Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom
Di lingkungan komplek pemukiman kami becak masih beroperasi. Di masa sebelum pandemi ini sangat menolong warga komplek untuk bermobilisasi terutama ke jalan raya untuk menggunakan kendaraan umum atau berbelanja di bagian komplek yang banyak pedagang berkumpul. Bagian komplek ini memang menjadi pusat belanja keperluan sehari-hari warga.
Sebagian besar penarik becak itu berasal dari daerah Tegal. Mereka secara bersama-sama
menyewa rumah petak di sekitar komplek, tetapi ada juga yang menyewa sendiri atau tinggal bersama kerabat sesama orang sekampungnya dari Tegal.
Sebelum masa pandemi Covid-19 jumlah penarik becak ini cukup banyak. Penumpang yang menggunakan becak untuk berlalu lalang juga cukup ramai. Penghasilan sehari para penarik becak ini boleh dibilang lumayan. Cukuplah untuk makan sehari dan menyimpan sedikit untuk nanti bekal pulang ke kampung.
Tetapi sekarang jumlahnya jauh berkurang. Warga komplek sudah jarang keluar rumah. Selain memang harus bekerja di rumah, menghindari kontak dan kerumunan. Dampaknya mengurangi Pendapatan para penarik becak. Termasuk Pak Tarno penarik becak yang biasa mangkal di depan rumah kami. Ia tidak punya tempat tinggal. Tidurpun di becaknya, untuk keperluan lainnya ia menumpang di teman-teman sekampungnya. Entah mengapa ia tetap bertahan dan tidak pulang ke kampung halamannya.
Suatu hari saya melihat Pak Tarno duduk dalam becaknya. Sejak pagi ia sudah mangkal di depan rumah. Tak seorang penumpangpun yang diantarnya. Saya merasa iba melihatnya dan mulai berpikir apa yang harus saya lakukan untuk sekedar menolongnya.
Saya panggil dia dan minta diantar ke Bank BNI yang terletak tidak begitu jauh di luar komplek. Sebenarnya untuk mengambil uang di mesin ATM cukup berjalan kaki ke Indomaret dekat rumah, disitu ada ATM BNI. Tetapi saya sengaja memakai jasa Pak Tarno untuk mengantar ke Bank. Sesampainya di BNI saya minta dia menunggu sampai saya selesai dari ATM. Saya minta dia mengantar kembali ke rumah. Saya beri dia uang secukupnya sebagai ongkos pergi pulang.
Menjelang siang, saya ke luar ke depan rumah, pak Tarno sedang duduk di becaknya membuka nasi bungkus. Nasi bungkus itu ia beli di warung Tegal dekat situ. Nampaknya ia begitu menikmati nasi bungkus itu. Melihat Pak Tarno makan hati saya trenyuh. Ia bisa membeli nasi karena ada penumpang memanfaatkan jasanya. Terbayang jika tidak ada bagaimana ia makan. Situasi seperti itu pasti dialami dari hari ke hari.
Apa yang saya lakukan hanya sekedar meringankan beban hari itu. Ibarat kata pepatah hanya memberi ikan, bukan memberi pancing bahkan tidak mengajarkan bagaimana menggunakan pancing dan cara memancing. Lalu bagaimana ia harus melalui hari-hari selanjutnya.
Berapa banyak lagi Pak Tarno Pak Tarno lain yang menunggu uluran tangan yang tidak sekedar hanya memberikan nasi bungkus. Hal seperti ini semoga menjadi perenungan kita bersama dalam meningkatkan kepedulian terhadap sesama, lebih-lebih pada masa Covid-19 ini.