Pengalaman Mengelola Taman Bacaan

Sekitar 49 tahun lalu di Mandai, pinggiran kota di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan — waktu itu belum masuk pemekaran wilayah Kota Makassar yang masih bernama Kota Ujungpandang — saya tenggelam bersama buku-buku bacaan dan buku inpres.
 
Buku tersebut didrop ke ruang kantor ayah saya, Haji Muhammad Bakri Puang Boko di P&K (sekarang Diknas) Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Saat itulah muncul kegemaran saya membaca apa saja, termasuk saat itu majalah “Kuncung”, buku-buku serial petualangan.
 
Perpus Nur Terbit
Perpustakaan pribadi di rumah, sebagian warisan dari taman bacaan yang sudah bubar (foto Nur Terbit)

 

Karena sering membaca tulisan di buku-buku tadi, menghilhami tulisan cerita anak-anak yang saya buat kemudian dimuat di koran tertua di Indonesia Timur, kini sdh almarhum yakni PEDOMAN RAKYAT.
 
Kegemaran membaca ini berlanjut hingga ke bangku kuliah di Institut Agama Islam Negeri-IAIN (kini Universitas Islam Negeri-UIN) Alauddin Makassar.Bahkan hingga sekarang, dalam mengisi hari-hariku sebagai jurnalis di Harian Sore TERBIT.
 
Namun sejak Februari 2014, sudah pensiun dini karena koran sore grup Pos Kota tersebut dijual oleh pemiliknya dan kami semua wartawan dan karyawan terima pesangon seadanya.

Dari dulu, memang obsesi saya ingin punya perpustakaan sendiri, dimana orang sekitar saya bisa dengan mudah memperoleh bacaan. Ya semacam taman bacaanlah. Sekarang setelah 49 tahun kemudian (2009), obsesi tersebut baru bisa saya wujudkan.

Itupun harus memanfaatkan bekas garasi rumah di Wisma Jaya, Bekasi Timur, Kota Bekasi, yang sudah lama kosong — karena memang tidak punya mobil — yang disulap jadi perpustakaan mini sekaligus merangkap taman bacaan.
 
Perpus Nur Terbit
Taman bacaan di garasi sebelum bubar (foto dok Nur Terbit)
 
Koleksi bukunya masih sedikit karena memang hanya mengandalkan koleksi pribadi. Baik yang dikumpulkan dari hasil pembelian di toko buku, pameran buku murah, bazaar buku langka, juga diperoleh karena rajin menghadiri acara peluncuran buku baru dan bedah buku.
 
Yang disebut terakhir ini, jelas diperoleh secara gratis, cuma-cuma, langsung dari penerbit dan pengarangnya.

Untuk menambah wawasan saya mengenai bagaimana mengelola taman bacaan, atau lebih luas lagi mengelola perpustakaan untuk umum, saya juga “bela-belain” datang ke setiap seminar, workshop, diskusi tentang perpustakaan. 

Di antaranya yang diselenggarakan penerbit Kompas Gramedia, Ikapi, Perpustakaan Nasional, di antaranya yang pernah digelar di Istora Senayan, JICC, bahkan saya hadir sebagai peserta Dialog Nasional Soal Perpustakaan yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional di Hotel Borobudur Jakarta.

Saya yakin, nantinya koleksi buku di taman bacaan mini ini — nama kerennya: TAMAN BACAAN MASYARAKAT RAIHAN — akan bertambah seiring adanya perhatian, respon, partisipasi dan bantuan, sumbangan secara sukarela dari teman-teman (salah satunya dari melalui jejaring sosial seperti twitter, blog, facebook).

Obsesi itu, pelan tapi pasti, kini mulai terwujud dan membuahkan hasil. Saya sekarang bersama istri dan anak-anak, dibantu warga kompleks perumahan, memulai dengan program KAMPANYE GEMAR MEMBACA, sekalipun agak terlambat memang.

Tapi sungguh, ini saya harus akui, adalah merupakan langkah kemajuan yang drastis, bombastis, dalam kehidupan saya. Yuk…rame-rame membaca. Terima kasih.

Perpusnas Nur Terbit
Tumpukan buku di Perpustakaan pribadi di rumah, sebagian warisan dari taman bacaan yang sudah bubar (foto Nur Terbit)
Tapi itu dulu, ketika tulisan ini saya posting di blog pribadi nurterbit.blogspot.com yang sudah almarhum itu yang dimuat pada 010509.
 
Kini blog tersebut sudah diambil kembali pengelolaannya oleh Google karena lama dianggurin hehehe… tidak bisa lagi masuk sebagai admin, kecuali hanya sekedar dibuka untuk dibaca.
 
Begitu juga dengan taman bacaan yang saya ceritakan di atas.  Dari awal banyak dikunjungi oleh tetangga dan orang tua murid Taman Kanak-kanak (TK). Kebetulan taman bacaan tersebut memang tak jauh dari sekolah TK yang kami kelola bersama isteri. Buku koleksi perpustakaan banyak dipinjam.
 
Sayangnya sebab umumnya peminjam buku di perpustakaan ini seperti datang ke kantor koperasi simpan pinjam.  Pinjamnya rajin tapi memulangkan bukunya malas hehehe… Akhirnya taman bacaan ini bubar dengan “sukses”.
 
Sebagian dari buku-buku yang masih tersisa dari taman bacaan yang sudah tutup tersebut, kini menemani koleksi buku lainnya di perpustakaan pribadi saya di rumah. Itulah sedikit pengalaman saya mengelola taman bacaan.  Terima kasih. Salam Literasi
 
#NurTerbit #TamanBacaan #KMAA-7
 

Tinggalkan Balasan