Bercerita salah seorang sahabatku : Suatu hari ada penjual ikan datang ke rumahku untuk menawarkan dagangannya dan tanpa tawar menawar aku langsung membeli ikan yang ia bawa. Dia sangat bersyukur dengan pembelianku dan berkata kepadaku : baru kali ini selama aku menjual ikan sepanjang hidupku, ada seorang yang langsung membelinya dengan harga yang aku berikan tanpa tawar menawar.
Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu sebagaimana Allah memberikan kebaikan kepadaku, semoga Allah menjadikan dirimu bahagia sebagaimana Dia menjadikan kebahagiaan dari hartamu. Aku begitu bahagia dengan doa yang dipanjatkan oleh bapak tua penjual ikan ini dengan penuh harap semoga pintu dunia dibukakan untuk orang-orang seperti beliau.
Aku begitu takjub, seorang yang awam mampu memberikan sebuah pencerahan yang jarang sekali orang seperti dirinya bisa mencapai derajat mengetahui sebuah hakikat kehidupan; sebuah kebahagiaan diri tidak linear dengan kebahagiaan harta. Aku bertanya kepadanya : wahai bapak tua, apakah ada sebuah kebahagiaan selain kebahagiaan karena harta ?.
Dia malah tersenyum dengan penuh tulus dan menjawab : seandainya kebahagiaan itu hanya terletak pada harta yang berlimpah, maka aku menjadi seorang yang sangat menderita karena aku adalah orang yang paling miskin diantara manusia. Aku kembali bertanya : apakah kau menganggap dirimu bahagia ?, dia menjawab : ia, karena aku menerima dengan rizkiku, menikmati kehidupanku, aku tidak sedih dengan sesuatu yang hilang dari hidupku dan aku tidak membiarkan diriku untuk mengharap sesuatu yang bukan rezekiku, lalu dari mana gerbang kesedihan akan masuk dalam rumahku ?!.
Aku bertanya kembali : benarkah demikian wahai bapak tua, aku tidak melihat dirimu kecuali hanya seorang lelaki yang telah kehilangan akalnya, bagaimana mungkin kau menganggap dirimu bahagia sementara engakau tidak memakai sandal, kau telanjang dan hanya menutupi auratmu dan pakaianmu yang compang camping ?!.
Ia terus menjawab : Jika bahagia itu lezatnya perasaan hati dan ketenangannya dan sedih itu sakitnya hati dan ketidaktenangannya, maka aku bahagia, karena aku tidak menemukan dari balik baju kotorku maupun dari melaratnya kehidupanku yang melahirkan sebuah kesengsaraan atau yang menyebabkan aku menderita. Namun, jika ada kebahagiaan dibalik itu, maaf aku tidak memahaminya kecuali apa yang aku alami.
Aku bertanya kembali : Apa bapak tidak sedih ketika melihat orang kaya, melihat rumahnya yang mewah, kendaraannya yang keren, kehidupannya yang glamour dan makanannya yang lezat dan keindahan dunia yang bisa mereka rasa dan dapatkan ? Apakah bapak tidak menderita dengan perbedaan yang sangat jauh ini ?.
Dia menjawab : Sesungguhnya pandangan yang menjadikanku melihat itu semua secara biasa adalah mereka orang kaya tidak mendapatkan kebahagiaan dari hartanya sebesar aku mendapatkan kebahagiaan tanpa harta. Tentang makanan, sebagaimana yang kau sebutkan. Jika yang engkau maksudkan adalah kenyang, maka selama ini yang aku ingat, aku tidak pernah kelaparan pada malam hari saat aku hendak tidur dan jika yang kau maksud adalah untuk memenuhi syahwat keinginan makan semata, maka aku tidak akan makan kecuali ketika aku merasa lapar, sehingga aku benar-benar merasakan kelezatan dari setiap sesuatu yang masuk ke mulutku, aku kira tidak ada kelezatan makanan yang menandingi saat seperti ini.
Tentang sebuah rumah mewah, aku memiliki sebidang tanah kecil dengan rumah SSS (sangat sederhana sekali) yang ku tempati bersama istri dan anak-anakku, aku tidak merasakan sempit dengan rumahku ini sehingga mengapa juga aku iri dengan rumah mewah yang mereka tempati. Dan masalah keindahan, cukuplah aku keluar setiap pagi hari setelah fajar seusai shalat subuh sambil membawa jaring ikan dipunggung, aku berjalan melewati pinggir sungai dengan pemandangan langit dan air yang jernih dan matahari yang sedang terbit.
Dari arah timur aku bisa melihat sebuah sinar mentari pagi yang menyerupai emas, ia seperti kepingan api yang berkobar, aku terus menikmatinya hingga sinar itu pecah oleh percikan-percikan sungai dan terlihat semakin indah. Embun pagi dengan tumbuhan hijau sepanjang sungai tidak luput dari pandanganku. Dengan pemandangan seperti ini setiap harinya, aku seakan berada dalam alam mimpi yang sangat indah, aku enggan untuk bangun dan ingin terus menikmatinya.
Aku terus seperti ini hingga aku merasakan tarikan kuat ditanganku, seekor ikan telah berhasil tertangkap dari jaringku. Ikan itu terus melawan dan perlawanannya tidak lain karena mereka berpisah dari alam kebebasan yang dimilikinya dan sekarang hidup disebuah deruji jaring yang aku buat yang mana disana tidak ada sebuah kebebasan.
Inilah perumpamaan antara aku dan orang kaya. Orang miskin bebas untuk berjalan dan berpindah-pindah menurut seleranya, ia seperti burung yang bebas terbang untuk mencari makan sambil menikmati alam bumi yang indah. Terbang ke mana saja yang ia suka, tidak ada yang melarang.
Lha orang kaya, ia tidak diam dan bergerak kecuali selalu menjadi bahan pembicaraan sekitarnya, ada saja orang yang komentar dengannya, ia tidak keluar rumah kecuali setelah berdiri di cermin selama satu jam, apakah dandanannya sudah pas dan tepat seperti yang orang-orang inginkan. Ia tidak akan lepas dari berdandan hingga benar-benar yakin dan berharap orang yang melihat dirinya mampu memberikan sebuah penghormatan dan berucap salam kepadanya.
Ketika aku sudah mendapatkan ikan yang cukup untuk hariku, aku pulang dan menjualnya ke pasar atau mendatangi rumah-rumah penduduk. Hingga sore menjelang, aku pulang ke rumah dan anakku langsung berlari padaku untuk aku peluk, istriku juga selalu memberikan senyuman dengan kedatanganku.
Setelah aku selesai menunaikan kerja sebagai hak keluargaku dan menunaikan shalat sebagai hak Tuhanku, aku tidur di kasurku dengan tenang, aku tidak butuh dengan tempat tidur yang terbuat dari sutera ataupun kain halus empuk dan mahal. Lalu apakah aku akan berkata kalau aku orang yang sengsara ?! sedangkan aku menjadi manusia yang merasakan kenyamanan walaupun dengan sedikit harta.
Tidak ada bedanya antara aku dan orang kaya kecuali satu hal, manusia tidak pernah mengagungkanku ketika bertemu denganku dan tidak memanjangkan lehernya untuk menghormatiku, tetapi perbedaan itu bagiku tidak ada nilainya dan tidak ada bekas. Apa urusanku dengan itu semua, entah manusia akan berdiri, duduk, terbang di angkasa, menyelam di dasarĀ laut, pandanganku kepada mereka hanyalah seperti pandanganku terhadap sebuah gambar yang bergerak.
Hubunganku dengan sesuatu di alam ini hanyalah sebuah hubungan antara aku dan Tuhanku; aku menyembahNya tanpa pernah menyekutukannya, aku selalu mengesakannya. Aku tidak bisa menyembunyikan wahai tuanku..untuk bisa mengumpulkan antara tauhid kepada Allah dan mengakui keagungan dari makhluqnya.
Keyakinan inilah yang tertancap dalam hatiku, hingga seandainya ada seorang presiden mendatangiku dengan hulu balangnya, aku tidak akan pernah gentar dan takut untuk berkomunikasi dengannya, pandanganku terhadapnya adalah ia tak ubahnya hanya bagaikan seorang artis. Keyakinan inilah yang menyebabkan diriku bahagia.
Susah dan sedih berlari dari kehidupanku. Tidak ada musibah yang menimpa hidupku kecuali aku memahami dengan sepenuhnya tentang musibah itu hingga aku seakan tidak merasakan sakitnya. Bagaimana aku harus merasa sakit sedangkan aku mengerti dengan haqqul yakin bahwa ada Tuhan yang mengatur hal ini dan kelak aku juga mendapatkan pahala atas apa saja yang menimpa diriku. Aku mendapatkan imbalan sesuai dengan penerimaanku atas musibah itu dan keikhlasanku.
itulah mengapa aku tetap tenang. Aku beriman terhadap adanya qada’ dan qadar entah itu tentang buruk ataupun baiknya, tentang hari kiamat entah siksa ataupun pahalanya. Hingga menjadikanku mampu memandang dunia biasa saja. Aku tidak terlalu senang dengan kebaikannya dan tidak terlalu susah dengan keburukannya. Aku tidak peduli dengan segala keadaan dunia hingga model hidup yang bagaimanapun.
Aku berani berjanji, tiap kali aku keluar rumah untuk mencari ikan di sungai sambil menenteng jaring di punggung, aku selalu diliputi oleh sebuah perasaan was was, apakah nantinya aku kembali ke rumah menjadi orang yang membawa atau aku yang malah dibawa ? Alam ini bagaikan laut yang sangat luas dan manusia yang hidup di dalamnya adalah ikan-ikannya yang terus bergerak.
Tentang kematian itu seperti seorang penjaring ikan yang sedang menjaring ikan di laut. Ia mendapatkan apa yang didapat dan meninggalkan apa yang tidak didapat, ikan yang selamat hari ini, belum tentu selamat hari esok. Lalu, untuk apa aku mempersoalkan sesuatu yang tidak aku miliki. Aku benar-benar menghormati dengan sepenuhnya terhadap bapak penjual ikan ini, aku kagum dengan kejernihan fikirannya dan kecerdasan hatinya.
Aku iri dengan rasa menerima dengan kebahagiaan dirinya. Aku kembali berkata padanya : sesungguhnya banyak manusia yang menangis karena kata bahagia, mereka mencari tapi tidak pernah mendapatkan, lalu mereka berkesimpulan kalau penderitaan merupakan sebuah keharusan hidup di dunia, tidak pernah lepas darinya. Lalu, bagaimana mungkin kau menganggap hidup itu bahagia, sedangkan kehidupan itu selalu diliputi oleh penderitaan ?.
Dengan mantap dia menjawab pertanyaanku : Tidak wahai tuanku..sesunggunya manusia itu bahagia secara fitrah, dirinya sendiri yang menarik penderitaan mampir untuknya. Bukankah segala sesuatu yang ada di tangan manusia adalah sebuah titipan dan amanat yang kelak akan dikembalikan lagi kepada pemiliknya yang hakiki.
Sesungguhnya segala penderitaan yang menimpa manusia itu datang dari dalam dirinya sendiri bukan dari fakta yang berada di depannya. Seorang yang iri dengki merasa menderita saat melihat sesuatu yang berada pada orang yang memiliki sebuah nikmat, orang yang tama’ menderita saat jiwanya tidak mampu menggapai apa yang dia ingin yang orang lain bisa memilikinya, orang yang dzalim menderita saat mendengar doa tulus dari orang yang ia dzalimi atau mendapatkan imbalan sebagaimana dulu ia mendzalimi.
Begitu juga penderitaan yang dirasakan orang-orang yang suka berbohong, suka menghasud dan suka bermusuhan. Barang siapa mengharap sebuah kebahagiaan, maka carilah kebahagiaan itu di relung-relung jiwa yang ada dalam dirinya, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang terus menderita walaupun ia hidup dengan harta yang digali dari bumi dan langit.
Bapak penjual ikan itu menghentikan ucapannya sampai di sini, dia berdiri dan mengambil tongkatnya sembari berkata padaku : selamat tinggal tuanku..aku berdoa dengan sebuah doa yang kau senang mendengarnya sebagaimana aku senang menyenandungkannya; semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadamu sebagaimana Allah memberikan kebahagiaan atas hartamu. Wassalamu’alaikum warahmatullah. Adakah bapak tua itu sekarang ?