MENAKAR KADAR BINWAS PEMERINTAHAN DESA

Terbaru75 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Pembinaan diartikan sebagai membangun atau mengusahakan sesuatu agar menjadi lebih baik. Dalam kaitannya dengan desa, tentunya juga diartikan sebagai upaya mengusakan segala sesuatu terkait dengan desa agar berlangsung dengan lebih baik. Usaha usaha ini utamanya dalam hal kewenangan dalam mengatur dan mengurus bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Desa.
Pemerintah Desa di sini adalah Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa. Diberi kewenangan menyelenggarakan Pemerintahan Desa yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem  pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Begitu banyaknya tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa. Setidaknya sebagaimana dikemukakan terdahulu, harus mengelola bidang penyelenggaraan Pemerintahan desa, pemba gunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.

Tuntutannya tentu kapasitas Pemerintah Desa harus memadai. Bukan hanya kualitas SDM, tetapi juga sistem dan prosedur, organisasi dan tata laksananya. Adanya Pemerintah Desa yang profesional, efisien, efektif, terbuka dan bertanggung jawab itu tujuan yang ingin digapai dan diwujudkan dalam pengaturan desa.

Menilik kapasitas SDM Pemerintah Desa terutama kepala Desa, dari aspek latar belakang pendidikan tercatat 63% lulusan SMA atau setaranya. Sisanya SMP dan Sarjana. Tentunya secara umum memerlukan pembinaan yang lebih intens.

Dari aspek regulasi begitu banyak yang harus dipahami dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Ini merupakan implikasi dari wewenang yang dimiliki dalam mengatur dan mengurus kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa.

Kejelasan status dan kepastian hukum yang dijamin lewat Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa semakin memberikan keleluasaan bagi desa untuk menerapkan kewenangan baik yang berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa maupun kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Kepastian hukum ini sebagaimana dimaksudkan dalam UU 6/2014 adalah berarti memberi kepastian mengatur secara jelas tentang desa sehingga desa memiliki kepastian apa yang menjadi kewenangan, hak, kewajiban desa dan masyarakatnya. Kejelasan status berarti kedudukan desa jelas diakui dalam system ketatanegaraan NKRI sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang tentang desa ini.

Kucuran dana yang mengalir deras langsung ke desa sudah barang tentu membutuhkan kemampuan yang tidak bisa diabaikan. Apalagi di era digitalisasi teknis bisa dikejar, tapi jangan lupa ada aspek sikap dan perilaku yang harus ditata setara dengan nilai-nilai budi pekerti, adat istiadat dan budaya.

Belum lagi derasnya terpaan media dan berbagai pihak yang datang menawarkan jasa dalam kemasan menawan dengan dalih membantu mendongkrak kapasitas Pemerintah Desa. Namun catatan-catatan dari lapangan menunjukkan alih-alih membawa manfaat untuk mendorong terciptanya hal-hal yang lebih baik tidak terjadi. Banyak hal yang justru menjadi kontra produktif.

Menilik kesemua hal yang dipaparkan di atas, pembinaan dan pengawasan lah nampaknya yang perlu semakin ditakar. Secara regulasi nampaknya tak kurang-kurangnya pemerintah memasang pancang-pancang demarkasi agar penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan menuju paradigma desa membangun dapat dicapai. Secara kebijakan saat ini pemerintah berupaya membangun Indonesia dari pinggiran dan desa.

Pembinaan pusat ke daerah memang sudah memenuhi porsinya. Lihat saja panji-panji regulasi yang dipancang lewat Kementerian Dalam Negeri khususnya Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, tidak kurang dari 23 regulasi diterbitkan, belum lagi Kementerian atau lembaga lain terkait kepentingan desa.

Rentang kendali pembinaan dan pengawasan memang cukup panjang. Selama ini dilakukan secara berjenjang. Ada peluang di kabupaten/kota untuk menyerahkan pembinaan dan pengawasan ke organisasi perangkat daerah di kecamatan. Beban kecamatan cukup syarat, tidak kurang dari 18 tugas yang harus dilaksanakan. salah satu tugas Camat misalnya, mengkoordinasikan semua tenaga profesional pendamping desa. Belum lagi kendala geografis yang harus dihadapi berbaur dengan ketersediaan sumberdaya manusia dan kualitas serta kompetensinya yang membutuhkan upaya yang tidak mudah untuk meningkatkannya.

Namun kadang dalam realitanya dukungan sumber daya tersedia dalam takaran yang pas-pasan. Sehingga upaya pembinaan menjadi terbatas. Jika terjadi suatu hal yang menyimpang dari tatanan regulasi maka yang lebih menonjol aspek pengawasan yang berkaitan dengan ranah hukum.

Pembinaan lewat bimbingan teknis dan pelatihan yang difasilitasi pemerintah pusat berjalan tersendat-sendat untuk menggapai target sasaran Aparatur Desa sejumlah lebih kurang 800.000 orang yang tersebar di 74.593 desa. Kisaran angka capaian lewat pelatihan dan bimtek yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri misalnya, hanya berada pada kisaran 200 ribuan, mungkin sedikit lebih dengan dukungan pihak ke tiga. Namun kenyataan lapangan tidak dapat dipungkiri masih jauh api dari panggang untuk mewujudkan Pemerintahan Desa yang profesional, efisien, efektif, terbuka dan bertanggungjawab sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pengaturan desa.

Menggelitik juga kehadiran para pendamping profesional yang sejatinya dapat mengambil bagian penting dalam kiprah pembinaan dan pengawasan dilapangan. Menilik hal ini ada banyak faktor terkait yang berperan dalam tataran yang harus diperhatikan. Bagaimana para pendamping ini dapat berperan optimal jika mereka juga tidak memadai mendapat bekal. Banyak diantaranya mungkin handal dalam upaya pemberdayaan masyarakat tapi mungkin sangat sedikit diantaranya yang memahami ihwal penyelenggaraan Pemerintahan desa. Pasalnya dua nakoda masing-masing punya arahan pada kapal besar bernama desa yang kadang membuat langkah pembinaan terhalang oleh perasaan bimbang. Tidak jarang terjadi hal tumpang tindih di lapangan karena rancu menafsirkan regulasi.

Sejatinya tidak soal pembinaan datang dari nakoda yang mana, sejauh ada keselarasan arahan dan kesetimbangan ketersediaan dukungan sumber daya untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam takaran kadar yang proporsional sehingga BINWAS berjalan sebagaimana mestinya.

Namun tentu tidak semua upaya mengusahakan agar segala sesuatu yang berjalan di desa dalam hal penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan lepas dari pembinaan secara berjenjang. Banyak desa menunjukkan perkembangan pesat berkat pembinaan pemerintah, Perguruan tinggi, maupun pihak lembaga non pemerintah.

Menilik keberhasilan desa yang ada, nampaknya pembinaan yang dilakukan bertumpu pada pemberdayaan pemerintah desa dan masyarakatnya untuk menemukenali, menggali dan mendayagunakan potensi atau sumberdaya yang dimiliki desa. Sumberdaya yang mencakup sumberdaya alam, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Keberhasilan pembinaan ini nampak dalam peningkatan Pendapatan Asli Desa (PAD). Keberhasilan memadukan dan mengelola PAD dan berbagai Dana transfer yang masuk ke desa, merupakan salah satu ciri kemandirian desa. Diharapkan ini terwujud melalui takaran pembinaan yang memadai.

 

Tinggalkan Balasan