Partai Politik Islam Era Reformasi

Kategori:

Deskripsi

Partai Politik Islam Era Reformasi

Kepengarangan : Tumpal Daniel S

Sinopsis

 

Prabowo Subianto

Partai Bulan Bintang resmi mendeklarasikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto

sebagai calon presiden (capres) 2024 pada Milad ke 25 PBB Ahad 30 Juli 2023. Prabowo menyebut banyak kesamaan antara dirinya dengan PBB. Dia pun mengotak-atik angka yang diklaim menemukan kecocokan. Seperti misalnya tanggal lahir PBB yang jatuh pada 17 Juni. Menurut Prabowo, angka 1+7 menjadi 8, angka yang melekat dengan dirinya. Selain itu, Prabowo menyebut dirinya dulu memimpin Batalion 328 yang diklaim sebagai batalion terbaik di TNI. Menurut Prabowo, jumlah 3+2+8 jika dijumlahkan akan menjadi bilangan 13, angka yang merupakan nomor urut PBB di Pemilu 2024.”Jadi ada 8 ada 13, tidak mengherankan kalau saya di tengah PBB merasa nyaman.

‘Bahkan dulu ada yang bilang PBB itu Partai Buatan Bowo’,

kata Prabowo disambut dengan teriakan kader PBB…’Prabowo Presiden…’

Pengantar

Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono

Presiden RI ke 6

Prolog

Sukmo Harsono, S.E, M.M

Duta Besar RI untuk Panama dan Kosta Rika

TUMPAL DANIEL S

Indonesia Butuh Parpol  Islam Kuat

Walaupun PDIP dan partai nasionalis lain memimpin dalam perolehan suara selama pemilu di era reformasi dan trend menurun dukungan masyarakat Indonesia kepada partai politik Islam atau partai berbasis ummat Islam terus menurun, tidak berarti kekuatan formal politik Islam sudah berakhir masa kejayaannya. Nyatanya selama reformasi lebih dua dekade kekuatan politik Islam dan Islam politik tetap bertahan dan terus berperan. Kalau kita bicara  politik, atau politisi dan aktivis Islam, itu tidak hanya yang berkumpul di partai politik Islam atau berbasis ummat Islam, melainkan juga tersebar pada partai-partai nasionalis.

 

Para politisi Islam dengan bendera partai politik Islam atau berbasis ummat Islam juga berperan besar  dalam proses pengambilan keputusan di parlemen dan di pemerintahan – pusat dan daerah. Contoh konkrit aspirasi Islam itu eksis dapat dilihat dari fenomena kelahiran ‘Perda Syariat’ di banyak Daerah   Tingat Provinsi dan Kabupaten/Kota,termasuk juga proses perundang-undangan dan kebijakan strategis lainnya di tingkat nasional.

 

Berbicara  representasi Islam dalam politik di Indonesia tidak bisa disederhanakan hanya para politisi yang berada di partai Islam atau partai berbasis ummat Islam. Hal ini dikarenakan sejak kelahiran negara Indonesia, bahwa kekuatan politik Islam dan nasionalis adalah nyata. Dokumentasi sejarah saat – saat perumusan kelahiran Negara Republik Indonesia tercatat dan menjadi memori kolektif yang terpelihara hingga kini.  Bagaimana perdebatan dan konsep pilihan bernegara, Islam atau nasionalis di sidang-sidang BPUKI sejak awal Mei hingga Juli 1945. Tentang rumusan Jakarta Charter istilah Muhammad Yamin untuk menyebut Piagam Jakarta yang monumental dalam sejarah republik ini pada 22 Juni 1945 yang menjadi kesepakatan founding father bangsa untuk membentuk negara. Bahkan saat pencoretan 7 kata pada Piagam Jakarta yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 saat disahkan pada 18 Agustus 1945. Semuanya ini menjadi tonggak dalam kesejarahan Republik Indonesia, bahkan bagi para poltisi Islam di bawah partai Islam, tonggak-tonggak sejarah tersebut dijadikan spirit perjuangan yang tertuang dalam manifesto ideologi partainya.

 

Demikian pula pada wilayah Islam politik yang diperankan oleh tokoh-tokoh Islam non partai politik, telah menunjukan pengaruh besarnya pada proses politik nasional dan lokal. Misal pada Aksi 212 yang mampu mengumpulkan lebih 10 juta massa di lapangan Monas dan berlanjut menjadi penentu pada kemenangan pilkada DKI Jakarta, yang menurut pengamat sebagai ajang adu kuat politik Islam dengan politik kekuasaan dan peran oligarkhis yang ada di beakangnya. Peristiwa Aksi 212 , pada kalangan politisi nasional dan sekuler, peristiwa ini menjadi momok akan kekhawatiran ‘Politik Identitas’ menjadi ancaman nasional. Sedangkan pada kalangan Islam, bahwa peristiwa Aksi 414 kemudian berlanjut kepada 212 adalah pembuktian bahwa Islam politik  menjadi kekuatan dalam pergulatan politik Indonesia saat ini dan ke depan.

 

Yusril Ihza Mahendra setelah Pemilu 1999 dalam diskusi “Evaluasi dan Agenda Peran Masa Depan Ummat Islam Dalam Peta Politik Indonesia”,yang diselenggarakan Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Jakarta di bulan April 1999. Menurut Yusril,proses politik merupakan sesuatu yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir. Sebuah kekuatan bisa saja timbul dan tenggelam, di zaman orde baru Golkar selalu menang pemilu,tidak berarti PPP dan PDI berakhir. Yusril berpendapat,kemenangan PDIP pada Pemilu 1999 disebabkan partai itu memperoleh keuntungan psikologis dalam momentum pemilu,yakni menjadi simbol partai politik yang melawan orde baru. Andaikata pemilu dilangsungkan enam bulan setelah peristiwa “Tanjung Priok”,kata Yusril kemungkinan besar partai Islam yang memenangkan pemilu.

 

Lebih lanjut Yusril mengatakan,sekalipun PDIP memimpin dalam perolehan suara,itu tidak berarti partai itu bisa mengklaim memenangkan peperangan. Tanpa bantuan partai-partai lain PDIP tidak bisa berbuat apa-apa. Hal serupa dialami saat Golkar memenangkan pertempuran bukan berarti memenangkan peperangan,karena peperangan baru terjadi dalam Sidang Umum MPR.

 

Pernyataan Yusril ini memang terbukti pada Sidang Umum MPR RI 1999, bahwa tokoh-tokoh nasionalis mampu dikalahkan pada peperangan sesungguhnya dalam mensasar kedudukan politik untuk menguasai politik kenegaraan sesungguhnya. Jabatan presiden dimenangkan KH.Abdurahman Wahid (Gus Dur) karena dibangun koalisi partai berbasis ummat Islam (PPP,PKB,PAN,PBB,PK) mengalahkan pemenang Pemilu 1999 yaitu PDIP dan Golkar. Begitupula kursi Ketua MPR RI diperoleh Amin Rais sebagai akibat solidnya koalisi ummat di lembaga tertinggi negara yakni MPR.

 

Menurunnya perolehan suara yang diraih politik Islam formal lewat partai politik dari pemilu ke pemilu,seperti yang dirasakan PPP,PAN,PBB  terkecuali PKB dan PKS masih bertahan di papan tengah klasemen perolehan suara pemilu, tidak berimbas kepada kiprah politisi Islam dalam perannya di pemerintahan dan kebijakan nasional. Selama era reformasi formasi kabinet yang berasal dari politisi partai Islam dan berbasis ummat Islam terus  meningkat. Bahkan jabatan presiden dan wakil presiden diduduki oleh politisi dengan latar belakang pondok pesantren, yaitu Presiden KH.Abdurahman Wahid (Periode 1999-2004) dan Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin (Periode 2019-2024).

 

Begitu pula pada proses melahirkan UU dan kebijakan pemerintah, kekuatan Islam  dapat menghasilkan sejumlah peraturan yang memperkuat prinsip dasar politik Islam yaitu penguatan syariat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Misalkan saja UU Pondok Pesantren,UU Zakat,UU Haji dan seperangkat kebijakan pemerintah yang menghasilkan pranata lembaga  ekonomi Islam dan Jasa Keuangan Syariah. Misalkan dengan berdirinya Bank Syariah Indonesia, Wakaf Tunai, Lembaga Produk Halal,Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah – Ini contoh di tingkat nasional. Sedangkan di tingkat daerah dengan berjalannya otonomi daerah sejak 1999, sudah ada ratusan peraturan daerah (perda) atau qanun,peraturan gubernur/peraturan bupati/peraturan wali kota yang bernuansa syariat Islam. Menariknya, banyak di daerah-daerah yang menjadi pelopor perda bernuansa syariat dan qanun dimotori oleh partai nasionalis. Semua ini adalah bukti  bahwa politik Islam dan Islam politik  tetap eksis dan berperan besar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini.

 

Bahkan untuk isu utama dari politik Islam Indonesia baik bagi mereka yang berbendera partai politik dan bukan partai politik  seperti : Ormas,Orda,dan kekuatan simpul-simpul Islam yaitu pada tokoh-tokohnya, telah menjadikan Piagam Jakarta menjadi benmark akan tegaknya syariat Islam di Indonesia dan menjadi simbol perjuangan Islam politik di negara Pancasila yang abadi. Namun, seringkali tbelum samanya pemahaman oleh para politisi Islam dengan berada  pada beragam wadah perjuangannya, seakan Piagam Jakarta dengan rumusannya yang utama pada sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,masih menjadi sesuatu yang belum berlaku dan tidak inheren dalam sistem ketatanegaraan yang ada bila belum disebut secara eksplisit pada sila pertama atau pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Padahal sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemudian dikukuhkan kembali pada perubahan keempat UUD 1945 pada 10 Agustus 2002, sesungguhnya Pancasila sebagai dasar negara dan konstitusi RI adalah  UUD 1945  yang disahkan pada 18-8-1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan rumusan sedemikian  ini, sesungguhnya syariat Islam telah menjadi bagian integral dalam sistem kita berbangsa,bernegara dalam pembentukan  hukum positip.

 

Lalu apa lagi yang menjadi peran politik Islam dan Islam politik di Indonesia bila landasan kita bernegara sudah tidak bermasalah secara ideologi? Tentunya soal implementasi dan elaborasi UUD 1945 ke dalam UU dan peraturan lainnya yang lebih teknis dalam mengisi pembangunan untuk mengejar segala ketertinggalan  baik di bidang politik,ekonomi,hukum,sosial,budaya ,pertahanan, keamanan, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan – Inilah pekerjaan yang belum tergarap dengan baik di republik ini. Bila saja partai-partai Islam  dan semua kekuatan Islam politik lebih fokus kepada persoalan Poleksosbud Hankam yang juga menjadi konsen partai nasionalis yang selama ini memenangkan dari pemilu ke pemilu,bukan mustahil pada gilirannya partai Islam atau partai berbasis ummat Islam  akan keluar sebagai pemenang.

Soal Kepemimpinan dan Ketersediaan kader

Dalam soal kepemimpinan dan ketersediaan kader pada partai Islam atau berbasis ummat Islam seringkali menjadi pangkal perpecahan dalam tubuh partai tersebut. Pertama, kepemimpinan menjadi rebutan dan kedua, lalai menyiapkan kader untuk kepemimpinan berikutnya. Dua masalah ini seringkali menjadi pangkal keberlangsungan partai terancam. Idealnya dalam kepemimpinan terlebih dalam partai Islam atau berbasis ummat Islam, keterpaduan antara pimpinan yang kuat dan tersedianya kader yang banyak adalah prioritas utama.

 

Ingin saya kutif pandangan M. Natsir,sebagaimana dia katakan. ‘Tiap pemimpin hendaknya mempunyai niat dalam hatinya bahwa satu ketika,pimpinan itu  akan diserahkan kepada orang lain. Menjadi pemimpin bukanlah semata-mata  memberikan pimpinan kepada ummat yang banyak,tetapi haruslah berikhtiar pula menyediakan kader-kader untuk diserahi pimpinan di waktu yang akan datang. Pada suatu saat pemimpin berangsur-angsur harus meninggalkan lapangan. Pada saat seperti  itu haruslah tampil pemimpin muda yang cakap dan kuat untuk meneruskan kepemimpinan. Pemimpin muda dan cakap itu tidak akan pernah lahir,kalau sejak sekarang pemimpin-pemimpin tua tidak menyediakan kader sebanyak-banyaknya dengan mendidik dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk pada suatu saat memegang kendali perjuangan. Tak mungkin para pemimpin yang hidup sekarang  saja yang mutlak dapat menyelesaikan perjuangan tu sampai ke batas cita-cita. Berapalah usia manusia, paling tinggi 100 tahun,sedangkan perjuangan Islam mungkin ratusan atau ribuan tahun yang akan datang,atau bahkan takkan habis-habisnya. Inilah pokok pandangan buat para pemimpn sekarang’.

 

Memimpin hendaklah juga menyerahkan pimpinan ke tangan yang lain. Jangankan untuk masa yang akan datang, masa yang sangat jauh itu, sedangkan untuk masa sekarang saja Sangatlah terasa oleh kita bagaimana kekurangan  pemimpin yang mengendalikan perjuangan amatlah sedikitnya. Pak Natsir mengajak untuk merenungkan dengan sebaik-baiknya masalah ini.

 

‘Dari pihak pemuda-pemuda angkatan baru,inipun harus dipahami. Mereka adalah bunga harapan, harapan bangsa dan nusa,menjadi kader-kader dengan memperbanyak ilmu dan pengalaman sekuat tenaga. Di atas kuburan pemimpin tua berdirilah pemimpin muda  yang tangkas dan cekatan . Sungguhlah amat ruginya perjuangan kita yang seakan-akan mengabaikan pembentukan kader-kader baru itu. Nabi Muhammad Saw telah memberi contoh yang tepat bagi kita. Beliau memimpin ummat dan membentuk kader dengan sungguh-sungguh. Segala kecakapan,kesanggupan dan jiwa raganya,diberikan untuk memimpin dan membentuk kader itu dalam memperjuangkan kalimat Allah. Akhirnya dalam tempo 23 tahun saja,semua musuh jatuh dan agama Islam tegak dengan jayanya di muka bumi. Beliau wafat,para sahabat dan tabiin,siap selalu menggantikannya untuk meneruskan perjuangan. Inilah yang kita contoh. Pemimpin Islam harus memiliki pemikiran seperti ini. Tidak usah khawatir bahwa diantara pemimpin Islam sekarang ada yang berpikir absolut, hendak berkuasa sendiri dan merasa dirinya akan  hidup seribu tahun, tidak.’

 

Pandangan M.Natsir sebagai tokoh yang menjadi bancmark dalam  sukses kepemimpinan partai Islam ataupun sebagai pemimpin  ormas Islam yang disegani di tanah air sangatlah relevan dengan kondisi partai-partai Islam dan berbasis ummat Islam yang terus menerus mengalami kemerosotan dukungan dibanding pada level partai Islam  pada era orde lama. Menumbuhkan banyak kader-kader muda , membentuk pemimpin yang kuat , tidak bisa lagi ditunda –tunda dalam pembenahan partai Islam dan berbasis ummat Islam di Indonesia. Ini harus menjadi agenda utama.

 

Akhirnya ingin saya megatakan bahwa ‘Kekuatan  politik  Islam dan Islam politik sebagai kebutuhan nasional adalah kebutuhan sejarah. Meskipun demikian menjadikan solusi Islam sebagai kebutuhan itu harus diperjuangkan dan memperjuangkaannya butuh nafas panjang dengan ketersediaan pemimpin-pemimpin Islam yang banyak.

Ulasan

Belum ada ulasan.

Jadilah yang pertama memberikan ulasan “Partai Politik Islam Era Reformasi”