Belajar pentigraf dari pentigrafis sangat mengasyikkan ketimbang belajar sendiri, berselancar di dunia maya. Alih-alih mendapat pengetahuan yang baik dan benar, boleh jadi malah memperoleh informasi yang tidak benar tentang menulis pentigraf. Jadi, ketika grup penulis Rumah Virus Literasi membagikan flyer undangan pertemuan Zoom segera saya mendaftar. Pertemuan itu bertajuk Rahasia Menulis Pentigraf yang Memukau yang dikemas dalam acara Seri Berbagi Rumah Virus Literasi.
Pembicara pertama, bapak Moech. Mudhofar, S.Th.I dari SMPN 41 Surabaya. Beliau memaparkan tulisan pertamanya yang dibuat pada 18 Oktober 2020 berjudul Bayi Menetek.
Tulisan yang ia buat itu, menjadi salah satu contoh pentigraf yang harus diperbaiki. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun pentigraf:
Pertama, jumlah kata paling banyak 210 kata. Tulisan dengan jumlah kata sebanyak itu setara dengan tulisan satu halaman kertas kuran A5, kata Usdhof (nama pena Moech. Mudhofar).
Kedua, jangan banyak menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal (-nya). Perhatikan kalimat-kalimat pada paragraf kedua tulisan Ustadz Moech Mudhofar.
Ketiga, membatasi dialog. Artinya, jangan banyak menggunakan kalimat langsung. Jika terpaksa menggunakan, lanjutkan dengan kalimat deskripsi.
Keempat, layaknya cerpen, pentigraf pun memiliki konflik. Penulis dapat memilih penyelesaian langsung atau menggantung. Meskipun begitu, pentigraf harus selesai. Jadi, tidak ada pentigraf bersambung.
Kelima, paragraf ketiga mengandung twist. Twist pada paragraf ketiga adalah sesuatu yang “mengejutkan”. Dapat digambarkan dengan kalimat, “O, ternyata begitu.”
Pentigraf Harus Bermakna
Pada awal tulisan ini saya katakan bahwa berselancar di internet mencari informasi tentang pentigraf dapat saja memperoleh informasi yang tidak benar tentang menulis pentigraf. Narasumber mengatakan bahwa ditemukan penjelasan yang mengatakan pentigraf itu ditulis dengan rumus 7-3-9. Artinya, banyak kalimat pada paragraf pertama adalah 7 kalimat, paragraf kedua 3 kalimat, dan paragraf ketiga 9 kalimat.
Menurut bapak Febry Suprapto, Instruktur Nasional Media Guru, penjelasan tersebut “menyesatkan”. Tidak seperti itu aturannya. Aturan penulisan pentigraf yang sudah dipaparkan oleh Usdhof di atas, dipertegas oleh bapak Febry bahwa pentigraf juga harus bermakna atau memiliki arti (meaningful). Ada pesan kebaikan atau pembelajaran dalam kehidupan. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan dalam satu paragraf hanya terdiri dari satu kalimat, asalkan mendukung kebermaknaan pentigraf.
Pada sesi tanya jawab, beberapa peserta mengajukan pentigraf yang sudah dibuatnya untuk dikomentari. Hal yang banyak disorot dari beberapa contoh yang diajukan (termasuk punya saya) adalah belum terlihat adanya konflik pada tokohnya.
Sedang asyik-asyiknya menyimak komentar narasumber terhadap pentigraf yang saya ajukan, tiba-tiba lampu listrik padam. Laptop yang biasanya bisa menyimpan arus, sejak siang tadi padam jika kabel pengisi daya dicabut. Padahal, indikator baterai terlihat penuh. Alhasil, saya tidak bisa mengikuti sesi yang sangat saya tunggu-tunggu itu. Saya pun harus kecewa untuk kedua kalinya, ketika lampu menyala setelah lima belas menit padam, pertemuan Zoom sudah berakhir.
Mahasiswa Berkerudung Ungu
Bermodalkan mengamati pentigraf pada beberapa website, saya pernah mencoba membuat pentigraf. Secara typografi, cerpen itu terdiri dari tiga paragraf, memenuhi syarat dari segi bentuk. Pentigraf itu berjudul “Mahasiswi Berkerudung Ungu”. Setelah mendengar dan membaca contoh-contoh yang diberikan, pentigraf itu saya rombak.
Setelah memangkas sejumlah kata sehingga jumlahnya tidak lebih dari 210 kata, tulisan itu saya kirimkan ke grup untuk dikomentari oleh sang ahli. Berikut pentiraf yang saya ajukan, lalu bentuk perubahan yang disarankan.
Mahasiswi Berjilbab Ungu
Sudah setahun Amir indekos di rumah Pak Oji, pensiunan guru sahabat ayahnya. Amir tidak tahu, peristiwa apa yang menyebabkan orang tuanya dengan Pak Oji akrab dan bersahabat. Yang ia tahu, Pak Oji adalah guru SMP pemilik kamar kos di kota, ketika ia datang ke rumahnya sebelum Amir tamat SMP.
Pak Oji mempunyai cucu seorang gadis kecil bernama Mala. Mala baru naik ke kelas empat ketika Amir mulai tinggal di rumah itu. Mala selalu minta ajari kakeknya jika ada PR dari gurunya. Seperti sore itu, Mala meminta kakeknya mengajari PR matematika tentang pecahan. Namun, karena kurang enak badan, sang kakek menyuruh Mala belajar dengan Amir tetapi Mala menolak. Bahkan, setengah berteriak ia menolak belajar dengan Amir. Suara keras Mala terdengar hingga kamar Amir. Amir hanya tersenyum kecut, “Gak mau ya sudah, belajarku malah tidak terganggu!”
Sembilan tahun berlalu. Amir sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang, Bandung. Ketika ia mengajar, matanya beradu dengan seorang mahasiswi berjilbab ungu. Raut wajah itu mengingatkannya pada seorang anak SD, cucu bapak kosnya. Tetapi ia tidak yakin. Namun, ketika melihat lembar presensi, tereja sebuah nama, Nunung Komalasari. “Apakah ia Mala yang dulu itu?” Tiba-tiba dosen lajang itu hatinya bergetar. Ada sesuatu dalam hatinya yang sulit ia ungkapkan.
Tanggapan Narasumber
Setelah tulisan hasil revisi itu saya ajukan, sang narasumber pun memberi tanggapan.
“Konflik batin,” tulis pak Dhofar sambil menyematkan emotikon senyum di kulum.😊
Selanjutnya, ia pun memberi saran. Katanya, “Kejutan bisa dibuat memanggil saat absensi dengan kalimat langsung.”
Paragraf ketiga pun saya ubah menjadi:
Sembilan tahun berlalu. Amir sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang, Bandung. “Nunung Komalasari!” Amir memanggil sebuah nama. Matanya beradu dengan seorang mahasiswi cantik berjilbab ungu. Raut wajah itu mengingatkannya pada seorang anak SD, cucu bapak kosnya. Tetapi ia tidak yakin. Namun, ketika mengeja ada nama Mala di sana. Apakah ia Mala yang dulu, tiba-tiba hati dosen lajang itu bergetar. Ada sesuatu dalam hatinya yang sulit ia ungkapkan.
Setelah perbaikan itu saya ajukan, kembali sang narasumber memberi tanggapan.
“Mantul … kalimat “apakah ia Mala yang dulu” bisa disembunyikan. Artinya, dihapus. Bisa dirasakan lebih menggugah rasa. Betul, tidak?”
“Benar juga,” kata saya dalam hati.
Pentigraf “Mahasiswi Berjilbab Ungu” Setelah Diperbaiki
Mahasiswi Berjilbab Ungu
Sudah setahun Amir indekos di rumah Pak Oji, pensiunan guru sahabat ayahnya. Amir tidak tahu, peristiwa apa yang menyebabkan orang tuanya dengan Pak Oji akrab dan bersahabat. Yang ia tahu, Pak Oji adalah guru SMP pemilik kamar kos di kota, ketika ia datang ke rumahnya sebelum Amir tamat SMP.
Pak Oji mempunyai cucu seorang gadis kecil bernama Mala. Mala baru naik ke kelas empat ketika Amir mulai tinggal di rumah itu. Mala selalu minta ajari kakeknya jika ada PR dari gurunya. Seperti sore itu, Mala meminta kakeknya mengajari PR matematika tentang pecahan. Namun, karena kurang enak badan, sang kakek menyuruh Mala belajar dengan Amir tetapi Mala menolak. Bahkan, setengah berteriak ia menolak belajar dengan Amir. Suara keras Mala terdengar hingga kamar Amir. Amir hanya tersenyum kecut, “Gak mau ya sudah, belajarku malah tidak terganggu!”
Sembilan tahun berlalu. Amir sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Kota Kembang, Bandung. “Nunung Komalasari!” Amir memanggil sebuah nama. Matanya beradu dengan seorang mahasiswi cantik berjilbab ungu. Raut wajah itu mengingatkannya pada seorang anak SD, cucu bapak kosnya. Tetapi ia tidak yakin. Namun, ketika mengeja ada nama Mala di sana. Tiba-tiba hati dosen lajang itu bergetar. Ada sesuatu dalam hatinya yang sulit ia ungkapkan.
Salam literasi, semoga bermanfaat.
PakDSus