Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom
Kalau ditanyakan perlukah desa dibina bahkan dilindungi, jawabnya akan selalu perlu karena itu sudah jadi pertimbangan dalam konsideran regulasi.
Dalam perjalanannya desa telah berkembang dalam berbagai bentuk karena itu perlu dilindungi agar kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Inilah modal andalan untuk menjalankan Pemerintahan dan pembangunan menuju ke masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang dicita-citakan.
Desa dibina atau tidak tentu perlu lebih cermat ditelisik mengapa, bagaimana dan apanya yang memang perlu untuk itu.
Memang dalam perkembangannya desa perlu terus dicermati. Dalam konsepnya ada yang dinamakan desa swadaya, swakarya dan swasembada.
Di era yang lalu ini jadi patokan untuk mengevaluasi tingkat perkembangan desa. Meskipun masih eksis, namun kini tampaknya gaungnya tidak senyaring dahulu lagi.
Meskipun muncul, lebih banyak ketika harus dicantumkan dalam mengisi formulir penilaian lomba desa. Klasifikasinya mungkin tersamar dalam lingkup penilaian yang dikemas dalam bungkusan Pemerintahan, kewilayahan dan kemasyarakatan.
Desa perlu dibina bukan saja karena keterbatasan dan ketertinggalan dalam pengetahuan dan keterampilan mendayagunakan potensi atau sumberdaya yang tersedia, melainkan juga dalam sikap dan perilaku memanfaatkan apa yang harus dikelola.
Kemajuan teknologi sudah jelas tak dapat dibendung lagi. Kemanfaatan sistem digitalisasi yang dapat mempermudah, mempermurah dan mempercepat berbagai urusan pelayanan publik di desa memang patut diakui.
Tetapi sikap dan perilaku tetap haruslah diwanti-wanti agar teknologi yang dikuasai lebih membawa hasil yang banyak manfaatnya daripada mudaratnya.
Disinilah pentingnya memahami tingkat perkembangan desa yang tidak hanya merebak untuk kepentingan lomba desa yang terkadang membawa kesan bagaikan kembang semusim.
Kemajuan desa sang juara kadang jadi hal yang cukup risi untuk dipertanyakan. Seakan terjadi quantum leap, lompatan spektakuler memoles wajah desa dalam kemajuan yang mengagumkan. Namun jika ditelusur terselip minimnya kadar pembinaan yang dilakukan dalam proses perjalanan menyandang gelar juara dalam kancah lomba desa.
Belum lagi terpaan media dan berbagai pihak yang bergiat menyodorkan beragam platform agar desa masuk kedunia digitalisasi tanpa persiapan yang memadai.
Pembinaan memang butuh proses dan waktu yang relatif panjang. Tindakan pendampingan dan pembinaan yang sistematik dan berkesinambungan masih sangat dibutuhkan.
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan secara berjenjang. Itu sudah menjadi titah Undang-Undang dan peraturan.
Namun jujur saja, ada terasa ketimpangan dalam kadar penerapannya. Terasa bobot timbangan cenderung lebih miring keranah pengawasan ketimbang pembinaan.
Kalau makna pembinaan hanya terbatas pada demarkasi penyediaan regulasi, pedoman dan panduan nampaknya cukuplah memadai. Padahal ada juga juga tersurat agar diwujudkan dalam bentuk bimbingan teknis ataupun pelatihan bahkan monitoring dan evaluasi apa yang terjadi dan berkembang di lapangan.
Bukan hanya kapasitas finansial yang perlu ditakar, namun juga kualitas proses, metodologi, serta kompetensi pelatih atau pembina yang perlu dicermati dan dibenahi.
Begitulah pentingnya pembinaan yang padanan maknanya sama dengan tuntun, bimbing serta ajar. Tentu untuk menerapkannya ada implikasi dan konsekuensi pembiayaan yang harus memadai.