Keberadaan blogger di Indonesia menjadi fenomena tersendiri. Kini ada sekitar 7-8 juta blogger di seluruh Indonesia dan jumlah ini bakal terus bertambah. Memang tidak semua blog aktif, apalagi pada masa pandemi ini.Blogger atau yang juga menamakan dirinya jurnalis warga atau citizen journalist memang keberadaannya mulai dianggap penting oleh berbagai institusi atau perusahaan. Sebenarnya apakah blogger bisa menjadi wartawan atau sebaliknya?
Seorang kawan pernah bercerita jika ia sekarang tergabung dalam sebuah komunitas blogger dimana sering diundang untuk menghadiri berbagai acara launching oleh perusahaan. Selain dapat goodie bag, sering kali ia dapat uang saku yang besarannya lumayan. Dan yang membuat ia bangga, di acara tersebut juga banyak wartawan dari berbagai media besar. Ia merasa sudah seperti wartawan.
Kawan lainnya menyinggung kualitas wartawan media online yang kadang-kadang menuliskan berita dalam berbagai sudut pandang tapi sebagian besar isinya hanya copy paste dari artikel sebelumnya. Ia merasa wartawan tidak semuanya punya bakat menulis yang baik atau mungkin karena dikejar tenggat waktu.
Saya dulu pernah mencicipi sebagai wartawan di media harian besar hampir 1,5 tahun. Selanjutnya menjadi wartawan, editor sekaligus admin website di media internal perusahaan selama empat tahun. Baru kemudian menjadi penulis lepas sekaligus blogger seperti saat ini. Tapi saat menjadi wartawan media internal sekaligus humas saya juga nimbrung sebagai blogger. Saya merasakan adanya perbedaan selama saya menjadi wartawan dan menjadi blogger.
Wartawan dan blogger bagi saya jelas berbeda. Ia harus tahu posisinya saat itu apakah wartawan atau sebagai blogger.

Perbedaan pertama adalah prioritas. Prioritas sebagai wartawan adalah obyektivitas. Saat saya menjadi wartawan yang ditugaskan di Jawa Timur, obyektivitas adalah bekal nomor satu dalam membuat berita jenis straight news. Jangan ada opini, jangan ada tendensi. Biarkan fakta mengalir apa adanya dan buatlah berita berimbang.
Saya yang lebih suka menulis fiksi atau jenis feature, awal-awal merasakan kesulitan saat membuat straight news terutama membuat lead atau paragraf awal. Bagaimana supaya straight news bisa menjadi berita yang menarik pembaca tapi juga tidak mengurangi obyektivitas. Misal berita kecelakaan atau kebakaran, bagaimana agar beritanya bisa lengkap dan akurat, tapi juga mengalir saat dibaca.
Hingga beberapa lama menjadi wartawan, tulisan saya masih sering diedit redaktur, terutama dari segi lead dan judul. Kadang-kadang saya diminta duduk di sebelah redaktur, agar saya tahu bagian tulisan mana yang dirombak oleh redaktur.
Ada seminggu penuh training sebelum kami dilepas untuk memburu berita. Dan sebulan berikutnya kami mendapat pelatihan setiap hari dari pukul 20.00 hingga biasanya pukul 23.00-24.00WIB terkadang juga pagi hari sebelum pukul 08.00 WIB. Berita-berita yang kami buat dikupas tuntas, mana contoh berita yang buruk dan mana berita yang memenuhi kaidah jurnalistik. Sangat melelahkan.
Kami sering kali memburu berita mulai pukul 05.00 pagi hingga petang, lalu kembali ke kantor untuk mengetik dan menyetor berita.Saat itu saya berada di bagian untuk koran, bukan untuk online, sehingga waktu untuk mendapatkan berita relatif lebih panjang dan tidak terlalu tergesa-gesa seperti wartawan media online.
Di tempat saya bekerja dulu ada target jumlah berita dalam sehari. Jika tidak mencapai target maka siap-siap dipanggil oleh redaktur, untuk ditanya apa masalah dan kendalanya.
Saat awal-awal menjadi wartawan dan mengikuti training selama sebulan, rata-rata pulang ke kosan baru tengah malam.Tidak ada libur selama sebulan penuh. Alhasil dalam sebulan tersebut kesehatan saya menurun. Akhirnya drop dan ijin sehari untuk libur, istirahat total di kosan.
Selama tiga bulan berikutnya, teman satu angkatan yang berjumlah belasan pun merosot hampir separuhnya. Memang amat jarang yang tahan dengan pekerjaan dan pelatihan berat seperti itu. Ada juga yang terpaksa tidak diperpanjang kontraknya karena alasan-alasan tertentu.
Pelajaran membuat straight news adalah bekal menjadi wartawan terpenting. Untuk membuat satu berita saja agar beritanya berimbang, saya masih harus pontang-panting mencari narasumber yang tepat. Harus telpon sana-sini atau cek sana sini agar ejaan nama, kronologis peristiwa, semuanya tepat. Sangat memalukan jika ada kesalahan nama seperti Muhammad jadi Mohamad atau salah nama merk sponsor penyelenggara acara.
Kawan sejawat pernah melakukan kesalahan penulisan penyelenggara secara tidak sengaja karena ia begitu kelelahan. Ia baru selesai melakukan liputan pukul 02.00 pagi. Karena masih mengantuk atau hal lainnya ia salah mengetik nama sponsor acara.
Ia kemudian dimarahi habis-habisan. Akhirnya beberapa hari kemudian ia mengundurkan diri karena trauma mengulang kesalahan yang serupa. Ralat bagi sebuah media massa memang bak aib, jangan sampai terjadi salah berita meski hanya salah menyebut merk.
Saya juga pernah mengalami hal serupa saat menulis berita secara tandem dengan kawan lainnya. Kawan saya hanya menambahkan sebuah paragraf tentang haji, tapi rupanya salah total.
Saya yang saat itu sedang mengerjakan berita lainnya terlalu percaya kepadanya, lalai mengeceknya. Keesokan harinya saya menerima banyak telpon keluhan dan kritikan. Akhirnya tak luput dari panggilan redaktur. Meski itu kesalahan teman, namun saya yang bertanggung jawab terhadap pos penulisan tersebut.
Sejak itu saya berupaya teliti dan recheck jika mengupas fakta. Oleh karena berita dan artikel yang dimuat di media cetak dibaca oleh banyak orang. Salah menyampaikan informasi maka bisa fatal.
Setelah straight news, membuat berita fokus adalah salah satu ujian seorang wartawan. Bagaimana seorang wartawan menggali sebuah peristiwa dan melakukan investigasi dari berbagai sumber. Ada yang menyebutnya berita fokus, liputan khas, atau liputan umum.
Untuk membuat satu halaman berita fokus perlu energi yang sangat besar. Perlu data statistika untuk membuat grafis, mencari berbagai narasumber, atau juga bisa membuat survei. Untunglah saya jarang membuat berita fokus seorang diri, biasanya dibantu 1-2 rekan kerja, karena memerlukan data besar dalam tenggat waktu singkat. Biasanya kami hanya punya waktu 2-3 hari untuk menyiapkannya dan berita harian tanggung jawab kami pun tidak boleh luput.
Favorit saya adalah membuat feature oleh karena kita bisa melibatkan gaya bertutur khas kita, tidak perlu terlalu formal. Redaktur meminta untuk membuat tulisan feature yang detail dan mengalir. Deskriptif.
Saya juga suka menulis reportase tentang konser musik, pertunjukan seni, atau tentang masakan hehehe sambil mencari berita bisa menghibur diri. Kadang-kadang jika tidak buru-buru ke tempat liputan berikutnya, bisa icip-icip makanan yang baru dimasak. Asyik.

Lantas bagaimana dengan blogger? Blogger identik dengan gaya bertutur yang melibatkan pengalaman dirinya. Jika menulis sebuah produk, biasanya melibatkan opini pribadi. Ya, blogger biasanya menambahkan unsur opini pada sebuah artikel yang dibuatnya. Opini yang berdasarkan pengalamannya ketika menggunakan produk tersebut, apakah produknya mahal/murah, enak dipakai/biasa saja, dan sebagainya.
Blogger bisa menulis apa saja. Ia tidak bergantung pos pemberitaan. Ia juga tidak memiliki deadline, kecuali ketika mendapatkan pekerjaan mengulas sebuah produk atau lainnya. Gaya menulisnya pun juga bebas, suka-suka. Tidak harus formal atau baku, suka-suka si blogger, asal tetap sopan dan bertanggung jawab.
Apakah blogger bisa menjadi wartawan? Ya, menurut saya bisa, asalkan ia berada dalam naungan sebuah media.
Oleh karena wartawan memiliki kaidah dan kode etik jurnalistik. Ia memiliki payung hukum dan bisa melakukan mediasi jika tulisannya dituntut. Sedangkan blogger saat ini baru memiliki UU ITE dimana ia bisa dituntut jika dirasa melakukan perbuatan pencemaran nama baik, namun masih belum jelas bentuk mediasinya.
Bagi blogger yang ingin menjadi wartawan bersiaplah memikul tanggung jawab yang lebih besar. Prioritaskan fakta dan obyektivitas. Opini pribadi harus ditahan dulu.
Jika menjadi wartawan media harian, maka bisa jadi blogger tidak sempat icip-icip makanan atau menerima uang saku lagi karena adanya target berita yang harus dikejar dan aturan tidak menerima uang di berbagai media besar untuk menjaga obyektivitas berita.
Sedangkan bagi wartawan yang beralih jadi blogger, maka menjadi blogger adalah hiburan yang menyenangkan. Kalian tetap bisa menulis dengan gaya bertutur khas tanpa ada aturan ini itu dari perusahaan. Kalian juga bisa lebih santai dalam sebuah acara tidak perlu was-was oleh deadline.
Nah ketika saya dulu menjadi wartawan media internal, maka saya menulis dengan standar berita di perusahaan tersebut. Bahasanya lugas dan berdasar fakta. Lalu ketika berganti pakaian menjadi blogger, gaya bahasa dan jenis tulisan pun suka-suka.
Dua-duanya menyenangkan asal tidak lupa posisi, saat ini jadi wartawan atau blogger?
Kalau kalian ingin jadi blogger atau wartawan nih?
Catatan: Sebagian tulisan pernah dimuat di blog pribadi di link ini.