Abraham Raubun
Mendengar kata birokrat sudah pasti pikiran kita tertuju pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kini namanya berubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Wawasan tentang birokrat ini semakin terbuka luas setelah mendapat pencerahan lewat acara virtual yang diselenggarakan oleh Rumah Prestasi.
Belajar memang bermakna perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mau menjadi mau dan tidak mempu menjadi mampu. Sumber belajarnya dapat diperoleh darimana saja, bisa secara formal ataupun informal dari lingkungan kehidupan kita sehari-hari. Diera digitalisasi ini banyak bermunculan sarana yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan, memperbaiki sikap dan meningkatkan keterampilan.
Menarik penjelasan tentang birokrat khususnya terkait pentingnya sorang birokrat menguasai kemampuan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan menulis yang dipaparkan bapak Rudy harahap yang merupakan birokrat tulen penuh dedikasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya didasari sumpah jabatan yang diucapkan ketika mengemban suatu jabatan.
Tenyata pak Rudy memaparkan makna birokrasi secara sederhana dan gambling. Seorang birokrat itu adalah professional yang dengan kemampuan dan keahliannya menerapkan nilai-nilai public dalam menjalankan tugasnya. Nilai-nilai publik yang dimaksud adalah pertama selalu mengutamakan kepentingan masyarakat. Kedua bersikap altruistic yaitu sikap yang tidak berpusat pada diri sendiri (self-senteis/ego-centris). Ketiga bersikap inklusif, tidak eksklusifsehingga mengangga orang lain atau kelompok lain kedudukannya lebih rendah dari pada dirinya.
Menggelitik juga pernyataan bapak yang satu ini kalau dapat disampaikan dalam kalimat himbauan atau kalau harus memperhalus kalimat perintah “Hai..para birokrat menulislah”. Berangkat dari pengalamannya menjalani masa tugas sebagai seorang birokrat, tentu banyak alasan untuk mendukung pernyataan yang dilontarkan.
Menulis dapat dikatakan menyehatkan, karena menggerakkan syaraf-syaraf otak untuk berpikir dan hati untuk bekerja secara bersamaan. Menulis itu merupakan kegiatan atau aktivitas yang membahagiakan sebab dengan menulis kita dapat membagikan perasaan kepada orang lain. Menulis itu dapat melegakan perasaan karena apa yang menjadi kegelisahan dapat terkatakan atau tersampaikan. Selain itu menulis merefleksikan suatu keberanian untuk mengemukakan pendapat, ide atau pemikiran yang kritis terhadap berbagai hal mengingat para pembaca sangat beragam dan diantaranya mempunyai pemikiran dan pendapat yang berbeda bahkan mungkin bertentangan denga napa yang disampaikan dalam tulisan. Juga menulis itu bukan hanya sekedar merangkai kata dalam kalimat tak bermakna, melainkan harus mendorong pembacanya memiliki perubahan lewat gagasan yang ditulis serta membuat pembacanya melakukan tindakan yang nyata.
Adapun para birokrat diharapkan mampu menuliskan apa yang terjadi dalam lingkungan kerjanya, dampak yang muncul akibat berbagai kebijakan lewat regulasi yang diterapkan. Seorang birokrat yang menulis adalah birokrat yang jeli melihat situasi dan memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk peduli dan mendorong perubahan nyata dalam lingkungan birokrasi dimana dia berada. Dengan demikian seorang birokrat bukanlah seorang yang selalu berkeluh kesah, complain tyerhadapsituasi yang dihadapi bahkan menjadi seorang yang “nyinyir” yang giat menebarkan keluhannya dan membicarakan orang lain yang dianggap tidak memuaskan kehendaknya dan berbeda pemikiran dengannya baik di dalam maupun di luar lingkungannya. Dia bukan juga seorang yang pesimis dan oportunis.
Banyak birokrat yang memang tidak biasa atau tidak bisa menulis. Padahal jika menceritakan hal-hal terkait pekerjaan yang di lakukan dengan dengan berbagai masalah dan apa yang diinginkan begitu lancar bagaikan air mengalir. Tidak heran memang banyak orang yang tidak bisa bicara, tetapi lebih banyak orang yang tidak bisa berhenti bicara. Lancar berbicara, tetapi menulis jadi kendala. Dimana letak permasalahannya? Kalau mengacu pada pepatah yang berbunyi “Alah bisa karena biasa” ya mungkin dari situlah kendala-kendala itu bermula.
Menulis bukanlah hal yang didapat begitu saja, melainkan kebiasanan yang sudah dilakukan dalam waktu yang lama. Tidak dapat menulis masa kini adalah masalah di hilir, karena di bagian hulu sejak dahulu tidak biasa atau dibiasakan. Ada juga kata-kata bijak yang berbunyi “If you do not read, you can not write”. Jadi pangkalnya adalah harus banyak membaca, maka kemudian akan memudahkan untuk menulis.
Sering kalau kita perhatikan, seorang ASN ketika ditugaskan melakukan supervisi atau perjalanan dinas, banyak yang ketika pulang tidak membuat laporan dan terkadang sang atasan juga tidak terlalu mempersoalkan. Cukup ketika bawahan menghadap dan melaporkan perjalanannya kelapangan. Tidak ada atau jarang ada laporan tertulis, kalaupun ada hanya berupa syarat memenuhi ketentuan administrasi sebagai pertanggungan jawab. Dengan demikian dokumentasi tentang perkembangan situasi, masalah yang dihadapi dan solusi berupa aksi yang harus dilakukan atau keputusan yang diambil tidak terdokumentasi.
Hal lain yang dapat dicatat dari pengamatan, sudah lazim seorang pimpinan ketika diminta oleh suatu instansi atau Lembaga untuk menyampaikan makalah, jarang menyiapkan materi yang akan disampaikan dengan menuliskannya sendiri tetapi lebih sering menyuruh bawahan untuk menyiapkan lalu tinggal membacakannya. Seorang birokrat ketika dipromosi menduduki suatu jabatan tertentu harus melalui proses tertentu yang yang ditetapkan, termasuk menulis tentang gagasan pemikirannya terkait tugasdan fungsinya. Hal ini memang baik, tetapi alangkah lebih baik jika ada kebijakan atau ketentuan yang mewajibkan para calon pejabat itu dilihat rekam jejaknya sudah berapa banyak buku, artikelat aupun karya tulis yang lain yang pernah dihasilkan. Bahkan dibuat peraturan bagi semua birokrat wajib hukumnya untuk menulis.