Menyimak Sepenggal Serat Centhini

Selamat siang sobat,

Kemarin (Senin, 12/12/2022), seperti biasa saya melihat lihat akun Facebook saya terutama di bagian memories yang mengungkap status status saya yang pernah saya tulis di tanggal 12 Desember namun di tahun yang berbeda.

Kemudian saya mendapat sebuah status di tahun 2015 tentang penggalan dari Serat Centhini, tembang 28 s/d 44 pupuh 257 buku jilid IV.

Saya sempatkan untuk membacanya kembali dengan seksama. Menurut saya, penggalan dari serat Centhini ini seperti menggambarkan situasi di era sekarang ini. Luar biasa ..

Padahal seperti yang saya baca pada portal cnnindinesia.com (Minggu, 06/06/2021) mengulas bahwa Serat Centhini ini merupakan buku kesusastraan Jawa yang aslinya bernama Suluk Tembangraras. Buku ini ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat oleh tiga punjangga dari Kerajaan Surakarta yakni Ranggasutrasna, Yasadipura II, dan R. Ng. Sastradipura.

Buku yang selesai ditulis pada 1823 ini terdiri dari 4.000 halaman, disusun dalam 12 jilid. Halaman-halaman dalam Serat Centhini berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita, ilmu-ilmu kebatinan dan pengetahuan lain yang hidup di kalangan masyarakat Jawa pada abad 16-17.

Artinya buku dari Serat Centhini ini sudah ada sejak tahun 1823.  Namun isinya seperti bisa melihat ke masa depan, tak seperti haknya ramalan Joyoboyo.

Bila sobat penasaran dari apa yang saya tuliskan penggalan Serat Centhini di status Facebook saya di tahun 2015, berikut ini, kembali saya tuliskan di artikel ini :

***

Tembang 28 s/d 44 pupuh 257 Serat Centhini jilid IV :

-Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.

Artinya: Para pemimpinnya berhati jail, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.

-Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.

Artinya : Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.

-Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.

Artinya : Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin ber-aneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.

-Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.

Artinya : Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan/perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.

-Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.

Artinya : Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.

-Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.

Artinya: Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram dihati.

-Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar
silastuti titi tata.

Artinya : Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.

-Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.

Artinya : Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.

-Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak cakrak.

Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.

-Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.

Artinya : Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.

-Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.

Artinya : Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda2 yang tersembunyi dalam peristiwa ini. (kelihatanya ini adalah ungkapan hati pembuat tembang ini).

-Anaruwung, mangimur saniberike, menceng pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.

Artinya : Berupaya tanpa pamrih.

-Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang
mangkono yen niteni lamampahan.

Artinya : Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan (peringatan dari R.Ng. Ranggawarsita).

-Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.

Artinya : Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.

– Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.

Artinya : Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.

– Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.

Artinya : Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).

-Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.

Artinya : Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.

***

Semoga bermanfaat.

Sobat, saatnya saya undur diri.

Selamat beraktivitas ..

Salam sehat ..

 

NH

Depok, 13 Desember 2022

Tinggalkan Balasan