Cita-Citaku Seperti Air yang Mengalir

 

Cita-cita. Setiap orang pasti mempunyai cita-citanya masing-masing. Ada yang ingin menjadi guru, dokter, tentara, polisi, dan masih banyak lagi. Begitupun dengan saya, saya juga mempunyai cita-cita. Dulu ketika menduduki bangku sekolah dasar, hal yang selalu ditanya oleh ibu guru di sekolah pasti ‘apa cita-cita kalian?’ dan jawabannya selalu saja jika tidak menjadi guru, maka menjadi dokter. Karena pada saat itu saya kagum dengan profesi seorang guru dan dokter setelah melihat perannya. Sama-sama menjadi pahlawan seperti super hero di televisi. Bedanya adalah guru menjadi pahlawan pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa, sedangkan dokter adalah pahlawan yang menolong dan menyelamatkan nyawa orang lain. Keduanya sama-sama keren menurut saya. Akhirnya tertanamlah dalam diri saya bahwa ‘Saya ingin menjadi guru atau dokter’ pada kala itu.

Hingga akhirnya ketika saya memasuki bangku SMP. Pertanyaan ‘apa cita-cita kalian?’ kembali dipertanyakan. Semakin bertambahnya umur seseorang, semakin banyak pula pengetahuan yang ia dapatkan. Disitu saya mulai berfikir dan bertanya pada diri saya sendiri ‘kira-kira saya mau jadi apa yaa nanti dimasa depan?’. Tidak seperti masa SD dulu, jika ditanya cita-cita, saya dapat menjawab dengan lantang ‘saya ingin menjadi guru atau dokter!’. Di bangku SMP ini saya diajarkan untuk membuat planning dari cita-cita saya, akan jadi apa saya nanti? Jika cita-cita saya tidak tercapai apa yang akan saya lakukan? Jalan apa yang akan saya tempuh untuk mencapai cita-cita saya? Dan disitu saya mulai berfikir, ternyata tidak semudah itu untuk merealisasikan perkataan mengenai cita-cita di bangku SD dulu.

Saya ingat bahwa guru SMP saya pernah mengatakan “kita harus mempunyai banyak cita-cita, supaya jika salah satu cita-cita kita tak tercapai, kita masih punya cita-cita yang lain. Tak apa bercita-cita setinggi mungkin, menjadi presiden, insinyur, professor,dan peran tinggi lainnya. Siapa tau cita-cita itu akan tercapai, toh tulisan kita kelak akan menjadi doa nantinya”. Akhirnya saya menulis begitu banyak profesi yang entah itu akan terwujud atau tidak kedepannya karena saya merasa gengsi dengan teman saya yg menulis begitu banyak cita-cita, sedangkan saya hanya menulis beberapa profesi saja.

Yaa lucu sekali memang, dulu saat SD dengan polosnya saya mengatakan ingin menjadi guru atau dokter tanpa memikirkan apa yang harus saya hadapi, yang saya tau hanya profesi itu keren, bisa membantu banyak orang, tanpa tau apa yang akan saya tempuh untuk mencapai cita-cita itu. Dan setelah SMP saya tau ternyata jika ingin menjadi guru tidaklah mudah, kita harus menempuh pendidikan tinggi seperti S1 atau S2 di universitas pendidikan. Begitupun dengan dokter, menjadi dokter tidaklah mudah, harus melanjutkan pendidikan ke jurusan kedokteran dengan biaya yang bisa dikatakan tidak sedikit. Disini saya semakin bingung ingin menjadi apa kedepannya hingga saya memasuki jenjang SMA dan pertanyaan ‘apa cita-citamu?’ masih belum bisa saya yakinkan jawabannya.

Sebelum memasuki bangku SMA tentunya kita disuruh untuk memilih ingin masuk ke jurusan apa di SMA nanti, dan saat itu pilihan pertama saya jurusan IPA dan IPS di pilihan kedua, awalnya saya menduduki nomor urut 60 di jurusan IPA kemudian beberapa jam setelahnya nama saya menghilang di jurusan IPA dan pindah ke jurusan IPS. Orang tua saya marah, ‘kenapa kok milihnya jurusan IPS, memang mau jadi apa kamu klo masuk jurusan itu? Seharusnya kamu tuh masuk IPA seperti si A’. Mendengar perkataan orang tua yang seperti itu membuat saya down sampai berfikir ‘memang salah jika saya masuk jurusan IPS? Bukannya semua jurusan itu sama? Bukannya yang dilihat itu seberapa banyak kita memahami materi yang diajarkan oleh bapak ibu guru di sekolah?’. Karena nasi sudah menjadi bubur, dan saya tidak bisa pindah jurusan akhirnya saya menjalani masa SMA dengan menjadi siswa jurusan IPS.

Makin dijalani, saya merasa semakin nyaman berada di jurusan IPS. Nyaman dengan pelajarannya, dengan teman-temannya, dan dengan lingkungannya. Oiya, guru-guru SMA saya pernah bilang bahwa ‘sebenarnya anak IPS itu hebat, rata-rata nanti ketika besar bisa menjadi atasan, karena anak IPS mudah bersosialisasi, tidak seperti anak IPA’ dan saya pun semakin senang dan bisa menunjukkan pada orng tua saya, kelak saya dapat menjadi orang sukses tanpa harus masuk jurusan IPA. Saya pun mulai menanamkan bahwa ‘saya nanti akan menjadi atasan karena saya jurusan IPS’. Kepercayaan diri itu terus bertahan hingga saya mulai memasuki bangku kelas 3 di SMA.

Setelah memegang prinsip bahwa ‘anak IPS akan menjadi atasan’ di semester akhir kelas kelas 3 ini prinsip itu mulai goyah, dengan adanya pengumuman SNMPTN. Awalnya saya bertekad untuk bisa masuk jurusan akuntansi, yaa karena rata-rata anak IPS itu tujuannya masuk ke jurusan akuntansi,manajemen, dan psikologi. Tetapi setelah membandingkan nilai saya dengan nilai teman saya, saya jadi merasa minder karena tidak terlalu besar dan takut tidak keterima. Akhirnya saya memutuskan mengambil jurusan yang jarang atau bahkan belum pernah diambil oleh anak SMA di sekolah saya, yaitu jurusan tata boga. Saya memilih jurusan itu karena dari kecil saya suka sekali memasak dan teman teman saya pun mendukung jika saya masuk ke jurusan itu. Namun sayangnya takdir berkata lain, malaupun sudah memilih jurusan dengan nilai rendah, saya tidak diterima di jurusan itu. ‘Mungkin itu bukan rejeki saya untuk masuk ke jurusan tatat boga lewat jalur SNMPTN, dan saya akan berjuang di SBMPTN mendatang,’ pikir saya kala itu.

Ketika ingin mendaftar SBMPTN saya bertanya kepada orang tua saya ‘Ma, widya mau masuk jurusan akuntansi lewat SBMPTN’ setelah itu mama saya bilang ‘ngapain masuk jurusan itu? Memang nanti kamu mau kerja jadi apa klo masuk akuntansi? Cari jurusan tuh yang cepat dapat kerjaan!’ ujarnya. Lalu saya berfikir ‘lantas saya mau jadi apa jika masuk jurusan akuntansi tidak boleh? Bukannya rezeki di tangan tuhan? Jika rezeki saya bekerja setelah lulus ya Alhamdulillah, tetapi jika tidak, mungkin belum waktunya,’ gumam saya dalam hati. Setelah lama berdebat dengan diri sendiri akhirnya sama bertanya kepada orang tua saya, ‘ trus mama maunya widya jadi apa?’ tanya saya lemas. ‘yasudah jadi perawat saja di tempat kakakmu,’ ucapnya. Saya terdiam dan… yaa sedih memang, padahal saya ingin membuktikan kepada orang tua saya bahwa saya bisa sukses karena masuk jurusan IPS, tapi mau bagaimana lagi ‘ridho Allah tergantung ridho orang tuanya, dan murka Allah tergantung murka orang tuanya,’ karena hadits itu jadi saya mengiyakan perkataan orang tua saya. Akhirnya saya ikhlas dan mendaftar di akper polri.

Saya mencoba berfikir positif dan memberi semangat pada diri saya dengan cara meyakinkan diri bahwa rezeki itu di tangan tuhan, takdirmu sudah diatur oleh yang di atas, jalani dan ambil hikmahnya, orang tuamu pasti punya maksud tertentu dan itu untuk kebaikanmu. Tidak ada salahnya menjadi perawat, bukannya saat kecil dulu kamu ingin menjadi dokter? Toh cita-cita itu mungkin akan terealisasikan. Dokter dengan perawat kan sama-sama pahlawan di bidang kesehatan. Kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk menjadi super hero seperti di televisi.

Ada suatu buku yang mengatakan “Di tata surya bintang-bintang memang indah dan dibutuhkan. Tetapi, bintang bukan satu-satunya yang kita butuhkan di tata surya. Kita butuh matahari—kehangatannya dan cahayanya. Kita butuh bulan yang memberi penerangan pada gelapnya malam. Ada pula planet-planet yang kita tak tahu apa tujuan fungsionalnya bagi bumi, tetapi mereka ada, dan tidaklah tata surya ini diciptakan dengan main-main.” Dari buku itu, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini, dan perawat adalah suatu pekerjaan yang mulia. Tanpa perawat, dokter mungkin akan kewalahan mengatasi pasien yang begitu banyaknya dan begitu pula sebaliknya.

Mungkin suatu hari nanti saya akan berfikir ‘untung saja, dulu saya memilih untuk menjadi perawat … dan bersyukur atas keputusan yang telah saya ambil saat ini,’ pasti. Pasti akan ada saatnya saya berkata dengan bangga dan senyum yang mengembang di wajah saya ‘Saya mencintai profesi saya sebagai perawat.’

Setelah lelah menentukan akan menjadi apa diri saya di masa depan, dan yaa.. cita-cita saya ingin menjadi seorang perawat dan dapat menyelamatkan hidup banyak orng dengan ilmu dan kemampuan yang saya punya. Yaa hitung-hitung, juga sambil menabung amalan jariyah untuk diakhirat kelak. Toh menjadi seorang perawat bisa mendapatkan banyak pahala karena menolong banyak orang. “sesungguhnya disetiap kesulitan pasti ada kemudahan,” cukup percaya akan janji-Nya. Dibalik ini semua pasti ada hikmahnya. Dan hikmahnya tak harus terjawab disini. Mungkin nanti diakhirat. Mungkin nanti akan berbuah pahala. Bukankah balasan diakhirat baik? Asalkan kita menghadapinya dengn kesabaran yang benar. SEMANGAT!!!

Tinggalkan Balasan