QUO VADIS SANG AHLI GIZI

Terbaru105 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S Ikom

Kata Gizi yang secara umum dimaknai sebagai “makanan yang bermanfaat bagi Kesehatan” sudah banyak dikenal. Orang-orang yang memahami tentang seluk beluk Gizi ini lazim selama ini dikenal sebagai Ahli Gizi.

Kata “Ahli” di sini konotasinya seseorang yang kompeten baik secara pengetahuan, sikap kerja, keterampilan (skill) serta penerapannya di tempat kerja.

Nampaknya predikat yang disandang ini cukup berat jika diperhadapkan dengan kenyataan saat ini. Betapa tidak Indonesia belum sepenuhnya lepas dari masalah kurang Gizi. Bahkan menghadapi beban ganda baik kekurangan Gizi makro berupa energi protein maupun Gizi mikro yaitu vitamin dan mineral. Jangan diabaikan juga ada masalah lain yang dengan senyap merambat naik, kelebihan berat badan (over weight) atau terlalu berat (obese).

Sebagai Ahli Gizi logikanya punya peran signifikan yang dapat memberikan kontribusi besar dalam upaya-upaya menanggulangi masalah Gizi yang tengah dihadapi. Kini secara kebijakan ada dua kategori, Nutrisionis dan Dietisien. Yang pertama banyak menggumuli program-program Gizi di lapangan, yang kedua lebih fokus pada penanganan pasien di rumah sakit.

Namun dalam terawangan nyata nampaknya peran-peran signifikan ini tersamar bahkan eksistensi sang “Ahli” sendiri banyak dipertanyakan. Apa pasal?

Situasinya agak ruwet ibarat benang kusut jika akan diurai. Bisa juga bagai buah si malakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Maksudnya masalah yang dihadapi jika tidak ditangani para Ahli Gizi tantangan besar siap menghadang kualitas sumber daya manusia di masa depan. Jika harus ditangani kiprah para “Ahli ” ini nyaris tak terdengar. Bisa karena memang perhatian yang diberikan terhadap bidang Gizi tidak lagi sebesar atau sekuat di era lalu, bisa karena tidak dilibatkan pada tataran kebijakan, atau bisa juga tidak tahu bahkan tidak mampu mengambil bagian dalam kancah penanganan masalah.

Banyak faktor yang mempengaruhi. Tapi setidaknya lebih bijak untuk mawas diri. Ada baiknya menelusur tersamarnya eksistensi sang “Ahli” dari lingkungan internal.

Pada hakikatnya ilmu Gizi bersifat multi disiplin. Karenanya penanganan masalahnya tidak dapat hanya dari satu aspek. Banyak aspek terkait, tidak dapat dilepas satu sama lain. Karenanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

Insan Gizi harus melengkapi diri dengan disiplin ilmu lain yang relevan. Tidak bisa hanya mengandalkan dan bermodal dasar ilmu Gizi ansich yang dibekalkan oleh institusi pendidikan. Dengan kelengkapan tambahan disiplin ilmu lain diharapkan dapat meningkatkan Percaya Diri (self-confident) ketika berhubungan bahkan nenghadapi persaingan dengan bidang-bidang terkait di dunia kerja.

Di sisi lain jika ditelusur ke arah hulu, sistem pendidikan juga harus mampu menghasilkan tenaga-tenaga yang siap memasuki dunia kerja dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Dengan demikian dapat memposisikan diri sebagai orang yang “Ahli” dalam bidang Gizi. Jika setengah-setengah penampilannya harus terima nasib terlibas oleh Profesi lain yang merambah masuk ke dalam bidang Gizi.

Untuk mendukung Kinerja para “Ahli” ini tidak kalah penting peran organisasi profesi. Organisasi Profesi Gizi harus menjadi wadah yang menyediakan sarana peningkatan kapasitas atau kompetensi anggotanya secara berkala. Membekali para anggotanya dengan pengetahuan mutahir yang berkembang dengan pesat. Ini penting untuk mengangkat dan memperkuat eksistensi sang “Ahli”.

Pembinaan yang intens dan sistematis pasti diperlukan, terutama bagi Garda terdepan yaitu para Petugas Gizi di Puskesmas. Sejauh ini nampaknya belum tergarap dengan baik. Pembinaan secara tematik sesuai dengan kebutuhan lapangan mungkin memang perlu dibenahi.

Bagaimana pun petugas-petugas Gizi dipuskesmas ini mutlak ditingkatkan kapasitas dan kompetensinya agar mampu bersikap responsif terhadap perkembangan situasi yang sangat dinamis di masyarakat. Tidak dapat disangkal mereka sebenarnya adalah ujung tombak untuk membuka wawasan serta sikap yang mau menerapkan kaidah-kaidah Gizi seimbang membangun kehidupan yang lebih sehat. Jangan sampai ujung tombak ini menjadi tumpul. Nampaknya hal ini perlu mendapat porsi perhatian lebih besar lagi.

Kemampuan komunikasi efektif, advokasi, negosiasi atau pun fasilitasi sangat mendasar untuk dikuasai oleh para insan Gizi.

Adalah suatu keniscayaan jika semua insan Gizi yang tersebar di beragam organisasi di Indonesia ini menyatu di bawah satu payung organisasi yang kokoh untuk menyuarakan pentingnya penanganan masalah Gizi secara konvergen. Meski disadari hal ini memang tidak semudah mengucapkannya, namun bukan berarti mustahil untuk diwujudkan. Masalahnya bukan terletak pada bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak. Lalu Quo Vadis, mau dibawa jemana sang Ahli Gizi?

Tinggalkan Balasan