DALAM MENULIS; KEMAUAN BUKAN KEMAMPUAN

Terbaru34 Dilihat

DALAM MENULIS; KEMAUAN BUKAN KEMAMPUAN

Oleh : Nanda Candra Kirana

 

Saya teringat kata-kata ustaz waktu saya mondok di Pesantren Al-Husna Marindal Satu Deli Serdang, “Saya mengutamakan yang mau bukan yang mampu”. Beliau mengucapkan kata-kata itu sebagai motivasi bagi kami secara keseluruhan agar kami memiliki keberanian mengajukan diri untuk ikut serta dalam lomba pidato tiga bahasa tingkat kabupaten.

Kata-kata itu berhasil membakar semangat banyak santri. Puluhan orang mengajukan diri untuk ikut seleksi internal. Kata-kata itu juga menjadi bukti betapa kemauan adalah bahan bakar utama yang mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat. Orang hebat yang memiliki kemampuan yang amat baik pun tidak akan menghasilkan apa-apa bila dia tidak memiliki kemauan untuk berbuat.

Demikian pula kiranya dengan menulis. Kemauan adalah faktor mendasar dan besar untuk seseorang bila ia ingin mampu menulis. Karena kemauanlah yang akan mengundang kemampuan bukan sebaliknya.

Kemauan yang kuat akan mampu meruntuhkan ragam penghambat bagi seseorang untuk mencapai target yang ia inginkan. Di dunia ini, seluruh kesuksesan pasti mendapat banyak hambatan awalnya. Maka, hanya orang-oarang yang berkemauan kuat yang mampu bertahan hingga sampai pada tujuan.

Bicara tentang kemampuan, seseorang yang sudah punya kemauan tinggal mengatur strategi untuk meningkatkan potensi. Kemampuan itu tidak melulu tentang bakat. Kemampuan lebih sering terkait dengan latihan dan kerja keras. Apapun kemampuan yang anda ingin miliki anda harus sering melatih diri untuk bisa memilikinya.

Kembali pada pengalaman pribadi, saya termasuk orang yang berkebutuhan khusus (penyandang disabilitas). Saya tergolong tuna laras; tangan kiri saya lumpuh sejak saya berusia satu tahun. Saat duduk di bangku SD, saya berkeinginan untuk bisa mengendarai sepeda. Awalnya ibu saya ragu karena khawatir kalau nantinya saya akan lebih sering terluka karena jatuh.

Ini tentang kemauan. Saya mau, itu intinya. Diam-diam saya sering meminjam sepeda teman untuk belajar. Ya, saya sering terjatuh seperti yang ditakutkan ibu. Saat pulang dengan luka di tangan atau di kaki, ibu pasti marah. Marah sebagai tanda sayang pastinya. Alhasil, saya bisa mengendarai sepeda. Saat ibu melihat itu, tanpa diminta ia membelikan saya sepeda baru.

Saat duduk di bangku SMA pun demikian, saya ingin bisa  mengendarai sepeda motor. Kali ini sangat berbeda. Karena orangtua sudah melihat bukti bahwa kemauan mampu menafikan kekurangan untuk memiliki kemampuan. Ayah saya sendiri yang mengajari saya mengendarai sepeda motor. Dan saya bisa mengendarainya meski dengan satu tangan yang berfungsi normal.

Itulah bukti kekuatan kemauan yang saya rasakan sendiri. sampai sekarang ilmu ini saya gunakan juga. Jika akan membawa peserta didik mengikuti lomba, saya akan bertanya ke mereka siapa yang mau bukan siapa yang mampu. Karena kemampuan bila terus diprioritaskan akan melahirkan kesombongan.

Tinggalkan Balasan