian. Bagaimana tidak, masjid Sayyidina Amr bin Ash berada persis di depan gereja tua yang sudah ada ratusan tahun sebelumnya yang bernama Mar Girgis. Gus Riza, Mahmudi dan aku melaksanakan shalat dhuhur di masjid tertua afrika ini. Tempat wudlu yang berada di tengah-tengah halaman masjid juga menjadi hal yang menarik, menunjukkan bahwa desain klasik bangunan masjid ini masih sangat dipertahankan hingga era sekarang.
Setelah shalat dan mengambil foto di dalam masjid tertua di Afrika ini, aku mengajak Gus Riza untuk mampir ke gereja tua yang ada di depannya, menurut cerita, konon dulu Siti Maryam bersama putranya Sayyidina Isa pernah mampir ke gereja ini, entah hanya legenda atau benar adanya, aku tidak tau, aku mendengar cerita ini dari Mahmudi yang sudah lebih lama hidup di Mesir dari pada aku, dia dapat cerita dari temannya yang orang Kristen Koptik, Kristen Ortodok yang dianut oleh masyarakat Mesir.
“Coba anda baca itu Gus, tulisan yang ada di pintu masuk gereja”, aku mengarahkan sebuah tulisan kepada Gus Riza. Dengan perlahan, Gus Riza membacanya, “Bismillahir Roufurrohim, menarik sekali ya, orang Kristen Mesir juga baca bismillah”, ungkap Gus Riza. Di pintu masuk gereja Mar Girgis ini tertulis secara jelas Bismillahirroufurrohim. Yang membedakan bismillahnya orang islam dan orang Kristen di Mesir adalah lafadz Arrohman dan Arrouf, walaupun keduanya sama-sama dari Asmaul Husna.
Setelah puas menikmati keindahan, nilai harmonis yang hendak diberikan pelajarannya dari masjid tertua di Afrika dan gereja tua Mar Girgis, kami melanjutkan jalan-jalannya di Qoryah Fir’auniyah. Secara bahasa arab nama ini berarti “Desa Fir’aun”. Secara sejarah, yang aku ketahui, setiap generasi seseorang yang bisa menaklukkan Mesir, ibu kotanya akan dipindah. Pada saat Mesir berada di bawah kekuasaan fir’aun, ibu kotanya berada di Luxor dan Aswan, dua kota ini yang menjadi pusatnya.
Ketika Mesir ditaklukkan oleh Yunani, ibu kotanya dipindah lagi ke Alxandria, diberi nama Alexandria karena yang menaklukkan bernama Alexander The Great, panglima perang dan raja dari Yunani, ada sekitar 6 kota di dunia ini yang bernama Alexandria karena dulunya pernah ditaklukkan oleh Raja Alexander, diantaranya yang berada di Mesir ini.
Lalu, saat umat Islam berhasil menaklukkan Mesir pada masa Sayyidina Umar bin Khottob, di bawah panglima perang Sayyidina Amr bin Ash, ibu kota negara Mesir dipindah lagi, dari yang awalnya Alexandria, berpindah ke Cairo. Sekarang, Cairo yang dulu menjadi ibu kota pada masa Sayyidina Amr bin Ash, pada masa sekarang sudah berganti nama menjadi Old Cairo, sementara saat ini, ibu kotanya berada di New Cairo. Seperti itulah Mesir, suka membuat kota baru dan mempertahakan kota yang lama.
Adanya fakta seperti ini, Gus Riza memberikan dalil khas NU kepadaku, “Mesir itu mengamalkan dalilnya NU bis, berbunyi Almuhafadhatu ‘alal qodimissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, mempertahankan sesuatu yang lama yang bagus, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih bagus”, sambil tersenyum beliau mengatakan dalil NU ini.
Qoryah Fir’auniyah berada di kawasan Al-Munib, kota Giza. Satu kota dengan banyaknya bangunan piramida berdiri. Yang menarik adalah “Desa Fir’aun” ini berada di gundukan sungai nil. Posisi tepat berada di tengah sungai nil. Aku suka menyebutnya dengan pulau nil. Mahmudi membelikan 3 tiket untuk kami. Kami memasukinya. Di dalam pulau ini, kami disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa. Seakan kembali ke ribuan abad yang lalu, ketika masa Nabi Musa dan Nabi Yusuf. Semua orang yang ada berpakaian ala-ala fir’aun. Kegiatan di pinggiran sungai nil, orang yang sedang bekerja, sedang beribadah menyembah tuhan-tuhan fir’aun, sedang berkumpul bersama keluarganya dan banyak lagi yang lainnya.
Kalau di Indonesia, ya seperti yang terjadi TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Desan fir’aun ini menyajikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Mesir di masa lalu, pada saat sedang jaya-jayanya di bawah kekuasaan fir’aun. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan ke piramida yang menjadi bangunan salah satu 7 keajaiban yang ada di dunia. Piramida, satu batanya saja, besarnya sudah hampir sebesar bangunan musholla yang ada di desaku. Itu baru satu batanya. Sementara piramida tersusun dari jutaan batu batu. Bagaimanakah cara menyusunnya?! Sampai sekarang masih menjadi misteri.
Kami pulang ke Tubromli malam hari. Hari ini sembari berwisata, aku berbincang banyak hal bersama Gus Riza. Sebagaimana dulu saat di pesantren, beliau sangat aktif berorganisasi, di Jordan beliau juga semakin aktif, terbukti diangkat sebagai presiden PPMI Jordan, membawahi seluruh mahasiswa Indonesia yang berada di negara Jordan dan beberapa hari di Cairo beliau berkumpul dengan seluruh presiden mahasiswa Indonesia dari seluruh dunia dan para ilmuwan Indonesia seluruh dunia yang sedang rapat di Mesir.
Hari ini, setelah sepuluh tahun sejak pertemuanku bersama Gus Riza di Mesir, beliau mencalonkan diri sebagai calon bupati Banyuwangi, lebih tepatnya dicalonkan diri sebagai wakil bupati Banyuwangi. Aku tidak kaget, juga tidak terlalu wah. Bagiku Gus Riza memang pantas dan layak untuk menerima amanah ini, bahkan seandainya diberikan pilihan, Gus Riza malah sangat layak menjadi Bupati Banyuwangi.
Jaringan yang beliau miliki bukan hanya jaringan nasional saja, tapi internasional. Teman-teman presiden mahasiswa waktu itu, sepuluh tahun yang lalu pada saat acara I4, dulu masih menjadi presiden mahasiswa di negara tempat mereka studi. Saat ini kalau aku mengabsennya satu persatu, sudah banyak dari mereka yang menjadi orang nomor 1 di bidang yang mereka geluti. Jadi layak sekali kalau saat ini Gus Riza diangkat menjadi P2, wakil bupati Banyuwangi.
Gus Riza yang aku kenal sejak di pesantren, lalu menjadi santri almarhum KH. Hasyim Muzadi di Al-Hikam Malang, yang waktu itu menjadi Ketua PBNU sebelum KH. Said Aqil Shiradj, lalu melanjutkan study S2 di Jordan dan saat ini S3 di Universitas Trisakti Jakarta sekaligus sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah 10 di dekat Istana Presiden Bogor, sekali lagi menurutku sangat layak menerima amanat ini. Aku mendukung penuh pencalonan beliau ini.
Aku bukan tim sukses beliau. Aku menuliskan catatan ini, karena memang sudah sejak lama aku mengenal beliau, sejak ngaji bersama di pesantren Blokagung, berkumpul di Mesir, pada saat beliau di Jakarta, istri beliau juga keponakan dari istriku, sama-sama dari keluarga keturunan KH. Abdul Mannan, Pondok Pesanten Minhajut Thullab, Muncar, dari jalur KH. Askandar, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Berasan yang menjadi menantu dan saudara dari Mbah KH. Abdul Mannan. Artinya dari jalur Gus Riza dan Istrinya, aku sangat dekat beliau, sebagai santri sekaligus saudara.
Sukses Gus Riza. Wakil Bupati Banyuwangi. Nomor 1. Untuk Banyuwangi yang lebih baik. Aku masih ingat pesan yang anda sampaikan pada saat kita ngobrol di perahu sungai nil Cairo Gus, “Di manapun posisi kita, di manapun kita hidup, prinsip yang haru kita pegang adalah Khoirunnas anfauhum linnas, bagaimana kita selalu bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain”. Anda sangat layak menjadi P 2 Gus. Sukses!