Kata Terakhir Ayahku

Terbaru43 Dilihat

Air mata selalu mewakili perasaan. Air mata selalu mengerti dengan perasaanku. Tanpa ku ungkapkan apa yang aku rasakan ia selalu hadir ketika ayahku yang telah tiada hadir dalam ingatanku. Baik melalui kenangan bersamanya maupun melalui sesuatu yang ditinggalkannya.

Sabtu pagi ini, aku masuk ruang sholat untuk melaksanakan kewajibanku yakni sholat subuh. Pandanganku setiap masuk ruang sholat selalu ku arahkan pada peninggalan ayahku yakni kain sarung yang selalu dikenakan waktu ayahku sholat. Kain sarung warna biru kesayangan ayahku. Satu merk kain yang paling disukai yakni sarung tenun merk sinar dunia. Kain sarung itu aku tambatkan di pintu ruang sholat. Begitu aku masuk, sarung itu selalu ku cium seraya aku memanjatkan Suratul Fatihah untuk ayahku.

Aku awali pagiku dengan memanjatkan doa untukmu Ayah,

Aku kirimkan bacaan Suratul Yasin untukmu Ayah, di setiap pagiku. Hari Sabtu merupakan hari yang berbeda bagiku. Aku jadikan hari Sabtu merupakan hari yang istimewa bagiku. Hari yang penuh kenangan. Hari terakhirku  bersama ayahku. Hari dipanggilnya ayahku menghadap ke Ilahi Rabbi. Bagaimana ayahku menunggu saat-saat terakhirnya aku saksikan bersama semua adikku. Tak sedetik pun terlewatkan dari pandangan mataku. Detak jantung ayahku yang perlahan-lahan melemah pada sabtu pagi itu, masih dalam ingatanku. Napas  turun naik di dada ayah yang perlahan-lahan naik ke leher semakin melemah dengan jark turun naiknya yang semakin lama, maka tangis kami pecah saat itu. Ayahku menunduk tidak lagi mampu menegakkan kepalanya.

Kata terakhir ayahku.

Ayah melihatku  berpakaian rapi dan memikul tas ransel. Ayahku yang terbaring lemah melirik ke arah pintu dan melihatku menuju ke arahnya. Ayah bertanya dengan nada yang lemah. ” Kamu mau kemana?”

Aku duduk di samping ayahku sambil mengusap mukanya, mengelus-elus alisnya seperti aku mengelus-elus alisnya ketika susah tidur.  Ayahku biasanya akan tertidur  apabila aku mengelus-elus alisnya, mengusap mukanya, dan mengusap dahinya.

Aku menjawab pertanyaan ayahku,”Mau sekolah, Yah! Kalau ayah ijinkan. Kalau ayah mau aku di sini bersama ayah, maka aku tidak akan berangkat sekolah. Kegiatan sekolah nanti aku serahkan kepada teman-temanku.”

Hari itu merupakan hari libur kenaikan kelas. Ada kegiatan sekolah penggerak yang dilaksanakan di sekolah, maka semua teman-teman masuk seperti biasa.

Dengan pelan ayahku menjawab,” Tidak usah berangkat sekolah, Nak! Diam saja di rumah.”

Aku mengikuti permintaan ayahku. Aku menurunkan tas ransel yang ada dipunggungku lalu ku taruh di ruang sebelah, Ruang yang biasa aku gunakan untuk mengerjakan tugas sekolah sembari menunggu ayahku. Dari ruangan itu aku bisa mengontrol keadaan ayahku dan ayahku  juga bisa sesekali melirik ke arahku dari tempat tidurnya. “Sudah selesai pekerjaanmu.” terkadang pertanyaan itu ku dengar ketika aku berlama-lama meninggalkan ayah demi sebuah letop yang ada di hadapanku.

Waktu yang aku sesali. Aku lebih memilih pekerjaanku saat itu daripada duduk di samping ayahku yang hanya menunggu hari kepulangannya ke hadapan Illahi Rabbi.

Itulah kata terakhir ayahku,” Jangan pergi, Nak! Diam saja di rumah.”

Kata terakhir ayahku untuk adikku bungsuku yang baru saja pulang dari sekolah pada saat ayahku kondisinya kritis, saat ayahku sudah dikelilingi oleh ibuku dan adik-adikku diiringi lantunan suratul Yasin dari keluarga, ” Kamu dari mana, Nak!”

Dengan tangis, adikku  menjawab,”Dari sekolah, Yah!”

Ayahku menggangguk setelah mendengar jawaban adikku. Itulah anggukan terakhir ayahku yang tidak lagi bisa mengangkat atau menegakkan kepala. Keringat keluar dari dahi ayahku. Ayahku tidak merespon lagi. Adikku yang baru saja pulang langsung memeluk ayahku dan menyandarkan ayah di dadanya.
Tangis pecah ketika pamanku datang dan mengecek nadi  di pergelangan tangan ayahku. Pamanku menangis tak kuat berkata-kata. “Bagaimana ayah, Man? Bagaimana Ayah……

“Ayahmu sudah meninggalkan kita.”

Kata terakhir ayahku di hari Sabtu.

Andai  aku tahu, itu kata terakhir ayahku, …………

Tinggalkan Balasan

1 komentar