Hari Pertama Mengajar
Penulis : Santi Syafiana, S.Pd
Asty memasuki kelas dengan langkah hati-hati. Ia membaca salam dan segera menuju kursi guru. Kelas itu hanya terdiri dari dua belas siswa. Dua perempuan dan sepuluh laki-laki. Mereka menatap Asty dengan tatapan mata yang berbeda- beda.
“Good morning students,” kali ini Asty menyapa dengan Bahasa Inggris. Di sana Asty mengajar Bahasa Inggris dan Kimia. Gedung sekolah memang besar. Namun gurunya hanya empat orang, berlima dengan kepala sekolah. Satu guru bisa merangkap dua hingga tiga mata pelajaran. Siswanya pun juga sangat sedikit. Sekolah itu terdiri dari tiga tingkat yaitu X, XI dan XII. Satu tingkat hanya terdiri dari satu lokal. Untuk kelas X yang Asty masuki sekarang terdapat dua belas orang. Kelas XI sepuluh orang dan kelas XII hanya enam orang.
Tidak ada yang menjawab sapaan Asty dalam Bahasa Inggris tadi. Asty kembali mengulang. Kali ini dengan lambat.
“Good morning, students.” Kelas tetap saja hening. Siswa saling bertatapan. Entah karena malu menjawab atau memang tidak mengerti apa yang Asty katakan.
“Kok gak jawab? Baiklah, mungkin kamu masih malu dengan Ibu karena kita belum kenal. Perkenalkan, nama Ibu Asty. Ibu guru Bahasa Inggris yang baru. Ibu berasal dari Padang. Nah sekarang giliran kamu. Ayo berdiri satu-satu dari ujung sebelah kanan.”
Anak-anak memperkenalkan diri mereka satu persatu dengan malu-malu. Asty mendengar dengan seksama dan mencoba menghafalnya. Jumlah yang sedikit membuat Asty bisa mengenalnya dengan cepat. Ada Cut Rindu, Zia, Miza, Fahmi, Ridho, Afdal, Rasyid, Teuku Hasbi, Aris, Jefri, Dani dan Adi.
“Nah, sekarang kita sudah kenal bukan? Karena kita belajar Bahasa Inggris, coba kalian perkenalkan diri dalam Bahasa Inggris,” Asty meminta Cut Rindu berdiri. Namun gadis itu tidak mau. Dia tetap duduk di tempatnya.
“Ayo, jangan malu-malu. Ibu belum pernah makan orang kok,” Asty mencoba berkelakar mencairkan suasana. Semua temannya juga ikut menyuruh Cut Rindu berdiri. Namun ia tetap duduk di tempat. Tidak beranjak sedikitpun. Asty mendekati Cut Rindu. Berusaha menyemangatinya.
“Sa..ya tidak pandai Bahasa Inggris Bu,” terang Cut Rindu agak terbata.
“Cut, kita belajar di sekolah karena kita belum pandai. Kalau kamu sudah pandai, kamu tidak perlu ada di sini lagi tapi di istana negara menjadi alih Bahasa Inggris kepresidenan,” Asty memberi semangat.
Mendengar itu Cut Rindu berdiri. Berfikir keras kemudian mulai bersuara. “My name Cut Rindu.”
“Good job Cut. Tuh kan bisa, tapi ada sedikit kesalahan. Ayo coba pikir-pikir lagi. Apa kira-kira?”
Cut Rindu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba berfikir. Kali ini ia meminta pertolongan kepada Zia. Zia berkata is-nya ketinggalan. Wajah Cut Rindu langsung cerah.
“My name is Cut Rindu.” “Great, itu baru tepat.”
“Alah Bu, cuma tinggal dikit saja, perhitungan sekali,” Fahmi menyahut dari tempat duduknya dengan nada mengejek. Ia nyengir yang disambut dengan tawa teman-temannya.
“Hoho, iya juga ya Fahmi. Nah, kalau seandainya Ibu meninggalkan huruf m pada nama Fahmi gimana? Ibu manggilnya Fahi saja gitu,” Asty berunding dengan Fahmi.
Fahmi tampak kaget dengan reaksi Asty. Dengan tersenyum dia bilang “Gak bisa lah Bu, jangan ganti nama saya.”
“Fahmi lebih perhitungan, cuma huruf m kok,” Asty menggoda Fahmi. Semua kelas tertawa. Fahmi menundukkan kepalanya.
“Nah, ini bukan soal perhitungan, tapi tentang aturan. Sekarang ayo, kenapa harus ada is? Gak langsung-langsung saja seperti yang disebutkan Cut pertama kali tadi?”
Kini semua anak terdiam. Kelas menjadi hening sekali. Asty meminta anak- anak membaca buku catatannya. Mengingat-ingat kembali pelajaran SMP. Namun kelas hanya diam, diam dan diam. Asty mendekati mereka dari meja ke meja. Memeriksa buku catatan dan buku lain yang berhubungan dengan Bahasa Inggris. Melihat itu semua, Asty hanya mampu menautkan gerahamnya. Ia bertemu lagi jalan mendaki. Diwakili oleh dua belas anak yang duduk diam sambil menulis-nulis dan menggaruk-garuk kepalanya.