Diklat Publikasi Ilmiah, Antara Tuntutan dan Kebutuhan

DIKLAT PUBLIKASI ILMIAH

ANTARA TUNTUTAN DAN KEBUTUHAN

Oleh: Nanang M. Safa

 

Menghasilkan publikasi ilmiah adalah salah satu tuntuan bagi seseorang yang berprofesi sebagai guru, terutama yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagaimana dinyatakan dalam Permen PAN-RB  Nomor 16 Tahun 2009. Pada BAB VII pasal 16  jelas dinyatakan bahwa untuk kenaikan pangkat dan golongan bagi guru dari III/a sampai ke IV/E, guru disyaratkan memiliki karya tulis ilmiah, termasuk dalam bentuk buku. Namun kenyataannya, sedikit sekali guru yang dapat menghasilkan publikasi ilmiah yang bisa memenuhi ketentuan Permen PAN-RB tersebut. Hal ini tentu saja dapat merugikan guru bersangkutan maupun lembaga pendidikan tempat di mana dia ditugaskan.

Seperti pernah dikemukakan Sulistiyo, mantan ketua PGRI Indonesia bahwa ada sekitar 800.000 guru yang stagnan di IV/A karena tidak bisa membuat karya tulis ilmiah. Di SD, sebanyak 30,4 persen guru terhenti di golongan IV/A. Di SMP, guru golongan IV/A sebanyak 28,3 persen. Hanya sedikit yang bisa ke golongan IV/B ke atas, bahkan tidak ada guru SD dan SMP yang bisa ke IV/E (Kompas, 6/11/2014).

Berangkat dari latar belakang inilah, akhirnya pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait berupaya menjembatani kegelisahan para guru tersebut melalui penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Publikasi Ilmiah bagi guru. Khusus bagi para guru yang bernaung di bawah Kementerian Agama, diklat tersebut telah diprogramkan oleh Balai Diklat Keagamaan (BDK) Surabaya.

Sebagaimana dinyatakan dalam website resmi BDK Surabaya, tujuan diadakannya diklat publikasi ilmiah bagi guru ini adalah untuk mengembangkan kompetensi guru di bidang tulis-menulis (http://bdksurabaya-kemenag.com). Maka semestinya merupakan sebuah anugerah yang patut disyukuri ketika mereka ditunjuk untuk mengikuti diklat publikasi ilmiah ini, sebab masih banyak guru lain yang sangat berharap justru tidak mendapatkan kesempatan. Namun kenyataannya, banyak guru yang mendapat tugas mengikuti diklat publikasi ilmiah ini, tidak sepenuhnya bisa menerima dengan rela hati, bahkan ada yang terang-terangan menolak dengan berbagai alasan.

Dalam beberapa kesempatan perbincangan dengan rekan sesama peserta diklat publikasi ilmiah di BDK Surabaya terungkap tentang beberapa alasan dan kesan pertama tentang tugas mengikuti diklat publikasi ilmiah tersebut. Beberapa rekan ada yang merasa terpaksa dengan alasan tidak enak untuk menolak, takut terkena sanksi dari atasan, merasa kurang bekal tentang kemampuan menulis atau bahkan ada yang tidak memiliki alasan jelas. Ada juga alasan yang menarik biarpun terkesan main-main yakni merasa beruntung karena bisa refreshing. Alasan-alasan yang mengemuka ini tentu nantinya akan ikut berpengaruh terhadap ketercapaian tujuan diklat itu sendiri.

 

Sejalan dengan Program Literasi Madrasah

Gong literasi telah ditabuh. Pemerintah sepertinya tidak ingin tertinggal lebih jauh lagi dengan negara tetangga. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama kini sedang menggalakkan literasi bagi peserta didik dan tenaga pendidik. Literasi terutama berkaitan langsung dengan kegiatan membaca dan menghasilkan karya tulis. Keterampilan membaca berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membaca adalah gerbang pengetahuan. Tentu semua sudah maklum bahwa siapapun yang malas membaca maka akan sempit pengetahuan. Orang yang sempit pengetahuan tentu juga akan miskin inovasi. Menghasilkan karya tulis menjadi bukti otentik bagi bangsa yang suka membaca. Karya tulis yang dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi bukti nyata bahwa bangsa tersebut memang bangsa yang cinta ilmu pengetahuan dan memiliki peradaban yang maju. Sebesar apapun suatu bangsa jika tidak diabadikan dalam karya tulis maka dalam kurun tidak lama bangsa tersebut akan terhapus dari sejarah dunia.

Menulis adalah bagian dari program literasi yang harus dikembangkan di lembaga pendidikan, termasuk madrasah. Sedangkan guru adalah nara sumber dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tentu saja sangat kaya ide, inspirasi dan pengalaman, baik yang berkenaan langsung dengan bidang ilmu yang diajarkan maupun ide-ide lain yang diperolehnya dalam berbagai kegiatan kependidikan. Minimnya jumlah guru yang menghasilkan publikasi ilmiah tentu saja merupakan sebuah keprihatinan yang memiriskan. Dapat dibayangkan seandainya saja menghasilkan publikasi ilmiah tidak dimasukkan dalam prasyarat untuk kenaikan pangkat, maka guru yang mau menulis mungkin bisa dihitung dengan jari.

 

Sebuah Perjuangan

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa untuk berangkat ke Surabaya (BDK), butuh persiapan fisik dan mental. Apalagi bagi peserta yang rumahnya ada di pelosok pedesaan, seperti yang saya rasakan ketika mendapat tugas mengikuti diklat publikasi ilmiah pada tahun 2017 lalu. Rumah saya yang notabene berada jauh di wilayah pinggiran paling selatan di Kabupaten Trenggalek harus berjibaku dengan medan dan waktu ketika harus menuju ke Surabaya.

Secara jujur saya akui bahwa saya bukanlah tipe orang yang suka plesir. Artinya, penulis merasa sangat terbebani ketika harus menempuh perjalanan jauh. Saya sangat menghindari kendaraan, karena saya adalah seorang “pemabuk”. Inilah satu-satunya yang membuat saya merasa sangat terbebani ketika ditugaskan berangkat ke BDK Surabaya. Ketikapun di madrasah tempat saya mengabdi diadakan tour bersama, jarang sekali saya ikut serta, meskipun dengan iming-iming gratis. Para rekan saya juga sudah sangat maklum tentang alasan ini.

Jarak tempuh dari rumah saya di Desa Margomulyo Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek sebagaimana yang terdeteksi di Google Map tidak kurang dari 152 KM, dengan jarak tempuh lebih dari 4 jam untuk perjalanan normal. Dalam surat tugas yang saya terima dicantumkan bahwa peserta diklat harus ceckin di BDK Surabaya antara jam 08.00 s.d jam 10.00. Maka saya harus berangkat tengah malam agar tidak terlambat sampai di Surabaya. Jika harus naik bus, dari rumah saya terlebih dahulu harus bersepeda motor sekitar 30 KM menuju ke terminal bus terdekat, yakni terminal Durenan. Akses jalan menuju ke terminal Durenan berjarak sekitar 30 KM dengan melewati jalan khas pegunungan yang turun naik dan berliku. Mungkin bagi banyak orang cerita perjalanan ini terdengar klise, namun bagi saya yang seorang “pemabuk” untuk bisa sampai ke BDK Surabaya tepat waktu adalah sebuah perjuangan.

 

Antara Tuntutan dan Kebutuhan

Pendidikan dan Pelatihan (diklat) bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan atau untuk mendulang angka kredit semata yang diperlukan untuk kenaikan pangkat. Pelaksanaan diklat mengintegrasikan teori dan praktik serta internalisasi nilai-nilai keagamaan secara inhern artinya para peserta diklat dikondisikan sedemikian rupa sehingga sepulang mengikuti diklat para peserta benar-benar merasa mengalami perubahan berarti dibanding sebelum mengikuti diklat. Bagi seorang guru, menghasilkan publikasi ilmiah seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah tuntutan, namun harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan mutlak atas nama ilmu pengetahuan. Inilah yang seharusnya dijadikan landasan berfikir para guru agar lebih bersemangat mengikuti diklat.

Ingat!. Perubahan besar selalu diawali dengan tulisan. Banyak sejarah yang telah menjadi saksi, perubahan sosial, politik, ekonomi, serta pendidikan banyak diawali dari gerakan menulis. Kata menjadi kalimat, kalimat menjadi konsep, konsep menjadi teori, teori menjadi disiplin ilmu. Sebuah perjalanan panjang dalam dunia ilmiah yang akan menjadi ruh dalam setiap perubahan. Penulis hebat pasti menjadi ikon penting dalam sejarah perubahan. Konstribusi penulis hebat akan selalu dikenang dan menjadi karya yang tidak terlupakan di setiap zaman, bahkan dalam dekade dan rentang waktu yang sangat panjang.

Jika saja seorang guru menyadari akan kebutuhan dan arti pentingnya menghasilkan publikasi ilmiah, maka tidak akan ada kata ogah atau malas untuk mengikuti diklat publikasi ilmiah. Bahkan dia akan dengan senang hati dan merasa bersyukur mendapat kesempatan langka untuk mengikuti diklat publikasi ilmiah tersebut, biarpun harus mengalami ketersiksaan dalam perjalanan seperti yang saya alami dan rasakan. Prinsipnya adalah bahwa apapun yang terjadi, sebagai seseorang yang telah mengikrarkan diri sebagai seorang pencinta dan pengemban ilmu pengetahuan (guru), maka kita harus sepenuh hati untuk nawaitu thalabul ilmi di manapun ilmu itu berada. Bukankah tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan? Bukankah tidak ada kemudahan tanpa kesulitan? Bukankah tidak ada ilmu pengetahuan tanpa niat dan tekad untuk mendapatkannya? Dan bukankah para bijak menyatakan “If we think can do the best, insya Allah we can do it”. Selanjutnya terserah Anda!

 

#KMAA#7

Tinggalkan Balasan