LANGKANYA MINYAK GORENG SUATU LAKNAT ATAU HIKMAT?

Terbaru140 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Hari-hari belakang ini keresahan dan kegelisahan tengah melanda masyarakat. Yang paling mencuat adalah kecemasan dan keresahan kaum ibu disamping itu juga para pedagang gorengan akibat langkanya minyak goreng.

Setiap hari ada saja berita di telivisi atau media sosial yang mengangkat berita atau mengomentari bererotnya antrian mengular kaum wanita berburu minyak goreng. Tidak jarang disertai dengan kekecewaan dan sumpah serapah dari mereka yang tidak kebagian entah siapa sasarannya.

Apa pasal? Konon bermula dari kebijakan pemerintah yang memangkas harga jual minyak dipasaran. Harga anjlok dipatok pada tingkat yang dianggap ada dalam jangkauan daya beli yang meringankan “Wong cilik”. Tapi mendadak sontak barangnya menghilang tak tahu rimbanya. Tak urung riak kepanikan perlahan membesar menjadi gelombang yang mengimbas kalangan rumah tangga.

Mendengar komentar para Ahli ekonomi jujur saja bagi masyarakat awam mungkin sebagian besar tidak dapat memahami. Hitung-hitungan sebagai aladan yang dikemukakan cukup ruwet menuntut otak bagian kiri harus dipacu bekerja keras agar sang pemilik dapat mengerti. Tetapi lepas dari itu kita berpikir positif sajalah. Pasti pemerintah yang didukung para pakar punya pertimbangan dan maksud baik untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Lazimlah suatu maksud baik tidak selalu mendapat respon yang baik pula. Karena meski rambut sama hitam tapi “isi” kepala bisa berbeda. Apalagi ini menyangkut hajat orang banyak. Dari sisi ekonomi dampak kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam. Tapi muncul dalam pikiran ini suatu laknat ataukah hikmat?

Banyak yang mungkin berpikir ini suatu laknat karena pola makan orang banyak terusik. Beragam olahan makanan banyak menggunakan minyak. Padahal dari ukuran Kesehatan dan Gizi ada tiga hal yang harus terkendali. Kendalikan jumlah penggunaan gula, garam dan lemak. Lemak disini termasuk minyak.

Jadi dengan langkanya minyak, sejatinya bisa menjadi hikmat. Bisa menjadi peluang mengendalikan konsumsi minyak semakin besar. Menggeser kebiasaan makan dari banyak gorengan-gorengan ke bahan makanan yang direbus, dikukus, ditim, dipanggang bisa lebih dibiasakan. Kalau pun ada yang ditumis, penggunaan minyaknya juga terbatas.

Dengan menerapkan pola makan dan cara mengolah bahan makanan tanpa atau jumlah penggunaan minyak yang diatur dan dibatasi tentu kegiatan berburu minyak goreng nampaknya tidak perlu terjadi. Penggunaan menjadi lebih hemat.

Memang tidak mudah merobah pola makan. Seperti pepatah China mengatakan “lebih mudah merubah suatu dinasti daripada merubah pola atau kebiasaan makannya”. Kadang lidah kalau sudah menyangkut selera tidak mau diajak kompromi. Padahal rasa nikmat itu hanya terasa di mulut sampai leher.

Tetapi bukan suatu hal yang mustahil perubahan pola atau kebiasaan makan untuk dilakukan. Jepang sudah berpengalaman merubah pola makan. Di tahun 80an dikembangkan dan diperkenalkan konsep makanan fungsional (Functional Foods). Dampaknya terlihat pada tumbuh kembang yang pesat pada generasi barunya.

Mengapa konsumsi lemak atau minyak perlu dibatasi? Meski sebagai sumber energi tetapi jika konsumsinya tidak dikendalikan dapat merugikan Kesehatan.
Lemak yang beredar di dalam tubuh berasal dari makanan dan hasil produksi organ hati. Produk ini disimpan di dalam bentuk sel-sel lemak sebagai cadangan energi.

Kelebihan lemak dalam tubuh meningkatkan risiko gangguan Kesehatan seperti radang sendi, batu empedu, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penyakit hati, osteoartritis, kolesterol tinggi, jantung, osteoporosis, sleep apnea, dan diabetes tipe 2.

Menilik hal itu bukankah langkanya minyak goreng bisa membawa suatu hikmah. Terlebih dalam upaya membentuk sumber daya manusia berkualitas sebagai modal menuju generasi emas di masa yang akan datang?

Upaya ini tentu membutuhkan dukungan semua komponen masyarakat. Bahkan peran para Pegiat Gizi harus lebih ditingkatkan dalam menghadapi beban ganda.
Masalah gizi makro yaitu kekurangan protein energi belum lagi tuntas, sudah muncul masalah gizi mikro berupa kekurangan vitamin dan mineral seperti vitamin A, Iodium, zat besi, zinc dll. Bahkan kasus berat badan berlebihan (obesitas) mulai merambat naik dengan resiko mendatangkan penyakit-penyakit tidak menular di masa depan seperti jantung Koroner, hipertensi, diabetes dan sebagainya.

Jadi langkanya minyak goreng ini dapat merupakan hikmat untuk digunakan sebagai momentum mendorong dan mengkampanyekan pola atau kebiasaan makan dengan berpedoman Gizi Seimbang. Terutama mendorong pembatasan penggunaan lemak atau minyak. Nah, bukankah langkanya minyak goreng ini menjadi hikmat yang membawa hikmah?

Tinggalkan Balasan