Beri Aku Waktu (5)

KMAC#5  “Iya, barang akan kami kirimkan dua hari setelah pembayaran kami terima. Mohon maaf atas keterlambatan ini. Karena ini saya masih di luar kota, mungkin rekan saya yang nanti akan menemui bapak”, kata Budi lewat smartphonenya pada seseorang di seberang sana.

“Ha..ha..Oke, pak . Terima kasih sebelumnya, nanti akan saya sampaikan pada bos saya. Silakan ditunggu ya, pak. Untuk tagihan selanjutnya akan saya konformasikan dulu ke bagian akunting. Mungkin …dalam tiga hari ke depan akan saya kirim lewat email”, lanjutnya  sambil tertawa. 

Budi, anakku memang begitu pembawaannya. Rajin bekerja. Dalam keadaan sakitpun saat seperti ini, dia masih bekerja. Melakukan transaksi jual atau menawarkan barang dagangan lewat gadgetnya. Memang zaman sekarang transaksi ataupun pembayaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja oleh siapa saja. Begitu mudahnya era digital ini. tidak seperti zaman mudaku dulu. semuanya harus lewat prosedur dan lama. Sekarang tinggal klik, langsung OK selesai. Tiba-tiba pintu ruangan terkuak.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Halo, Mama. Mama sama siapa ke sini?” jawab Asih kakak Budi, sulungku.

“Itu sama Lusi.” jawabku.

“Dimana Lusinya sekarang?”

“Baru nelpon di luar. Tadi Hari tanya sudah sampai di ruang Rajawali, apa belum? Soalnya kemarin Budi bilang dirawat di Kepodang. Jadi takutnya salah kamar.”

“Iya, Ma. Kemarin waktu persiapan kemo memang di ruang Kepodang. Masuk ruang Rajawali ini baru tadi pagi, ” jawab Budi ceria.

Diraihnya telapak tanganku dan diciumnya. Kuelus rambutnya lalu kucium pipi kanan kirinya dengan penuh cinta. Budi Heru, anak ragilku ini tak pernah menampakkan rasa sedih atau sakit pada wajahnya. Dia selalu tersenyum dan tertawa manakala ditanya tentang penyakitnya. Hampir tiga tahun lalu divonis kanker usus dan sudah menjalani pengobatan hampir dua tahun. Memang agak terlambat diagnosis kankernya karena dokter sebelumnya mendiagnosis ambein pada anus yang ternyata adalah kanker.

Berobat pada dokter sebelumnya hanya dikatakan kalau ada tumor yang tumbuh pada anusnya. Saat buang air besar feses akan bersentuhan dan bergesekan dengan permukaan tumor itu, sehingga saat buang air besar akan sakit dan mengeluarkan darah. Gejala inilah yang didiagnosis dokter ada tumor atau ambein pada rectum dan anusnya.

Namun perkembangan selanjutnya diketahui semakin membesar dan tumbuh keluar dari anus. Tentu saja menimbulkan rasa yang lebih sakit. Bahkah dudukpun tak terasa nyaman apalagi saat buang air besar. Maka Budi pun pindah dokter spesialis dan membawa rekam medis sebelumnya untuk diagnosa lanjutan yang lebih teliti.

Ternyata setelah pindah dokter dan konsultasi lebih intens diketahui adanya kanker pada ujung rectal yang berbatasan dengan anus. Inilah yang sering misdiagnosis antara ambeien dengan kanker. Untuk mempercepat penyembuhannya selain dengan kemoterapi juga harus dilakukan kolostomi yaitu memotong kolon dan dibuatkan lubang pengeluran (kolostom) untuk pembuangan feses.

Hari ini Budi kelihatan begitu bahagia. Mungkin karena aku dan anak-anakku yang lain berkumpul di sni. Meski tak ditunggu oleh Evi istrinya. Aku tak tahu seperti apa perasaannya, namun yang terlihat sekarang dia lebih baik dan lebih semangat saat menghadapi operasi kolostomi dibanding dua hari yang lalu ketika keluar dari ruangan Dokter Uut. Baginya, yang terpenting adalah kesehatannya, kesembuhan penyakitnya. Estetika ataupun biaya harus gonta -ganti kantong kolostom tidak masalah. Semangatnya untuk sembuh luar biasa. Dan ini semakin menambah sugestiku, dia akan sembuh, menjalani hari-hari dengan normal tanpa beban dan rasa minder. Doa akan selalu aku panjatkan di setiap sholatku, di setiap helaian nafasku.

bersambung…

Tinggalkan Balasan