Kota Mayat Cairo

Kematian adalah topik yang kurang menarik untuk diperbincangkan walaupun semua makhluk hidup di dunia ini bakalan merasakannya, tetapi saya tergelitik untuk mengangkat persoalan ini jika akar budayanya adalah Mesir, negara yang membuat saya kagum kepadanya karena namanya banyak disebut di dalam kitab suci agama yang saya anut.

Semua pasti tahu, Mesir adalah sebuah negara yang melewati banyak sekali periode di setiap jengkal sejarahnya, sehingga mau tidak mau budaya Mesir bisa dikatakan sebagai budaya “koktail” alias budaya campur aduk dari seluruh peradaban, walaupun tentu saja peradaban yang ada sekarang tetap didominasi oleh peradaban Islam.

Hal inilah yang juga mempengaruhi cara pandang orang Mesir dalam hal kematian. Saya tidak akan membahas masalah ini dari segi kajian mendalam yang diambil dari beberapa study keilmuan, saya hanya ingin mengangkat fakta yang pernah saya ketahui sebelumnya sejak saya menginjakkan kaki di bumi Kinanah ini.

Tempat yang menjadi perhatian saya tentang kematian adalah dua kota, pertama di Dua’ia (Du’aiqoh) dan yang kedua di Toubromli, satu daerah yang termasuk sangat dekat dengan apartemen yang saya huni. Yang pertamakali ada dalam benak saya ketika melihat tempatnya orang mati tepatnya kuburan yang sangat luas yang ada di dua kota di Cairo ini adalah tidak ada rasa angker dan seram sama sekali. Saya juga bingung, seharusnya Mesir lebih angker dari pada Indonesia, karena secara usia, negara ini menurut yang saya tahu dari pelajaran sejarah, peradabannya lebih dulu adanya.

Tetapi pada faktanya, di koran bahkan di televisi saluran Mesir, tidak ada ceritanya hantu pocong, hantu suster ngesot maupun hantu tuyul yang lazim ada di Indonesia. Bagi saya ini adalah aneh. Hampir setiap hari ketika perkuliahan di Al-Azhar aktif, saya selalu melewati kotanya orang mati yang ada di Du’aiah. Perlu anda tahu, Dua’iah adalah satu kawasan makam sejak pada masa Islam masuk ke Mesir.

Makam yang dihuni oleh orang-orang pada zaman Salahuddin Al-Ayyubi sang penakluk Jerussalem, juga makamnya para manusia yang sejak zaman dinasti Fatimiyyah yang sudah berumur ribuan tahun. Tetapi lagi-lagi tidak ada hawa angker. Aneh menurut saya. Bahkan, keanehan itu justru timbul dengan adanya fakta lagi yang membuat mata saya terbuka lebar.

Bahwa hampir di semua (pengganti kata banyak) makam-makam itu selalu ada penjaga pintunya alias orang yang menjadikan makam sebagai rumah dan mereka rata-rata adalah orang miskin yang tidak memiliki rumah di Cairo. Ternyata yang menjadikan mereka betah tinggal di kuburan adalah salah satunya bentuk kuburan di Cairo tidak sama dengan bentuk kuburan layaknya makam di Indonesia, walaupun ada beberapa yang sama.

Makam-makam di Cairo di desain seperti halnya rumah yang memiliki ruang tamu, memiliki saluran air dan kamar bahkan hingga memiliki kubah seperti sebuah masjid. Uniknya lagi, rumah-rumah mayat ini memiliki bangker. Anda mungkin bertanya buat apa pembangunan bangker-bangker (ruangan bawah) itu, jawabannya tentu untuk para mayat yang akan di kuburkan.

Inilah mengapa di awal catatan saya mengatakan kalau peradaban Mesir adalah peradaban koktail yang dipengaruhi oleh banyak budaya yang pernah menjajahnya. Mayat yang mati di Cairo tidak dikubur, mereka hanya diletakkan di ruangan yang berada di bawah tanah. Mereka ditata sedemikian rupa seperti layaknya menata barang.

Permasalahan ini pernah saya utarakan kepada guru saya karena cara mengubur seperti itu bukan cara yang ada dalam Islam se[erti yang saya pelajari di buku-buku Fiqih, Beliau seorang doktor namanya DR. Mathrowi, lulusan Universitas Cairo, beliau menjelaskan perkara ini dari sudut struktur tanah yang ada di Cairo.

Tanah di Cairo berbentuk pasir halus, ini yang menyebabkan cara mengubur orang mati tidak bisa dilakukan seperti layaknya cara mengubur sistem Islam dengan cara membuat lubang sekian meter, lalu ada tempat khusus untuk mayat, dan  seterusnya seperti di Indonesia. Ketika cara mengubur dilakukan dengan sistem Islam, maka tanah akan longsor. Itulah mengapa mereka memilih cara bangker dalam mengubur mayat, toh selama satu tahun mayat-mayat itu tetap akan membusuk dan menjadi tulang.

Begitulah jawaban kongkrit dari guru saya. Tetapi masih timbul pertanyaan dari jawaban guru saya, jika memang tanah yang ada di Cairo bentuknya seperti itu, pada faktanya saya menemukan banyak kuburan yang ada di sekitar wilayah Sinai yang masuk Asia Barat dan berbatasan langsung dengan Israel yang cara menguburnya sama dengan cara mengubur orang Islam seperti yang diterangkan dalam kitab-kitab fiqih.

Padahal struktur tanah di sana sama dengan di Cairo. Namun sayang, guru saya tidak banyak menanggapi hal ini, anggapan beliau akhirnya hampir sama dengan saya, mungkin ada faktor budaya luar yang mempengaruhi kenapa cara mengubur orang Mesir seperti itu, entah budaya dari kristen yang dibawa oleh Romawi yang pernah menguasai Mesir selama hampir 600 tahun ataupun budaya dari Yunani.

Bahkan mungkin budaya sejak masa Mesir kuno. Entahlah wallahu a’lam. Inilah sekilas kota untuk para mayat yang ada di Mesir khususnya di ibu kotanya; Cairo. Bagaimana keadaan kota mayat yang ada di kota anda. Mungkin anda bisa berbagi bersama saya.

Tinggalkan Balasan