KEMBALIKAN POSYANDU PADA KHITOHNYA

Terbaru41 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) kini bagaikan kerakap di atas Batu. Hidup enggan mati tak mau. Patut disayangkan jika sistem Pelayanan Kesehatan berbasis masyarakat yang dulu kondang dikagumi dunia internasional, kini mulai terdengar sayup. Keberadaannya di banyak tempat mulai tersamar kalau tak mau dikatakan pudar.

Menelusur keberadaan Posyandu yang lahir di tahun 80an dan gembyarnya sampai tahun 90an, begitu banyak tercatat prestasi yang patut diapresiasi. Konsep dasarnya sederhana. Pertemuan antara partisipasi masyarakat dengan pelayan provider dipadu menjadi satu di suatu waktu. Suatu upaya diteksi dini pertumbuhan anak usia di bawah lima tahun.

Awalnya Posyandu tidak dimaksudkan hanya berhenti pada kegiatan Pelayanan sehari. Dikenal kegiatan hari H, H+, H-. Hari H itu hari buka Posyandu. Ini bisa dianggap “check point” dari berbagai upaya intervensi mengatasi berbagai masalah yang timbul akibat langsung, ataupun tidak langsung bahkan penyebab mendasar kondisi Kesehatan anak balita selama 29 hari dlm sebulan.

Tentu ini tidak hanya dilakukan oleh sektor Kesehatan sendiri. Peran secara lintas sektoral sangat dibutuhkan. Logikanya semakin intens penetrasi intervensi yang dilakukan menyentuh ranah keluarga atau rumah tangga, semakin besar harapan terjadi Perbaikan kondisi keluarga karena Perbaikan Pelayanan sosial dasar. Bisa dari bidang Kesehatan, pendidikan maupun ekonomi. Ketahanan pangan keluarga nampaknya menjadi unsur penting dalam upaya mencegah kondisi Kesehatan masyarakat terutama stunting.

Di posyandu ada pemberian makanan tambahan (PMT). Tapi nampaknya ada pemahaman yang salah disitu. Pada dasarnya dikenal ada PMT percontohan dan PMT pemulihan. Di Posyandu lebih ditekankan sebagai percontohan. Harapannya ibu balita dapat meniru dan menerapkan di rumah. Tapi sayang jenis makanan yang dicontohkan sangat terbatas. Sering hanya bubur kacang hijau atau jajanan lain.

Banyak kemungkinannya di sini. Bisa saja pengelola/kader kurang paham atau biasanya lebih banyak karena alasan keterbatasan dana. Untuk PMT pemulihan diharapkan menjadi supplemen bagi sasaran balita yang berat badannya tidak bertambah. Ini tentu harus dilakukan pasca hari buka Posyandu (kegiatan tindak lanjut) pasca yandu. Acuannya hasil penimbangan, lalu ditindaklanjuti dengan kunjungan kerumah sasaran. Jika diketahui memang kondisi ekonomi keluarga terbatas, perlu intervensi yang melibatkan pihak yang berkompeten.

Salah satu intervensinya bisa menyediakan PMT pemulihan, sejauh kondisi balita tidak parah. Jika parah tentu harus di rujuk ke unit Pelayanan Kesehatan. Tetapi bukan cuma kalau kondisi balita parah, tetapi jika hasil penimbangan menunjukkan berat badan tiga kali berturut-turut tidak naik, harus segera dirujuk.

Itu salah satu dari hal-hal yang sangat mendasar. Ada banyak lagi misalnya terkait teknis penimbangan. Pengamatan lapangan banyak mengungkapkan cara menimbang atau mengukur tinggi badan yang kurang tepat.

Cara membaca angka pada timbangan dacin yang lazim digunakan, banyak tidak memperhatikan aturan. Bergesernya sudut pandang bisa menghasilkan catatan berat badan berlebih atau berkurang. Belum lagi mungkin gagal paham tentang anak sehat bertambah umur bertambah berat. Tapi sayang berat badan yang naik tetapi tidak cukup menurut standar, dicatat juga sebagai naik. Hal ini tentu jadi salah kaprah.

Dalam hal mengukur tinggi badan lebih lagi.Tubuh anak masih “melengkung” sudah diukur. Padahal setidaknya ada tiga titik yang harus menempel pada alat pengukur, kepala, bokong dan tumit. Tentu hasil pengukuran yang tidak tepat ini tidak bisa dipercaya. Belum lagi jika harus mengukur panjang bayi menggunakan fiksasi, ini diakui lebih rumit lagi.

Di posyandu usai menimbang dan mencatat hasil penimbangan, giliran kegiatan berikutnya (di meja 4). Di sini porsi penyuluhan untuk mencerahkan pengetahuan ibu atas kondisi balitanya berdasarkan hasil penimbangan, hanya sekedar saja. Bahkan di beberapa tempat tidak dilakukan sama sekali. Demikian juga pasca yandu untuk membahas hasil penimbangan kemudian menyepakati tindak lanjut yang harus dilakukan, mungkin tidak ada lagi.

Umumnya tenaga Kesehatan yang sering hadir adalah bidan di Desa. Namun nampaknya lebih fokus memberikan pelayan imunisasi atau pengobatan sederhana. Tidak menyentuh hal-hal teknis seperti diutarakan di atas.

Lalu pertanyaan mendasarnya siapa yang harus melakukan pembinaan teknis seperti itu. Jika ditelusur ke arah hulu, bagaimana kader-kader yang harus mengelola kegiatan di posyandu dulu dipersiapkan. Jika sampai pada hal ini tentu ceritanya menjadi panjang.

Mengingat hal-hal tersebut di atas, terutama dalam kaitannya diteksi dini dalam upaya percepatan penurunan stunting perlu sikap tanggap dan perkakuan khusus untuk mengembalikan Posyandu pada khitohnya. “Repositioning” Posyandu mungkin itu istilah yang dapat digunakan. Dalam artian menggeser kegiatan yang selama ini, balita datang, ditimbang, diberi jajanan lalu pulang, kembali memposisikan Posyandu menjadi elemen dasar diteksi dini kekurangan Gizi berkepanjangan, dalam sistem percepatan penurunan stunting guna menciptakan generasi cerdas di era emas.

Upaya ini penting karena merupakan tindakan siaga terhadap terjadinya kualitas sumber daya manusia yang rendah di masa depan. Seperti diketahui stunting merupakan kondisi yang terjadi karena kekurangan asupan zat-zat Gizi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan yang terjadi dalam waktu yang lama.

Meski secara regulasi sudah diterbitkan Peraturan President no.72 tahun 2021 sebagai salah satu bentuk komitmen untuk mempercepat penurunan stunting. Harapannya di tahun 2024 angka prevalensi yang dicapai sebesar 14%. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 18 tahun 2018 juga mengatur posisi Posyandu sebagai lembaga Kemasyarakatan yang harus dibina. Ini berarti Pemerintah Desa harus memberikan perhatian lebih besar dalam belanja desanya.

Seberapa besar perhatian ini diberikan dalam prioritas desa membangun, tentu masih harus ditelaah dan di dorong lebih lanjut. Rasa-rasanya jika terkait dengan dukungan sumber daya pembangunan cukup tersedia.

Betapa tidak desa kini dapat berpenghasilan sekurang-kurangnya dari 7 sumber pendapatan. Namun nampaknya masih banyak desa yang semata-mata mengandalkan dana transfer dari pusat dalam bentuk Dana Desa yang bersumber dari APBN. Inovasi untuk nengekplorasi potensi yang dimiliki masih sedikit terjadi.

Derasnya kucuran Dana Desa terus meningkat dari tahun ke tahun. Meski ada kisi-kisi prioritas penggunaannya yang dipatok dari pusat, bukan tidak mungkin menambah porsi atau alokasi untuk Posyandu. Apalagi posyandu termasuk dalam ranah kewenangan lokal berskala desa. Nampaknya masalahnya bukan terletak pada bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak.

Ada satu hal lagi, bicara stunting mau tidak mau, suka tidak suka harus berbicara tentang Gizi. Ini perlu perhatian tersendiri terutama menyangkut eksistensi tenaga-tenaga di bidang gizi. Sudah saatnya untuk mendukung pencapaian penurunan stunting peran insan Gizi harus lebih bermakna. Apalagi dikalangan Dunia Internasional kini dikenal dengan semangat “LEAVE NO ONE BEHIND (LNOB), dalam rangka mencapai komitmen Dunia untuk “Sustainable Development Goals” (SDGs).

Kelompok-kelompok penekan (pressure group) perlu dibangkitkan. Kompetensi Insan Pelaku upaya Perbaikan Gizi perlu ditingkatkan. Semangat Profesi harus diangkat lewat Pengembangan kompetensi diri. Melengkapi diri dengan berbagai disiplin ilmu adalah suatu keniscayaan. Karena pada dasarnya ilmu Gizi memang multidisiplin.

Hanya ada satu kata komando “Let’s do it” ambil langkah mendukung percepatan penurunan stunting lewat repositioning Posyandu. Kembalikan posyandu pada khitohnya.

 

 

 

Tinggalkan Balasan