Sering kita melihat anak betubuh pendek lalu orang berkomentar itu keturunan dari orang tuanya yang juga betubuh tidak terlalu tinggi. Hati-hati belum tentu demikian halnya. Bisa jadi ada faktor yang menghambat dalam masa tumbuh kembang anak. Jika hal itu terjadi kemungkinan anak mengalami masalah kurang gizi dalam waktu yang lama, bahkan mungkin saja kekurangan asupan zat gizisudah dialami sejak dalam kandungan sang ibu dan berkelanjutan selama selama masa-masa pertumbuhannya sampai anak berumur lima tahun.
Masa-masa kritis bagi tumbuh kembang anak dialami dalam 1000 hari awal kehidupannya. Perjalanan 100 hari di awal kehidupan anak ini harus dijaga dengan hati-hati. Jika lengah berbagai gangguan kesehatan akan muncul. Lebih-lebih semasa anak bertumbuh dan berkembang sampai mencapai usia lima tahun. Dalam tumbuh kembangnya ada periode yang sangat kritis yaitu sampai usia 2 tahun. Periode ini dikenal juga sebagai periode emas (Golden Period).
Tubuh pendek pada anak-anak perlu diwaspadai karena kemungkinan anak tersebut mengalami keadaan yang disebut stunting yaitu kondisi ketika tinggi atau panjang badan anak lebih pendek dibanding anak-anak seusianya menurut satndar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ini merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak. Faktor penyebabnya bersifat multidimensi. Salah satunya akibat asupan zat gizi yang tidak seimbang. Asupan zat gizi yang tidak seimbang ini dipengaruhi oleh perilaku makan keluarga terutama ibu dan anak atau dikenal juga dengan pola asuh gizi. Selain faktor asupan makan, secara langsung stunting disebabkan juga oleh keadaan Kesehatan terkait penyakit infeksi. Sanitasi lingkungan yang buruk, pola pengasuhan anak yang tidak tepat ketersediaan pangan rumah tangga yang terbatas serta pemanfaatan pelayanan Kesehatan yang rendah akan mendorong meningkatnya kasus stunting.
Pola asuh gizi merupakan asupan makan dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita secara tepat dan berimbang (Eveline & nanang D, 2010, p.11). Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu terutama dalam kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga, masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak (Soekirman 2000, p.85)
Indonesia saat ini tengah bermasalah dengan stunting. Hasil riset Kesehatan dasar (Riskedas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi stunting pada tataran 37.2%. Dari hasil pemantauan status gizi tahun 2016 tercatat 27,5%. Ini menunjukkan lebih dari 1/3 anak Indonesia yang berusia di bawah lima tahun tingginya di bawah rata-rata.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan akibat stunting dalam jangka pendek menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak, munculnya gangguan fisik dan gangguan metabolism dalam tubuh. Balita stunted akan memiliki tingkat kecerdasan tidak optimal, menjadi rentan atau mudah terkena penyakit bahkan dimasa depan menundang berbagai penyakit tidak menular (PTM) seperti darah tinggi (hipertensi), kencing manis (Diabet), penyakit jantung dan sebagainya yang dikenal dengan penyakit degenerative. Secara luas, stunting akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Sedangkan dalam jangka panjang mudah mudah mengalami kegemukan sehingga rentan terhadap PTM. Rasio penduduk yang tidak bekerja terhadap penduduk usia kerjapun menurun. Ditambah lagi ancaman pengurangan tingkat intelejensi sebesar 5-11 poin. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai kisaran antara 300-1.210 Triliun per tahun. Melonjaknya kerugian ini disebabkan naiknya pengeluaran pemerintah terutama terkait dengan jaminan Kesehatan nasional yang berhubungan dengan penyakit tidak menular. Ancaman terbesar mengincar anak-anak yang tersebar di 74.953 desa.
Kebijakan penurunan stunting dilakukan secara integrative. Salah satu pilar strategi yang diterapkan adalah ketahanan pangan dan Gizi yang mencakup konsumsi gizi dan pelayanan Kesehatan dengan hasil yang diharapkan adanya perbaikan asupan zat gizi dan penurunan penyakit infeksi. Kedua hasil yang diharapkan ini akan berdampak pada penurunan prevalensi stunting.
Pemerintah giat memerangi stunting ini dengan melakukan upaya pencegahan melalui intervensi gizi spesifik dan pendekatan tidak langsung atau yang disebut juga pendekatan sensitive. Intervensi spesifik ditujukan dalam 1000 hari pertama kehidupan, untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu hamil, ibu menyusui 0-6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 7-23 bulan. Intervensi ini dilakukan karena fakta yang ditemukan menunjukkan hanya 22.8% dari anak 0-6 bulan yang menerima Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Belum lagi anak usia 7-23 bulan hanya 36.6% yang menerima makanan pendamping ASI (MPASI) sesuai pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas yang dianjurkan.
Salah satu upaya penanggulangan stunting melalui pendekatan spesifik yang ditujukan untuk mengatasi kurangnya asupan zat gizi yang memadai dan seimbang adalah dengan membuka wawsan anggota keluarga terutama ibu. Permasalahan gizi ini bisa diatasi ketika mereka memahami masalahnya dan mengetahui cara mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing.Disamping itu pendekatan sentitif atau pendekatan tidak langsung seperti penyediaan air bersing dan Kesehatan lingkungan seperti sarana Mandi Cuci Kakus (MCK), jamban keluarga (Jaga) dsb.
Bagaimana stunting dalam kondisi pademi Covid-19 ini?, kecuali jika tindakan cepat diambil situasi dapat menjadi lebih parah. Sebelum pandemi Covid-19 pun, Indonesia sudah menghadapi masalah gizi yang tinggi. Masalah yang dihadapi menjadi masalah ganda yaitu kekurangan gizi makro dalam hal ini protein dan energi dan masalah gizi mikro yaitu kekurangan vitamin dan mineral.
Saat ini, lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting. UNICEF salah satu badan PBB untuk Kesehatan ibu dan anak memperkirakan kondisi di Indonesia bahwa Covid-19 ini dapat menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah anak-anak yang mengalami masalah gizi di Indonesia,apabila tidak dilakukan tindakan untuk mengatasi keadaan ini secepatnya. Apa pasalnya, seperti diketahui Covid-19 ini memukul keluarga yang paling rentan. Hal ini membuka peluang lebar menambah kasus terjadinya anak-anak bergizi buruk dalam waktu yang lama berujung pada hal yang lebih buruk bahkan kematian. Dalam merespon COVID-19, pemerintah dengan dukungan berbagai lembaga internasional melanjutkan layanan gizi untuk anak-anak dan keluarga yang rentan, termasuk pemantauan pertumbuhan, distribusi gizi mikro, dukungan bagi para ibu untuk pemberian makan bayi dan anak secara memadai, dan penapisan serta perawatan anak balita karena gizi buruk dengan lebih intensif.
Mungkin salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui program-program bantuan sosial dengan pemberian makanan yang kaya akan vitamin dan mineral bagi anak-anak balita. Berbagai hasil penelitian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia menunjukkan bahwa masalah gizi tidak lagi semata-mata disebabkan oleh kekurangan protein dan energi, melainkan sekarang lebih disebabkan oleh kekurangan vitamin dan mineral seperti vitamin A, Iodium dan zat besi. Sudah saatnya merubah pemahaman lama yang masih melekat pada sebagian para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan yang berfokus pada penangan an masalah gizi dengan meningkatkan produksi makanan sumber protein dan energi menjadi pemahaman yang berorientasi pada peningkatan konsumsi makanan sumber vitamin dan mineral. Demikian juga konsep-konsep sistem pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti posyandu yang berbasis kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat yang fungsinya sudah mulai memudar, digalakkan kembali. (Abraham Raubun).