Kata pengantar Dr. Ngainun Naim untuk buku Aku & Corona

Edukasi, Terbaru53 Dilihat

Nama lengkapnya Prof. Liek Wilarjo, Ph.D., D.Sc. Beliau merupakan Guru Besar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Spesialisasinya adalah fisika dan matematika, namun beliau juga meminati bidang-bidang lainnya seperti filsafat ilmu, etika, pendidikan sains, bahasa keilmuan, dan telaah lintas agama. Tahun 2009 beliau terpilih sebagai salah satu dari lima orang cendekiawan berdedikasi 2009 versi Harian Kompas. Pilihan terhadap Liek Wilardjo tentu tidak asal-asalan. Ada banyak parameter dan ukuran yang digunakan.

Dalam reportase di Harian Kompas terhadap sosok Prof. Liek Wilardjo, ada banyak pelajaran penting yang tetap relevan untuk menjadi bahan renungan kita hari ini, meskipun wawancara itu telah dilakukan pada tahun 2009. Saya menikmati bagian demi bagian dari reportase tersebut. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pendapat Prof. Like Wilardjo yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia ini potensinya sangat luar biasa, tetapi aktualisasinya sangat kurang. Tentu saja potensi besar ini tidak menunjukkan relevansinya bagi kemajuan bangsa ini. Potensi ini berhenti sebatas sebagai potensi belaka (St. Sularto, 2016: 35-40).

Potensi merupakan modal yang baru akan berfungsi jika diberdayakan. Jika dibiarkan, potensi itu akan berhenti sebatas sebagai potensi. Usaha-usaha serius untuk memberdayakan potensi ini diperlukan agar jangan sampai bangsa ini semakin terpuruk. Salah satu sebab bangsa ini semakin terpuruk adalah melemahnya civic duty atau kepedulian sosial. Orang semakin kurang peduli dengan orang lain. Konsentrasi hidupnya hanya untuk diri sendiri.

Memikirkan diri sendiri itu penting tetapi kita merupakan makhluk sosial. Relasi dengan orang lain juga merupakan aspek yang tidak boleh lepas dari kehidupan kita. Pada titik inilah penting untuk membangun paradigma kebajikan dalam diri kita. Ya, mari kita menekankan dalam otak kita untuk terus melakukan kebajikan. Kebajikan dalam bentuk apapun dan dalam ukuran seberapa pun. Substansinya adalah kebajikan itu sangat penting dalam kehidupan kita.
Saya membayangkan betapa indahnya kehidupan ini jika sehari-hari sarat dengan nilai-nilai kebajikan, meskipun sesungguhnya ini mustahil. Dunia ini isinya aneka warna yang semuanya terus tumbuh dan berkembang secara dinamis. Namun kebajikan harus terus dilakukan. Bentuk kebajikan yang bisa kita lakukan sangat beraneka macam, bisa dalam bentuk materi atau non-materi. Tulisan itu juga aktualisasi kebajikan. Tulisan memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembacanya. Menulis sebagai kebajikan sesungguhnya bukan persoalan mudah. Banyak orang ingin bisa menulis tetapi keinginan itu sebatas sebagai keinginan saja. Pada titik inilah buku ini—menurut saya—merupakan buku yang sarat dengan nilai-nilai kebajikan.

Buku ini unik. Guru dan siswa berkolaborasi. Sungguh perpaduan dan kolaborasi yang bisa dijadikan model dalam dunia literasi. Saya kira jarang ada buku semacam ini. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi guru. Potensi literasi siswa itu luar biasa. Jika guru tidak berkarya ia bisa tertinggal dari siswanya.

Berkaitan dengan kebajikan, saya teringat dengan tulisan bijak Awang Surya (2011: 64). Motivator, pendakwah, dan penulis tersebut menyatakan bahwa kualitas seseorang bisa dilihat dari apa yang diberikan kepada orang lain. Tong sampah tidak akan memberikan apa-apa kepada lingkungannya kecuali sampah dan bau busuk. Sebotol minyak wangi tidak akan memberikan sesuatu kecuali bau harum. Nah, tulisan itu bisa kita ibaratkan sebagai sebotol minyak wangi. Tulisan—tentu yang baik-baik—akan memancarkan dan memberikan pengaruh positif kepada orang lain. Tulisan yang berisi kebaikan niscaya juga akan memancarkan kebaikan pula secara luas.

Daftar kebaikan yang bisa kita lakukan tidak terhitung jumlahnya. Melakukan kebaikan akan menumbuhkan ketenangan diri, ketenteraman jiwa, dan kebahagiaan. Ajaran agama menekankan pentingnya kebaikan. Kebaikan dalam ajaran Islam bisa dianalogikan dengan multi level marketing di mana semakin banyak orang yang bergabung dan menjadi anggota (down line) maka akan semakin banyak keuntungan orang yang pertama kali mengajak (up line). Kata Wijayanto (2006: 141), dengan mengutip hadis, ”Barangsiapa yang menunjukkan sebuah kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak orang yang mengikuti atau mengamalkan kebaikan tersebut”. Siapa yang memfasilitasi, mendukung, memberikan sarana untuk orang berbuat baik maka ia memperoleh juga pahala kebaikannya. Dengan kata lain orang yang mengajak orang lain bergabung dalam ”market kebaikan” maka orang yang mengajak tersebut akan mendapatkan kemanfaatan yang terus-menerus.
Satu contoh kebaikan sederhana saya temukan di rubrik Gagasan Harian Jawa Pos edisi hari Jumat, 4 Oktober 2013. Suyud Budi Utomo menulis di rubrik tersebut dengan judul, ”Kebaikan Kecil di Jalan”. Pada tulisannya Suyud menceritakan tentang bagaimana beliau mengingatkan pengendara motor di depannya yang tas punggungnya terbuka. Begitu diingatkan, pemuda pengendara motor di depannya itu segera menutup tas punggungnya. Setelah itu, dia mengucapkan terima kasih kepada Suyud.
Kisah tersebut mungkin tidak istimewa. Siapapun bisa melakukannya. Anda dan saya mungkin juga pernah melakukannya. Tetapi kisah sederhana tersebut menurut saya memiliki kekuatan moral yang penting sekali. Substansinya adalah membiasakan melakukan kebaikan, sekecil apa pun itu.

Buku ini semoga menjadi kebaikan yang akan menyebarkan energi kebaikan kepada masyarakat luas. Pandemi bukan untuk disesali tetapi digali energinya untuk melakukan kebajikan. Buku ini contohnya. Selamat membaca dan sukses selalu.

Tinggalkan Balasan

1 komentar