Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom
Mencengangkan juga mencermati hasil suatu studi tahun 2016 dalam jurnal eLife. Di situ dilaporkan bahwa negara-negara yang mengalami peningkatan kesehatan dan gizi yang signifikan orang-orangnya memiliki postur tubuh rata-rata yang tinggi. Ternyata hasil studi itu juga menunjukkan laki-laki Indonesia paling pendek.
Penduduk Bosnia Herzegovina tertinggi, hampir 194 cm.Tidak heran Indonesia tertinggal jauh karena memang masih belum lepas sepenuhnya dari lilitan masalah kurang Gizi.
Terlebih lagi kini ada beban ganda yang dihadapi Indonesia. Bahkan nyaris bertambah dengan satu masalah lagi yang dengan senyap merambat naik.
Masalah kurang energi dan protein atau kekurangan Gizi makro belum lagi tuntas ditangani, masalah kekurangan zat gizi mikro berupa vitamin dan mineral sudah muncul antara lain kekurangan vitamin A, zat besi, iodium, zink dsb.
Ditambah lagi masalah berat badan yang berlebih (over weight) bahkan terlalu berlebih (obese) trennya terus menanjak.
Kekurang zat- zat gizi pada masa tumbuh kembang anak yang berlarut akan mendorong anak jatuh kedalam keadaan yang disebut stunting.
Stunting atau kerdil adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Dari mana menghitungnya? yaitu dari janin dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun.
Cirinya secara kasat mata tubuh anak lebih pendek dari yang seharusnya pada umur tertentu. Artinya tinggi badan tidak sesuai dengan umurnya.Tetapi bukan hanya masalah fisik yang menguatirkan. Ada bahaya lain mengancam. Tingkat Perkembangan intelektualn ya bisa terhambat lebih parah. Ujung-ujungnya kualitas sumber daya manusia menjadi rendah.
Tentu saja dengan kondisi yang demikian tidak akan mampu bersaing dan mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa negara maju di dunia di era teknologi modern sekarang yang berkembang begitu pesat.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya stunting yang lebih meluas.
Namun faktanya kondisi kurang Gizi pada anak balita di Indonesia masih memprihatinkan. Karena itu Percepatan penurunan
stunting merupakan prioritas Nasional yang sedang diupayakan oleh pemerintah pada saat ini. Target yang sudah ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 adalah menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Untuk mencapai target ini pemerintah melakukan upaya percepatan penurunan stunting.
“Bergerak bersama untuk percepatan penurunan stunting” itu tema yang diangkat pada Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Penurunan Stunting pada 23 Agustus 2021.
Dalam sambutannya di awal rapat Koordinasi Wakil Presiden Republik Indonesia, menyatakan penanganannya perlu dilakukan secara terpadu, melibatkan berbagai pihak. Namun disadari upaya ini tidak semudah yang diucapkan. Memerlukan upaya yang dilakukan secara kovergen. Hal ini tidak akan terwujud jika masing-masing pihak yang terlibat tidak bekerjasama.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tentang Percepatan Penurunan Stunting sudah diterbitkan di tahun 2021. Ini Salah satu strategi dalam upaya percepatan, guna mendukung upaya penanganan stunting yang sudah dilakukan sejak tahun 2018.
Dalam upaya penurunan stunting, ada Lima Pilar yaitu: 1) Komitmen dan visi pemimpinan tertinggi negara; 2) Kampanye nasional berfokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah, dan masyarakat; 4) Mendorong kebijakan ketahanan pangan dan 5) Pemantauan dan evaluasi.
Menurut Riskesdas (riset Kesehatan dasar) 2018, prevalensi balita stunting (kerdil) mengalami penurunan dari 37,2% pada 2013, menjadi 30,8% pada 2018. Tahun 2019 tercatat sebesar 27,7%. Prevalensi bawah dua tahun (baduta) stunting (kerdil) juga mengalami penurunan. Namun demikian data World Bank tahun 2020 menunjukkan, prevalensi stunting Indonesia berada pada urutan ke 115 dari 151 negara dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mematok angka yaitu kurang dari 20 persen sebagai standar.
Hal tersebut di atas mendudukkan Indonesia di urutan 4 dunia dan urutan ke-2 di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting. Maknanya, dengan demikian, tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar.
Apa pasalnya? Beberapa kendala penyelenggaraan penurunan stunting yang dihadapi antara lain program pencegahan stunting belum efektif. Belum lagi koordinasi penyelenggaraan program intervensi gizi spesifik dan sensitif di semua tingkatan yang belum optimal, terutama dalam hal perencanaan, penganggaran, penyelenggaraan dan pemantauan serta evaluasi.
Advokasi yang dilakukan pun nampaknya masih dilakukan dalam takaran yang belum memadai. Demikian juga kampanye dan diseminasi terkait dengan berbagai upaya pencegahannya.
Untuk mencapai target 14% ini memang tidak mudah. Kunci keberhasilannya terletak pada komitmen seluruh komponen bangsa. Terutama komponen masyarakat di perdesaan. Bayangkan saja jumlah penduduk terbesar ada di 74.961 desa.
Ada juga kekhawatiran masa pandemi Covid-19 akan menambah angka stunting baru. Dampak buruk pandemi bagi perekonomian masyarakat akan berefek pada berkurangnya asupan gizi pada anak-anak mereka terutama anak balita.
Diperkirakan sampai tahun 2024 akan lahir 20 juta bayi. Berarti akan ada 20 juta bayi yang harus dijaga agar tidak jatuh kedalam stunting. Instrumen atau sarana untuk upaya diteksi dini tumbuh kembang anak dengan melibatkan masyarakat yaitu Posyandu mulai tersamar.
Pembatasan kegiatan masyarakat di masa pandemi Covid-19, juga menyebabkan terhentinya layanan posyandu.
Padahal kegiatan pemantauan berat badan balita melalui penimbangan di posyandu merupakan elemen penting untuk diteksi dini pertumbuhan, asal dilakukan dengat tepat secara teknis. Artinya unsur masyarakat yang mengelola atau yang lazim disebut kader Posyandu kompeten melakukan penimbangan. Nampaknya soal menimbang ini sederhana. Namun menuntut tingkat keterampilan yang tinggi guna menjaga akurasi hasil penimbangan. Hal ini nampaknya banyak luput dari perhatian para pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Apa solusi strategisnya, ya melakukan re-fungsionalisasikah, reposisioningkah atau mendudukkan kembali instrumen ini apa pun istilahnya dalam sistem percepatan penurunan stunting. Tindakan-tindakan yang dilakukan harus segera, tidak bisa ditunda-tunda atau berlambat-lambat lagi. Jika tidak bahaya laten siap menghadang kualitas generasi masa datang.